Sabtu, 24 September 2011

Memoar Terindah Untuk Mita | Part 1







Lihatlah. Gadis murung itu. Gadis berperawakan tomboy. Duduk menjuntai di jembatan sungai. Duduk sendirian. Menatap pekatnya langit malam. Langit yang tak berbintang dan tak berbulan. Kosong. Angin malam menemani kesendiriannya. Tak ada setitik airmata yang menetes. Semua terlihat baik-baik saja. Namun, apakah ada yang tahu tentang hatinya? Hatinya yang terlalu kebas menghadapi fase kehidupan. Beberapa kali asap mengepul dari mulutnya, membaur bersama deru angin. Merokok terkadang membuatnya tenang, sedikit melupakan masalah dengan adiknya; Dara. Mita selalu mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Peristiwa yang menjadi tonggak awal kehancuran hidupnya. Menyisakan puing-puing bara api yang masih setia memenuhi relung hatinya. Membakar seluruh rasa. Mati rasa. Membuang jauh-jauh setiap kenangan yang terukir indah, menghapusnya sedikit demi sedikit. Jadi, jangan salahkan dia kalau saat ini hanya kebencian yang tersisa.


Seseorang datang, memeluk tubuh Mita dari belakang, menyenderkan kepalanya di punggung Mita. Mengulum senyum bahagia di balik punggung sang kakak. Mita tidak bergeming. Ia sudah tahu siapa yang memeluknya seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Dara.
Mita menepis kasar pelukan itu, “Nggak usah peluk-peluk!!”. Entahlah sudah berapa kali Mita mengatakan ini. Namun tetap saja Dara selalu berusaha sedekat mungkin dengan Mita. Meskipun ujung-ujungnya akan ditolak mentah-mentah. Dara mundur satu-dua langkah, urung menceritakan kalau hari ini dia memperoleh predikat lulusan terbaik disekolah. Toh kalau diceritakan juga hanya akan percuma, Mita tidak akan pernah sudi mendengarkan pengaduan sang adik. Bahkan peduli saja tidak, apalagi sampai berbasa-basi. Karena sejatinya Dara hanya berstatus ‘adik tiri’. Yang bahkan tidak pernah dianggap ‘adik tiri’ oleh Mita. Rasa benci terhadap Dara telah membuat hati Mita membatu. Dara tertunduk, menggigit bibir, memainkan ujung bajunya—seperti anak kecil merengek minta permen. Airmata Dara tumpah-ruah. Sungguh, Dara tidak pernah cengeng menghadapi masalah seberat apapun. Berbeda jika masalah itu menyangkut Mita, maka semua benteng dihatinya akan runtuh. Hancur berkeping-keping bersama derai airmata. Ya, Mita-lah yang membuat Dara selalu meratapi nasib setiap malam dengan penolakan yang bertubi-tubi. Sungguh, Dara tak pernah berharap lebih atas Mita. Hanya satu permintaan hatinya; Mita bisa menerima kehadiran dirinya. Itu saja. Tapi semua terlampau sulit untuk Dara. Jauh dilubuk hati terdalam, jujur Mita juga menyayangi Dara, teramat menyayanginya. Namun, waktu telah merubah keadaan sedemikian drastis. Dulu sikap Mita tidak pernah se-dingin ini, membentak Dara saja tidak akan tega. Tapi, lihatlah sekarang. Keadaan kini terlihat sangat hipokrit.


Dan sama seperti pada malam-malam sebelumnya, setelah mendengar penolakan sang kakak, Dara beringsut pergi. Dara pergi mengusap pipinya yang basah, sempat beberapa kali menoleh, melihat siluet tubuh Mita yang tetap tidak bergeming. Dara selalu berharap, ada sebuah keajaiban hingga membuat Mita merespon kesedihannya. Namun hanya sia-sia belaka. Mana? Hampir limakali Dara menoleh, lagi-lagi harus menelan pahit-getirnya sebuah penolakan.


Dara berjalan terpatah-patah. Menangis sepanjang jalan. Matanya menerawang jauh. Sakit. Perih. Apa dia harus mati terlebih dahulu agar Mita mau memperhatikannya?



“Dara!! Awas!!!” seseorang berteriak memecah malam. Dara menoleh, tersenyum lebar.
Kak Mita?

Mata Dara menyipit, tangannya refleks melindungi mata yang terkena sorot lampu, silau. Sejurus kemudian, suara itu membuncah bersama bilur air hujan, “Aaaaaa!!”


Mita berlari, melempar gitarnya sembarangan. Dan Dara...

Tubuhnya sempurna terhantam bemper truk, terlentang bersimbah darah. Mita bersimpuh, ia terlambat!

Gemetar Mita membelai rambut Dara, mengusap pipinya, sempurna darah dimana-mana. Mita memeluk kepala Dara, menangis bersama hujan yang turun. Sementara pemilik truk itu melarikan diri, lari dari rasa tanggungjawab. Beberapa kali Mita berteriak minta tolong, namun tengah malam seperti ini jalanan sudah sepi. Tak ada orang untuk dimintai tolong. Mita benar-benar panik. Tidak ada waktu lagi untuk sekadar menunggu pertolongan datang. Dara harus selamat!

“Kak Mi..ta...” pelan jemari Dara meremas tangan Mita. Nafasnya tersengal-sengal, namun dipaksakan untuk tersenyum. Ya, Dara sangat bahagia. Tuhan benar-benar mengabulkan do'anya selama ini. Terbatuk, bercak darah keluar dari mulut Dara. Mita mendekap tubuh Dara. Menyesal. Ini semua terjadi karena dirinya yang tidak pernah mempedulikan Dara. Dara yang setiap malam ingin menemani kesendiriannya. Lihatlah, Mita sangat khawatir. Bukankah ini yang selalu Dara harapkan, bukan? Meskipun dengan cara tidak lazim seperti ini pun, Dara tak pernah keberatan demi melihat kakaknya yang dulu telah kembali.


Mita menangis, air hujan sempurna membuat jalanan memerah tergenang bersama darah segar. Mita harus bergegas. Mengangkat tubuh Dara, menyibak diantara bulir air hujan. Menyusuri jalan menuju Rumah Sakit terdekat, menggigil kedinginan tak jadi masalah. Tubuh Mita basah-kuyup. Meski langkahnya terasa berat, tak membuatnya gentar. Ini menyangkut nyawa adik kesayangannya. Dara harus selamat!


Beberapa kali Mita menghela nafas panjang, kelelahan mengangkat tubuh Dara yang agak berat. Jarak Rumah Sakit tinggal satu kilometer lagi. Mita ikhlas kalau detik ini menukar nyawanya untuk Dara. Dara harus tetap hidup. Masa depannya masih panjang.


Mita tergopoh-gopoh menuju lobi Rumah Sakit, mukanya yang pucat pasi, gigi bergemeletukan saling beradu.


Dengan sigap dan tangkas, Dokter dengan dibantu beberapa suster sibuk mengecek denyut nadi, memasang selang infus dan belalai penyambung hidup. Dan kepala Dara sempurna dibebat dengan kain kasa, menutupi bekas luka pada kepala.


Mita menatap nanar dari balik kaca, tatapannya pilu, matanya berkaca-kaca. Pelan jemarinya meraba kaca itu, mencicit. Dokter belum mengijinkan Dara untuk di jenguk. Jadi terpaksa, kaca ini seakan menjadi batas nyata dirinya dan Dara. Semua hening. Senyap. Hanya suara pendingin ruangan yang mendesah dan mesin detak jantung yang mendecit. Antara hidup dan mati.

Mita mematung. Terduduk di lantai Rumah Sakit. Gemetar memeluk lututnya, wajahnya terbenam dalam pangkuannya. Perasaan bersalah terus menghantui. Kalau mencari siapa orang yang paling berhak disalahkan, jawaban itu adalah dirinya. Mita merasa tak lebih dari seorang “terdakwa”. Meski secara kasat mata, sopir truk itu yang patut dihakimi. Tapi tidak untuk Mita, seolah hatinya sedang menghujat dirinya sendiri. Waktu ikut membeku, rongga udara seakan kosong, memberikan ruang kehampaan di sela-sela isakan Mita. Mendesah, tertahan di udara, membuncah bersama senyapnya waktu yang bergulir.


Dua jam berlalu. Mita setia terjaga, tidak bergeming. Rela menunggui Dara hingga siuman. Mita ingin sekali meminta maaf kepada Dara. Sejurus kemudian, Mita mendongak, mendengar hentakan high heels memburu cepat, berdecit. Berhitung dengan keadaan. Mita bergegas berdiri, membulatkan mata, menelan ludah demi melihat siapa yang datang.

Mama?


Mama mendekat, menggamit bahu Mita, ada apa ini? Lama ia membisu, membuat Mama semakin mendesak. Kesekian kalinya Mama mengoyak-ngoyak lengan Mita, meminta penjelasan pada anak tiri-nya itu.

“Dara baik-baik saja Ma. Tadi kata Dokter, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, entah kapan Dara akan sadar.” Mita menggigit bibir, bahunya naik-turun menahan tangis. Menyesal. Ragu-ragu mengatakan keadaan Dara yang sebenarnya. Ini sungguh amat menyiksa batinnya.

“Apa? Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi Mit? Apa itu artinya Dara koma? Iya, benar begitu? Dan harus sampai kapan?” Mama mengusap wajahnya penuh kegetiran. Kesedihan amat mendalam.

Mita merengkuh pundak Mama, “Ini semua salah Mita Ma. Mita yang nggak bisa menjaga Dara dengan baik, aku malah membiarkan Dara sampai meregang nyawa seperti ini!”
Pelan Mama membelai rambut Mita, “Tidak sayang...ini semua bukan salah kamu. Tapi Mama cuma berharap, suatu saat nanti kamu bisa menerima kehadiran Dara dengan ikhlas.”

Mama berbisik lirih, “Dara selalu berharap kamu mau menjadi kakaknya, sama seperti dulu kala saat semua keadaan belum banyak berubah.”

Mita tertegun. Beberapa menit ia terpekur dalam dekapan wanita paruh baya itu. Entah, mengapa di saat seperti ini ia bisa merasakan kembali betapa hangatnya pelukan seorang Ibu. Mita sadar, selama ini sikapnya kelewat batas, terutama kepada Dara. Selama ini hatinya tertutupi amarah yang meletup-letup.

Mita melipat tangan di dada, menengadah. Matanya nanar menatap langit-langit putih Rumah Sakit itu. Malam berlalu dengan berselimut kelabu. Hujan juga tak kunjung reda, ikut menjaga Dara di ambang garis batas kehidupan. Antara hidup dan mati.


Pagi ini, mata Mita terbelalak. Mengerjap-ngerjapkan mata mendengar pintu ruang ICU terbuka. Dokter dan seorang perawat keluar dari balik pintu. Mita berdiri dengan antusias, bahagia mendengar Dara sudah boleh di jenguk. Tetapi harus menelan ludah kekecewaan ketika Dokter berkata, “Sampai saat ini belum ada perkembangan yang signifikan pada adik anda, mohon bersabar.”

Jleb! Seperti sebilah pisau tiba-tiba menusuk hati Mita, menyisakan luka teramat mendalam. Matanya yang indah kembali terhiasi oleh bulir bening.


Kreek. Pintu terdorong, terbuka perlahan. Hanyut, waktu benar-benar telah memberi rongga kekosongan. Satu-dua langkah Mita mendekat, langkahnya gentar. Takut mendekati tubuh sang adik yang terbaring lemah berselimut kain putih. Mesin-mesin berdecit, terdengar tetesan infus yang tergantung. Matanya terpejam.
Ya Allah, semua terlampau menyedihkan. Lebih menakutkan dari yang Mita pikir. Lihatlah, Mita berangsur kembali seperti dulu lagi. Namun, tak banyak mengubah keadaan. Dara tetap hidup dalam komanya.



Hari-hari berlalu,
Minggu-minggu bergulir,
Dan bulan-bulan pun berganti,
Gadis itu masih terjaga dalam tidur panjangnya. Hanya Mita yang setiap pagi setia mengganti bunga-bunga dalam vas yang telah layu. Menggantinya dengan mawar kuning, selalu mawar kuning.


Selalu membisikkan lirih kata-kata itu, “Bangun adikku, lihatlah betapa aku telah banyak berubah. Suatu hari nanti setelah kamu bangun, kakak berjanji akan selalu menjadi bunga mawar kuning di hati kamu.” Tersenyum.


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini