Lihatlah.
Gadis murung itu. Gadis berperawakan tomboy. Duduk menjuntai di jembatan
sungai. Duduk sendirian. Menatap pekatnya langit malam. Langit yang tak
berbintang dan tak berbulan. Kosong. Angin malam menemani kesendiriannya. Tak
ada setitik airmata yang menetes. Semua terlihat baik-baik saja. Namun, apakah
ada yang tahu tentang hatinya? Hatinya yang terlalu kebas menghadapi fase
kehidupan. Beberapa kali asap mengepul dari mulutnya, membaur bersama deru
angin. Merokok terkadang membuatnya tenang, sedikit melupakan masalah dengan
adiknya; Dara. Mita selalu mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Peristiwa
yang menjadi tonggak awal kehancuran hidupnya. Menyisakan puing-puing bara api
yang masih setia memenuhi relung hatinya. Membakar seluruh rasa. Mati rasa.
Membuang jauh-jauh setiap kenangan yang terukir indah, menghapusnya sedikit
demi sedikit. Jadi, jangan salahkan dia kalau saat ini hanya kebencian yang
tersisa.
Seseorang
datang, memeluk tubuh Mita dari belakang, menyenderkan kepalanya di punggung
Mita. Mengulum senyum bahagia di balik punggung sang kakak. Mita tidak bergeming.
Ia sudah tahu siapa yang memeluknya seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Dara.
Mita menepis kasar pelukan itu, “Nggak usah peluk-peluk!!”. Entahlah sudah berapa kali Mita mengatakan ini. Namun tetap saja Dara selalu berusaha sedekat mungkin dengan Mita. Meskipun ujung-ujungnya akan ditolak mentah-mentah. Dara mundur satu-dua langkah, urung menceritakan kalau hari ini dia memperoleh predikat lulusan terbaik disekolah. Toh kalau diceritakan juga hanya akan percuma, Mita tidak akan pernah sudi mendengarkan pengaduan sang adik. Bahkan peduli saja tidak, apalagi sampai berbasa-basi. Karena sejatinya Dara hanya berstatus ‘adik tiri’. Yang bahkan tidak pernah dianggap ‘adik tiri’ oleh Mita. Rasa benci terhadap Dara telah membuat hati Mita membatu. Dara tertunduk, menggigit bibir, memainkan ujung bajunya—seperti anak kecil merengek minta permen. Airmata Dara tumpah-ruah. Sungguh, Dara tidak pernah cengeng menghadapi masalah seberat apapun. Berbeda jika masalah itu menyangkut Mita, maka semua benteng dihatinya akan runtuh. Hancur berkeping-keping bersama derai airmata. Ya, Mita-lah yang membuat Dara selalu meratapi nasib setiap malam dengan penolakan yang bertubi-tubi. Sungguh, Dara tak pernah berharap lebih atas Mita. Hanya satu permintaan hatinya; Mita bisa menerima kehadiran dirinya. Itu saja. Tapi semua terlampau sulit untuk Dara. Jauh dilubuk hati terdalam, jujur Mita juga menyayangi Dara, teramat menyayanginya. Namun, waktu telah merubah keadaan sedemikian drastis. Dulu sikap Mita tidak pernah se-dingin ini, membentak Dara saja tidak akan tega. Tapi, lihatlah sekarang. Keadaan kini terlihat sangat hipokrit.
Mita menepis kasar pelukan itu, “Nggak usah peluk-peluk!!”. Entahlah sudah berapa kali Mita mengatakan ini. Namun tetap saja Dara selalu berusaha sedekat mungkin dengan Mita. Meskipun ujung-ujungnya akan ditolak mentah-mentah. Dara mundur satu-dua langkah, urung menceritakan kalau hari ini dia memperoleh predikat lulusan terbaik disekolah. Toh kalau diceritakan juga hanya akan percuma, Mita tidak akan pernah sudi mendengarkan pengaduan sang adik. Bahkan peduli saja tidak, apalagi sampai berbasa-basi. Karena sejatinya Dara hanya berstatus ‘adik tiri’. Yang bahkan tidak pernah dianggap ‘adik tiri’ oleh Mita. Rasa benci terhadap Dara telah membuat hati Mita membatu. Dara tertunduk, menggigit bibir, memainkan ujung bajunya—seperti anak kecil merengek minta permen. Airmata Dara tumpah-ruah. Sungguh, Dara tidak pernah cengeng menghadapi masalah seberat apapun. Berbeda jika masalah itu menyangkut Mita, maka semua benteng dihatinya akan runtuh. Hancur berkeping-keping bersama derai airmata. Ya, Mita-lah yang membuat Dara selalu meratapi nasib setiap malam dengan penolakan yang bertubi-tubi. Sungguh, Dara tak pernah berharap lebih atas Mita. Hanya satu permintaan hatinya; Mita bisa menerima kehadiran dirinya. Itu saja. Tapi semua terlampau sulit untuk Dara. Jauh dilubuk hati terdalam, jujur Mita juga menyayangi Dara, teramat menyayanginya. Namun, waktu telah merubah keadaan sedemikian drastis. Dulu sikap Mita tidak pernah se-dingin ini, membentak Dara saja tidak akan tega. Tapi, lihatlah sekarang. Keadaan kini terlihat sangat hipokrit.
Dan
sama seperti pada malam-malam sebelumnya, setelah mendengar penolakan sang
kakak, Dara beringsut pergi. Dara pergi mengusap pipinya yang basah, sempat
beberapa kali menoleh, melihat siluet tubuh Mita yang tetap tidak bergeming.
Dara selalu berharap, ada sebuah keajaiban hingga membuat Mita merespon
kesedihannya. Namun hanya sia-sia belaka. Mana? Hampir limakali Dara menoleh,
lagi-lagi harus menelan pahit-getirnya sebuah penolakan.
Dara
berjalan terpatah-patah. Menangis sepanjang jalan. Matanya menerawang jauh.
Sakit. Perih. Apa dia harus mati terlebih dahulu agar Mita mau
memperhatikannya?
“Dara!!
Awas!!!” seseorang berteriak memecah malam. Dara menoleh, tersenyum lebar.
Kak Mita?
Kak Mita?
Mata
Dara menyipit, tangannya refleks melindungi mata yang terkena sorot lampu,
silau. Sejurus kemudian, suara itu membuncah bersama bilur air hujan,
“Aaaaaa!!”
Mita
berlari, melempar gitarnya sembarangan. Dan Dara...
Tubuhnya
sempurna terhantam bemper truk, terlentang bersimbah darah. Mita bersimpuh, ia
terlambat!
Gemetar
Mita membelai rambut Dara, mengusap pipinya, sempurna darah dimana-mana. Mita
memeluk kepala Dara, menangis bersama hujan yang turun. Sementara pemilik truk
itu melarikan diri, lari dari rasa tanggungjawab. Beberapa kali Mita berteriak
minta tolong, namun tengah malam seperti ini jalanan sudah sepi. Tak ada orang
untuk dimintai tolong. Mita benar-benar panik. Tidak ada waktu lagi untuk
sekadar menunggu pertolongan datang. Dara harus selamat!
“Kak
Mi..ta...” pelan jemari Dara meremas tangan Mita. Nafasnya tersengal-sengal,
namun dipaksakan untuk tersenyum. Ya, Dara sangat bahagia. Tuhan benar-benar
mengabulkan do'anya selama ini. Terbatuk, bercak darah keluar dari mulut Dara.
Mita mendekap tubuh Dara. Menyesal. Ini semua terjadi karena dirinya yang tidak
pernah mempedulikan Dara. Dara yang setiap malam ingin menemani kesendiriannya.
Lihatlah, Mita sangat khawatir. Bukankah ini yang selalu Dara harapkan, bukan?
Meskipun dengan cara tidak lazim seperti ini pun, Dara tak pernah keberatan
demi melihat kakaknya yang dulu telah kembali.
Mita
menangis, air hujan sempurna membuat jalanan memerah tergenang bersama darah
segar. Mita harus bergegas. Mengangkat tubuh Dara, menyibak diantara bulir air
hujan. Menyusuri jalan menuju Rumah Sakit terdekat, menggigil kedinginan tak
jadi masalah. Tubuh Mita basah-kuyup. Meski langkahnya terasa berat, tak
membuatnya gentar. Ini menyangkut nyawa adik kesayangannya. Dara harus selamat!
Beberapa
kali Mita menghela nafas panjang, kelelahan mengangkat tubuh Dara yang agak
berat. Jarak Rumah Sakit tinggal satu kilometer lagi. Mita ikhlas kalau detik
ini menukar nyawanya untuk Dara. Dara harus tetap hidup. Masa depannya masih
panjang.
Mita
tergopoh-gopoh menuju lobi Rumah Sakit, mukanya yang pucat pasi, gigi
bergemeletukan saling beradu.
Dengan
sigap dan tangkas, Dokter dengan dibantu beberapa suster sibuk mengecek denyut
nadi, memasang selang infus dan belalai penyambung hidup. Dan kepala Dara
sempurna dibebat dengan kain kasa, menutupi bekas luka pada kepala.
Mita
menatap nanar dari balik kaca, tatapannya pilu, matanya berkaca-kaca. Pelan
jemarinya meraba kaca itu, mencicit. Dokter belum mengijinkan Dara untuk di
jenguk. Jadi terpaksa, kaca ini seakan menjadi batas nyata dirinya dan Dara.
Semua hening. Senyap. Hanya suara pendingin ruangan yang mendesah dan mesin
detak jantung yang mendecit. Antara hidup dan mati.
Mita
mematung. Terduduk di lantai Rumah Sakit. Gemetar memeluk lututnya, wajahnya
terbenam dalam pangkuannya. Perasaan bersalah terus menghantui. Kalau mencari
siapa orang yang paling berhak disalahkan, jawaban itu adalah dirinya. Mita
merasa tak lebih dari seorang “terdakwa”. Meski secara kasat mata, sopir truk
itu yang patut dihakimi. Tapi tidak untuk Mita, seolah hatinya sedang menghujat
dirinya sendiri. Waktu ikut membeku, rongga udara seakan kosong, memberikan
ruang kehampaan di sela-sela isakan Mita. Mendesah, tertahan di udara,
membuncah bersama senyapnya waktu yang bergulir.
Dua
jam berlalu. Mita setia terjaga, tidak bergeming. Rela menunggui Dara hingga
siuman. Mita ingin sekali meminta maaf kepada Dara. Sejurus kemudian, Mita
mendongak, mendengar hentakan high heels memburu cepat, berdecit. Berhitung
dengan keadaan. Mita bergegas berdiri, membulatkan mata, menelan ludah demi
melihat siapa yang datang.
Mama?
Mama
mendekat, menggamit bahu Mita, ada apa ini? Lama ia membisu,
membuat Mama semakin mendesak. Kesekian kalinya Mama mengoyak-ngoyak lengan
Mita, meminta penjelasan pada anak tiri-nya itu.
“Dara
baik-baik saja Ma. Tadi kata Dokter, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya
saja, entah kapan Dara akan sadar.” Mita menggigit bibir, bahunya naik-turun
menahan tangis. Menyesal. Ragu-ragu mengatakan keadaan Dara yang sebenarnya.
Ini sungguh amat menyiksa batinnya.
“Apa?
Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi Mit? Apa itu artinya Dara koma? Iya, benar
begitu? Dan harus sampai kapan?” Mama mengusap wajahnya penuh kegetiran.
Kesedihan amat mendalam.
Mita
merengkuh pundak Mama, “Ini semua salah Mita Ma. Mita yang nggak bisa menjaga
Dara dengan baik, aku malah membiarkan Dara sampai meregang nyawa seperti ini!”
Pelan Mama membelai rambut Mita, “Tidak sayang...ini semua bukan salah kamu. Tapi Mama cuma berharap, suatu saat nanti kamu bisa menerima kehadiran Dara dengan ikhlas.”
Pelan Mama membelai rambut Mita, “Tidak sayang...ini semua bukan salah kamu. Tapi Mama cuma berharap, suatu saat nanti kamu bisa menerima kehadiran Dara dengan ikhlas.”
Mama
berbisik lirih, “Dara selalu berharap kamu mau menjadi kakaknya, sama seperti
dulu kala saat semua keadaan belum banyak berubah.”
Mita
tertegun. Beberapa menit ia terpekur dalam dekapan wanita paruh baya itu.
Entah, mengapa di saat seperti ini ia bisa merasakan kembali betapa hangatnya
pelukan seorang Ibu. Mita sadar, selama ini sikapnya kelewat batas, terutama
kepada Dara. Selama ini hatinya tertutupi amarah yang meletup-letup.
Mita
melipat tangan di dada, menengadah. Matanya nanar menatap langit-langit putih
Rumah Sakit itu. Malam berlalu dengan berselimut kelabu. Hujan juga tak kunjung
reda, ikut menjaga Dara di ambang garis batas kehidupan. Antara hidup dan mati.
Pagi
ini, mata Mita terbelalak. Mengerjap-ngerjapkan mata mendengar pintu ruang ICU
terbuka. Dokter dan seorang perawat keluar dari balik pintu. Mita berdiri
dengan antusias, bahagia mendengar Dara sudah boleh di jenguk. Tetapi harus
menelan ludah kekecewaan ketika Dokter berkata, “Sampai saat ini belum ada
perkembangan yang signifikan pada adik anda, mohon bersabar.”
Jleb!
Seperti sebilah pisau tiba-tiba menusuk hati Mita, menyisakan luka teramat
mendalam. Matanya yang indah kembali terhiasi oleh bulir bening.
Kreek.
Pintu terdorong, terbuka perlahan. Hanyut, waktu benar-benar telah memberi
rongga kekosongan. Satu-dua langkah Mita mendekat, langkahnya gentar. Takut
mendekati tubuh sang adik yang terbaring lemah berselimut kain putih.
Mesin-mesin berdecit, terdengar tetesan infus yang tergantung. Matanya
terpejam.
Ya Allah, semua terlampau menyedihkan. Lebih menakutkan dari yang Mita pikir. Lihatlah, Mita berangsur kembali seperti dulu lagi. Namun, tak banyak mengubah keadaan. Dara tetap hidup dalam komanya.
Ya Allah, semua terlampau menyedihkan. Lebih menakutkan dari yang Mita pikir. Lihatlah, Mita berangsur kembali seperti dulu lagi. Namun, tak banyak mengubah keadaan. Dara tetap hidup dalam komanya.
Hari-hari berlalu,
Minggu-minggu bergulir,
Dan bulan-bulan pun berganti,
Gadis itu masih terjaga dalam tidur panjangnya. Hanya Mita yang setiap pagi setia mengganti bunga-bunga dalam vas yang telah layu. Menggantinya dengan mawar kuning, selalu mawar kuning.
Selalu
membisikkan lirih kata-kata itu, “Bangun adikku, lihatlah betapa aku telah
banyak berubah. Suatu hari nanti setelah kamu bangun, kakak berjanji akan
selalu menjadi bunga mawar kuning di hati kamu.” Tersenyum.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar