Sabtu, 24 September 2011

Never Ending Love




Matahari pagi menyambut riang hari ini. Aku menggeliat, masih mengantuk. Tapi setumpuk pekerjaan telah siap menanti, terpaksa kuhempaskan selimutku dengan segan. Beginilah kalau rasa malas mulai menghinggap.

Sepuluh menit waktu yang kuperlukan untuk bersiap diri. Mandi seadanya. Kali ini rambut mohawk kubiarkan begitu saja, sudah tak ada waktu untuk sekadar membuatnya jabrik. Aku hampir terlambat. Dengan cepat aku menyambar tas kantor yang tergeletak di atas meja. Beberapa kali aku melirik jam merk Guess di pergelangan tanganku, tepat menunjukkan pukul setengah delapan. Itu artinya aku hanya memiliki waktu tigapuluhmenit saja untuk berpacu dengan waktu.

Padahal....

Mobilku sedang mogok dan masih dibengkel. Aku berjalan lunglai menyusuri trotoar menuju halte bus. Perasaan jengah mulai menyeruak, hampir lima belas menitan aku menunggu, menyender di salah satu tiang penyangga halte itu. Sekarang mungkin aku sedang membayangkan muka merah si bos yang melihatku terlambat masuk kerja untuk kesepuluh kalinya. Untung aku mempunyai prospek kerja yang membanggakan, jadi si bos harus berfikir berjuta kali sebelum memberiku uang pesangon ; memecatku.

Aku menyeka dahiku, akhirnya bus datang juga. Bus merapat. Orang-orang berlarian, menyerobot ingin naik duluan. Aku menggeleng pasrah, keterlaluan!
Lebih baik aku mengalah, mengambil giliran terakhir untuk naik.
Aku menyapu seluruh pandanganku, berharap ada bangku kosong yang tersisa untukku. Hingga pandanganku terhenti pada bangku kosong di deret tengah sebelah kiri.
Aku bergegas melangkah.
Menyapa seseorang yang sudah duduk dibangku itu.


“Maaf Mas, gitarnya bisa dipindah? Saya mau duduk disini,” tegurku, menyetel suaraku agak sopan, takut menyinggungnya.
Dia memicingkan mata, menatapku aneh. Sejurus, dia sudah memindahkan gitar itu kepangkuannya.
Aku duduk, menarik nafas lega, setidaknya aku hanya akan terlambat duapuluhmenit ke kantor. Paling cuma dapat omelan pagi dari si bos.

Aku tak banyak bicara dengan orang disebelahku. Berbasa-basi pun tidak. Tapi entah ada sesuatu hal di dirinya yang membuatku ingin mencuri-curi pandang dengannya.
Dia mengenakan topi hitam-merah yang sempurna menutupi sebagian wajahnya.
Dilihat dari perawakannya, aku yakin benar kalau dia adalah seorang laki-laki.
Sesuatu yang unik yang membuatku betah berlama-lama disampingnya.
Dia terus-terusan menatap nanar keluar bingkai jendela bus, hanya terlihat mulutnya yang komat-kamit asyik mengunyah permen karet. Sepasang headset juga nyantol di kedua kupingnya. Asyik mendengar lantunan lagu.

Aku merogoh saku celanaku lantas menyerahkan uang ke kondektur yang tadi menepuk pundakku.

“Ongkosnya mbak?” tegur sang kondektur.
Alisku saling bertaut.
Mbak? Apa yang dimaksud oleh kondektur dengan kata ‘Mbak’. Sementara aku sibuk celingukan, menoleh ke kanan dan ke kiri.
Mana?
Tidak ada seorang wanita satupun disamping-sampingku.
Aku terhenyak begitu melihat orang yang duduk disebelahku merespon teguran sang kondektur.
Aku mendesis, salah paham.
Apa indra penglihatanku sudah tidak berfungsi dengan baik? Sehingga sudah tidak bisa membedakan mana yang laki-laki dan mana yang perempuan.
Aku memasang wajah tidak percaya, terlalu aneh tapi ini sungguh nyata.
Aku sampai melongo dibuatnya.

Dia adalah perempuan, panggilan kondektur tadi dialamatkan untuknya. Mungkin saja, kondektur itu sudah familiar dengannya. Sehingga ia dengan yakinnya memanggil orang disebelahku dengan sebutan ‘Mbak’.
Tapi...
Menurutku dia lebih pantas dipanggil ‘Mas’ ketimbang memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’. Kata itu akan terlihat benar-benar kontras jika dibandingkan dengan gayanya yang bahkan lebih tampan dari lelaki pada umumnya.

Ada semburat bangga diwajahku, diam-diam meliriknya lagi dan lagi.
Ingin rasanya aku menjulurkan tanganku ini, sekadar mengucap hai atau bertanya namanya siapa?. Tetapi mentalku seakan menciut, mulutku kelu, dan hatiku menjadi tak karuan.
Ya Tuhan, perasaan apa ini?
Perasaan yang secepat kilat memporak-porandakan hatiku pagi ini.
Suasana beku menelungkup. Gerimis rintik-rintik membungkus ibukota pagi. Suara knalpot-knalpot menderu saling menyahut.

“Kiri, kiri Pak!!” seru perempuan disampingku, lantunan suaranya mengguratkan ketegasan dan ketenangan. Ia bergegas berdiri, terburu-buru. Aku meringsutkan tubuhku, memberinya jalan.
Harum tubuhnya menyerbakkan wewangian, membuatku terbuai.
Aku mendekat ke jendela, mengintainya. Aku tersenyum, ternyata panti asuhan itu yang menjadi tujuannya.
Aku semakin penasaran sebelum aku bisa melihat wajahnya secara utuh. Memastikan sendiri kecantikannya yang alami tanpa beralaskan bedak tebal bahkan tanpa embel-embel kosmetik seperti perempuan kebanyakan. Dia berbeda, membuat rasa penasaran tumbuh liar dihatiku.
Mulai hari ini tekadku sudah bulat untuk setia menumpang bus ini, padahal untuk masalah transportasi aku paling sensitif dan penuh pertimbangan. Namun kali ini, tak perlu sampai dua kali aku meyakinkan hatiku.

Aku ingin mengenalnya. Itu saja. Dan jika lebih dari itu, mungkin karena naluriku yang berbicara. Demi menatap wajahnya esok hari, aku melukis senyum indah sepanjang hari. Tak sabaran menunggu hari menjelang pagi.
Sepucuk asa terurai dibenakku, pelan membawaku terbang menembus radar.
Terbang bersama bidadari-bidadari syurga.
Eh, aku belum mau mati!

*

Malam beranjak matang. Wajah perempuan itu terlukis sempurna dilangit-langit kamarku. Cantik, nyaris sempurna. Belum sempurna benar karena aku belum melihat lekukan wajahnya dengan seksama, hanya sekilas mata memandang. Aku berharap semua berjalan sesuai anganku. Tak ada yang mengecewakan, dan takkan ada yang dikecewakan. Semua harus kupersiapkan secara matang. Mengumpulkan semua nyaliku malam ini untuk esoknya mengucap kalimat perkenalan kepadanya.
Ya Tuhan, apa perasaan ini tidak terlalu cepat?
Bahkan namanya saja aku belum tahu. Ah memang, tadi aku terlalu gengsi untuk menyapanya. Aku sadar, wanita tidak mungkin memulainya tapi lelakilah yang seharusnya lebih berani. Melihatnya saja jantungku mau copot, apalagi sampai berbincang akrab.

***

Pagi menjelang, semburat senja terlihat di ufuk timur. Embun pagi membasahi kaca jendela.
Waktu berjalan cepat. Aku membenarkan pendapat Albert Anstein tentang steatmentnya yang mengatakan bahwa cepat atau tidaknya waktu tergantung dari suasana hati yang menjalani. Dan ternyata terbukti benar adanya.

Hari ini aku bangun lebih awal. Pukul tujuh bahkan aku sudah standby di halte itu. Aku menyeringai palsu, kali ini akulah orang pertama yang harus naik kedalam bus. Aku tak mau mengalah lagi demi melihat wajah perempuan itu dan bila ada peluang aku ingin duduk disampingnya lagi.
Jantungku semakin berdebar begitu melihat bus yang kemarin terlihat dari arah baratdaya.
Aku menata diri, beberapa kali mengusap rambut mohawk-ku yang kubuat jabrik keatas. Beberapa kali juga menghela nafas panjang, mengurangi rasa gemetar didada.
Bus merapat. Orang-orang berhamburan, berjubel. Dengan gesit aku menerobos antrian, tak peduli ada yang ngomel-ngomel maupun menyumpah-nyumpah. Bagiku, pagi ini hari krusial untukku, mengalahkan urusan-urusan penting orang lain bahkan ibu yang akan melahirkan sekalipun. Ini tetap pagi spesialku.
Mataku mencembung, lirik sana lirik sini. Berusaha mencari sosok itu. Dan ternyata, pagi memang sedang berbaik hati.
Aku melihatnya. Utuh. Kali ini tak ada topi yang menghias dikepalanya. Wajah yang natural, manis dengan tahi lalat di bawah hidungnya yang menawan. Sempurna, lengkap sudah.
Ya Tuhan, langkah kakiku berat kuayunkan. Mataku masih memaku, melihat siluet tubuhnya yang masih duduk dibangku yang sama seperti kemarin.
Ah, aku harus buru-buru sebelum ada orang yang menyerobot duduk disampingnya.


“Maaf Mbak, gitarnya bisa dipindah? Saya mau duduk disini,” aku menegurnya, sedikit terbata-bata. Kalimat yang sama seperti kemarin, hanya saja sekarang aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’.
Dia menyipitkan mata, menatapku aneh untuk kedua kalinya.
“Ada yang aneh ya? Kok melototin saya sampai segitunya?” tanyaku, dia hanya menggeleng pelan.

“Rambutnya keren!” komentarnya, aku tersenyum tersipu malu.

“Makasih!” seruku sumringah.
Oh-Ibu, Aku tak kuasa melihat senyumnya yang menghanyutkan. Sorot matanya teduh, penuh kesahajaan.
Sekarang aku malah mengharap belum ada yang memiliki gadis ini. Membayangkan betapa bahagianya menghabiskan seumur hidupku bersamanya. Aku takjub melihatnya, bagai bidadari langit yang nyasar di bus ini.

Dalam hati tumbuh bunga-bunga merekah, indah nan wangi.
Aku tak berani menegurnya lagi, terbenam dalam kepengecutanku.
Ah, lebih baik aku menikmati sisa-sisa waktu yang tersisa sebelum akhirnya ia turun didepan panti asuhan itu.
Aku memang terkesan tidak gentle didepannya, lebih karena aku kadung terhipnotis oleh wajahnya yang memesona. Menyejukkan hati, membelai mesra relung-relung hatiku.
Tapi entah mengapa, keringat dingin menetes, menggelinding dengan mulusnya.
Berkali-kali aku menyeka dahi, grogi melanda hebat.
Aku mulai khawatir, jarak panti asuhan itu tinggal setengah kilometer lagi.
Bodohnya diriku, kenapa daritadi aku tak mengajaknya berkenalan. Disaat mepet seperti ini aku malah baru menyadari kekeliruanku. Tak mungkin aku mengajaknya bicara sekarang, bukan?

Semua nyaliku seolah runtuh sekejap, percuma capai-capai mengumpulkannya semalaman.
Usahaku sia-sia.
Kenapa untuk mengenalnya saja terasa sulit sekali, seperti ada gembok yang membungkam mulutku kuat-kuat.
Padahal dulu ketika masih kuliah, aku mendapat predikat ‘Playboy Tingkat Tinggi’.

Tapi lihatlah sekarang...

Dulu begitu mudah aku menaklukan perempuan-perempuan, tapi didepannya aku seperti mati kutu.
Hilang sudah semua sajak-sajak puisi yang biasa menjadi modal rayuan gombalku.
Yang tersisa hanya tatapan diam. Pura-pura aku menyibukkan diri, padahal hati terdalamku bergolak.
Dia berdiri. Terburu-buru lagi sambil menenteng gitar di tangan kanannya.
Sempat juga melempar senyumnya kepadaku.
JEDER! Jantungku benar-benar berhenti berdetak demi melihat senyum mautnya. Sunyi. Senyap. Waktupun seperti ikut membeku bersama hatiku.
Aku mulai meyakinkan hatiku bahwa aku akan tetap menunggu kesempatan itu ; mengajaknya berkenalan.

***

Pagi ini aku mempunyai sejuta alasan mengapa aku mengendarai mobil untuk pergi ke kantor. Dua alasan diantaranya. Pertama, pagi ini ada rapat krusial bersama client dan ini sangat menentukan masa depan karierku di perusahaan itu. Tidak mungkin kan aku naik bus yang memakan waktu dua kali lipat?

Kedua, aku tidak bermaksud mangkir atas janjiku sendiri untuk setia melihat gadis itu setiap pagi. Tapi keadaan mendesakku. Tadi saja jam delapan aku baru bangun. Sementara jam setengah sembilan rapat akan dimulai. Buru-buru, tak sempat berkompromi dengan waktu. Mandi saja tidak sempat. Cukup sekali ini saja aku harus mengesampingkan hatiku yang merajuk ingin bertemu gadis itu. Membesarkan hati.
Tapi aku berjanji pada hatiku, besuk atau lusa, aku pasti bisa mengetahui namanya. Dan kali ini aku akan menepati janji itu.

Sebenarnya aku mengkal, bukankah kemarin pagi aku menggumam kalau urusan gadis itu jauh lebih penting diatas segala-segalanya? Namun apa daya, pekerjaan lebih menyita waktuku meski fokusku masih tertuju pada gadis tomboy itu.
Perasaan rindu tumbuh menggelayut, menyesakan dada.
Pikiranku sibuk melukis wajah indahnya di dinding-dinding ruang rapat itu.
Aku melamun.
Beberapa kali mendapat sikutan tangan dan tatapan tajam dari si bos. Aku meringis, sungguh perasaan ini mengalahkan rasa kantuk yang biasa menderaku. Berdehem. Kembali menyimak rapat yang tengah berlangsung.

*

Pukul lima sore menjadi waktu untuk berpacu bersama kemacetan jalanan sore ibukota. Mobil-mobil padat merayap, memenuhi sejauh mata memandang. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari. Dengan luwesnya sibuk memainkan kecrekan atau gitar ditangannya dengan irama lagu seadanya. Ada yang membawa kemoceng, menawarkan jasa membersihkan debu-debu yang menempel pada body mobil. Tersenyum lepas. Mereka terlihat begitu riang. Meski garis kehidupan membuat mereka putus sekolah hingga mengecap pahitnya kehidupan jalanan kota metropolitan.

Tak sengaja aku melirik, terkesiap, gelagapan, lantas tersenyum lebar. Hatiku kembali berdebar.
Melihat sosok gadis tomboy itu (lagi).

Dia naik bus yang sama seperti biasanya, ditempat duduk yang sama, dan duduk didekat jendela bus. Dari dalam mobil, aku bisa melihat lekukan wajahnya. Dia cantik. Cantik sekali. Tapi ada sedikit yang berubah. Gelisah menghias diwajahnya, menutupi mimik wajah yang bersahaja. Tatapannya kosong, penuh kenanaran. Ada apa dengannya? Masalah apa yang tengah menderanya? Apakah ada orang yang telah tega menyakiti gadis secantik dia?
Aku harus mencari tahu sendiri.

Aku mengikuti bus yang melaju dalam kecepatan medium, petang hari adalah puncak padatnya lalulintas. Berjubel. Sedangkan hatiku mendesak buru-buru, namun sikon sedang tidak bersahabat.
Hingga bus berhenti pada sebuah halte.
Mataku tetap mengunci sosok itu, tak mau kehilangan jejaknya sedetikpun.

Dia berjalan, masuk ke salah satu gang kecil. Aku membututinya dengan berjalan kaki ; tidak mungkin kan aku membawa mobilku?
Berjalan mengendap-ngendap macam maling ayam kampung.
Berjalan berjingkat-jingkat, sedikit gelagapan takut sampai dia tahu kalau sedang kuikuti.
Aku mempercepat langkah. Naas bagiku, perhatianku terganggu.
GUBRAK!
Sempurna aku menghujam tiang listrik. Aku mengaduh, benturan yang membuat dunia-ku seolah berhenti berputar sejenak.
Dia menoleh, menghampiriku yang merintih sakit.
“Nggak apa-apa Mas?” tanyanya, memegang bahuku.
Aku menggeleng sekenanya. Kami saling bertatapan lama, waktu seakan membeku. Cahaya matanya menyiratkan kelembutan, penuh syahdu.

“Eh, kamu orang yang kemarin kan?” dia menunjukku, mengingat-ingat sesuatu.

“Iya! Kamu tinggal di daerah sini?” tanyaku.
Aduh! Seharusnya menanyakan namanya adalah tujuan utamaku. Tapi aku malah mengajaknya berbasa-basi. Ah, harusnya tadi aku to the point.

Langit terlihat gelap-gulita. Awan hitam berarak menggumpal gemawan hitam yang siap menumpahkan air langit.
Dalam hitungan sepersekian detik, hujan turun.
Begitu deras.
Bahkan aku hanya mematung, tersihir pesonanya yang membius hati.
Aku tergugu, dia menarik lenganku. Bergegas. Berlari.
“Kita berteduh di rumah saya, nggak jauh kok dari sini!” serunya diantara bilur-bilur air hujan.
*
Tiba di sebuah rumah  ; rumah yang tidak terlalu mewah. Dia menawarkan aku untuk duduk. Aku menurut. Dia duduk disampingku. Beberapa kali mengusap wajahnya yang kebas oleh air hujan. Aku meneguhkan hati.
“Ah-ya, nama kamu siapa?” sedikit ragu aku bertanya. Galau melanda, gugup mendera.
“Ca-me-ria Ha-p-p-y Pa-ra-mi-ta,”ucapnya patah-patah. Aku melipat dahi.
“Panggil aja Mita!”
“Saya Ikmal,” dengan pedenya aku menyebutkan namaku. Suasana lengang. Hujan sedikit mereda. Namun halilintar masih menyalak-nyalak.
“Ada masalah apa?” tegurku setelah melihatnya tercenung hampir lima menitan.
Dia menyeka ujung-ujung matanya,“Saya akan menikah, esok lusa!” ucapnya lirih. Lamat-lamat aku menatapnya. Senyap. Buncah. Menelan ludah. Mita tertunduk dalam-dalam. Entah. Seharusnya dia berbahagia atas pilihan hidupnya untuk menikah esok lusa. Tapi lihatlah dia. Seakan menyesali keputusan terbesarnya.
Tak ada sepatah kata-pun yang bisa terucap. Bisu. Waktu berhenti bergulir. Bumi seakan berhenti dari porosnya. Hanya suara rintik hujan yang masih bersisa. Harapan kosong. Halilintar menyalak hebat bagai adegan slow-motion dalam film-film. Aku pulang dengan pusara dihati. Memaksa hati untuk menerima sebuah takdir pelik. Mita bukan untuknya.

Mungkin takdir ini terlanjur menunggu
Diriku tak dapat menghindari
Walaupun seribu bintang tinggalkanku
Dan mentari tak bersinar
Aku takkan mampu tuk lepaskanmu
Mencoba sejenak ungkapkan segalanya yang telah terjadi

Duhai cinta..
Tataplah aku disini tetap menatapmu
Walau perih terus kau sakiti aku
Tetap mengharapmu
Mungkin benar bila aku tak berarti
Dan dirimu terlalu berarti
Walaupun pekatnya bulan gelapkanku
Dan pelangi tak berpijar
Wajahmu terlalu indah tuk kubenci
Dan kuterus mencintaimu
Engkau terus melupakan aku

( Tito – Kubenci Kau Dengan Cintaku)

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini