Sabtu, 24 September 2011

Bukan Salahku Mencintainya, Season 2

    Tokoh dia tetap tersamarkan. Semua kembali kepada imajinasi dan khayalan pembaca masing-masing. Di season 2 ini, sebuah rahasia besar akan terbongkar. Selamat membaca ;)


                Pagi yang cerah, sayup-sayup kicauan burung terdengar dari kejauhan. Deburan ombak bertalu-talu menghatam bebatuan karang, memekakkan telinga. Ya, rumahku memang dekat dengan pantai. Aku duduk menjuntai di salah satu bingkai jendela kamarku. Menyambut matahari yang terlihat masih malu-malu. Embun pagi masih membasahi dedauanan. Angin berhembus sepoi-sepoi, menyeruakkan dingin yang menelusup pori-pori kulitku. Aku mendesis, teringat kembali kejadian malam itu. Hei! Aku kan sudah berjanji kepada dia kalau mulai saat ini aku harus bisa melupakan Ikmal. Ah, memang butuh waktu yang relatif lama tapi akan aku coba. Tak ada salahnya kan menuruti perintah dia? Aku tak mau mengecewakannya.
“Pagi Mita,” sapanya pelan. Tunggu, aku seperti mengenali suara itu. Aku menoleh lantas melongo. Kapan orang ini datang? Perasaan tadi pintu kamar aku kunci. Lewat mana coba? Tak habis pikir.
“Lo lewat mana?” tanyaku datar, aku merasa kedatangannya mengganggu pagiku saja.
“Lewat mana aja boleh,” selorohnya. Aku menyunggingkan bibir, tersenyum kecut.
“Mau ngapain kesini?” tanyaku akhirnya.
“Cuma mau lihat putri tomboy yang lagi meratapi nasibnya,” jawabnya santai membuatku gemas ingin mencekik lehernya.
“Emangnya gue anak tiri yang disiksa sama emak tiri?” selorohku kemudian. Dia hanya diam, menggaruk kepalanya seperti memikirkan sesuatu atau memang kutunya yang banyak? Suasana hening sepersekian detik.
“Kita ke danau yuk Mit?”ajaknya tanpa mengindahkan kalimatku tadi.
“Males, nanti aja tunggu mood gue on dulu,” kilahku memasang bibir manyunku. Dia terdiam, sepertinya dia sudah hafal betul kalau tidak bisa memaksa seorang ‘Mita’ jika moodnya sedang off. Aku jadi merasa bersalah melihat dia yang beringsut keluar dari kamarku. Boro-boro pamitan, ini nyelonong gitu aja. Datang engga permisi, pulang engga pamitan. Ngambek lagi deh!

“Ok, entar lo jemput gue jam empat. On time!” teriakku. Aku yakin dia mendengarnya. Setidaknya, pendengarannya masih terjaga dengan baik. Aku mendengus kesal bercampur bingung, kenapa dia tiba-tiba ingin pergi ke danau itu?. Entahlah.
                               
***



“Inget ya, nyetirnya pelan-pelan aja. Jangan sampai gue mati konyol berdua sama lo,” aku mengancamnya, mengarahkan telunjukku ke wajahnya. Dia hanya mengernyit heran.
“Kenapa sih ke danau itu lagi? Banyak nyamuknya gitu?” protesku, mengingat dua bulan yang lalu aku dan dia ke danau itu, alhasil semua energiku terkuras habis untuk membantai nyamuk-nyamuk itu dan pulang membawa oleh-oleh berupa bentolan merah. Sepanjang perjalanan, mataku jelalatan menyapu seluruh pemandangan tapi yang terlihat hanya rimbunnya pohon-pohon karet yang berjejer rapi. Membosankan. Dia juga terkesan bungkam, aku tak mengerti. Setiap kuajak bicara, hanya menggeleng dan mengangguk saja. Entah, aku seperti menangkap sebuah isyarat dari binar matanya. Dia tak seperti biasanya, ada apa ini?. Mungkin, nanti saja akan aku tanyakan kalau sudah sampai di danau itu.

Satu jam berlalu, kami sampai di danau itu. Ternyata danau itu masih sama seperti dulu ; seperti tidak terjamah oleh manusia. Dan yang lebih penting lagi, masih ada nyamuk yang berkeliaran menggoda ingin segera di bantai oleh tangan jahilku. Kami duduk di sebuah papan di tepian danau yang terbuat dari beberapa bilah bambu.
“Apa lihat-lihat!” gertaknya membuat aku terperangah. Aku kira dia tidak menyadari kalau sudah ku pelototi hampir lima belas menitan. Aku hanya nyengir lantas meringis, ternyata dia bisa galak juga.
“Ada apa?”tanyaku.
“Apanya?” balasnya. Huft! Sekarang aku benar-benar ingin mencekik lehernya.
“Ada masalah apa?” tanyaku lagi lebih kuperjelas. Aku tau, dia sebenarnya menyimpan sejuta masalah yang membuat rasa ingin tahu-ku menyerbak.
“Engga ada,” jawabnya.
“Bohong!” seruku. Suasana membeku, inilah hal yang paling aku benci. Dia selalu berusaha menutupi segala sesuatunya dariku. Apa aku tidak pantas mengetahui masalah yang sedang dia hadapi saat ini?
Lihatlah, tak ada respon positif dari dia. Kupikir diam adalah alternatif terbaik untukku saat ini, melihat dia yang diam dalam bisu. Aku mendesis, ada ya orang yang sedingin bongkahan es kutub utara seperti dia. Aku rasa kami berdua sudah layak disebut ‘Patung Selamat Datang’ di danau ini. Ah, masa bodohlah! Aku memejamkan mata, merentangkan kedua tanganku, menikmati suasana sekitar danau. Air danau yang tenang seolah menghanyutkan, tenang dan damai. Angin mulai menderu, menyibak anak rambut di sela-sela telingaku. Angin yang mengombang-ambingkan daun-daun yang kering hingga berterbangan membentuk sebuah gerak yang melambai-lambai. Apakah daun itu marah kepada angin? Tentu saja tidak. Tapi dia? Dari sorot matanya terlihat seperti ada sepercik api yang membara atau apalah. Aneh.

             Semburat jingga terlihat samar di ufuk barat, matahari mulai beringsut ke peraduannya. Kepakan sayap burung-burung yang kembali ke sarangnya. Senja kini mulai beranjak malam, matahari telah hilang di telan batas cakrawala. Gelap. Kunang-kunang mulai memamerkan cahayanya yang mengerjap-ngerjap indah di depan mata. Astaga! Nyamuk-nyamuk juga mulai bergerilya, menyusun perencanaan bagaimana melancarkan aksi mereka tanpa harus terkapar karena tangan manusia. Oke, cukup sudah! Kalau begini terus, kami tidak lebih terlihat seperti dua manusia ‘bodoh’ yang seakan meratapi nasib di tepian danau ini. Aku harus mulai bergerak dari diamku, aku menoleh ke arahnya, menelan ludah penuh keraguan antara bimbang dan takut. Alih-alih ingin membuka mulut, tapi malah apa yang aku dapat? Sebuah nyamuk mendarat mulus di pipiku, refleks aku menampar pipiku dengan kencang.
“Kenapa Mit?” tanyanya yang melihatku mulai kelabakan.
“Nyamuknya banyak!” celetukku. Dia hanya menoleh sebentar lantas melanjutkan ‘diam dalam bisu-nya’.
Angin malam semilir, memaksa gigiku bergemeretak saling beradu, dingin. Aku memeluk diriku sendiri. Tapi dalam hitungan detik, aku mulai terasa hangat dan terjaga. Dia memakaikan jaketnya di tubuhku lantas merengkuh pundakku erat. Aku tersenyum malu, pipiku merah padam. Tersenyum tipis, dia membelai rambutku. Aku meletakkan kepalaku di pundaknya. Jantungku megap-megap rasanya ingin melesak keluar dari rongga dada. Semua diluar kendaliku. Aku mengulum senyum bahagia di dekapannya. Aku seperti merasakan sebuah janji masa depan yang begitu cerah. Ya, hanya bersamanya! Begitu nyaman. Mungkin sekarang aku sedang berandai-andai menghabiskan seumur hidupku bersamanya. Tidak ada yang salah kan jika mimpi itu kini berpindah-alih. Dulu Ikmal, dan sekarang diam-diam mimpi itu perlahan mulai terajut bersama dia. Sebuah mimpi yang tergores indah di sanubariku. Semoga mimpi ini bukanlah mimpi semu yang mampu memporak-porandakan hatiku lagi. Cukup sekali! Seonggok asa mulai menggebu-gebu, membangun pondasi masa depan yang begitu kokoh. Ah, impianku memang hiperbolis. Hatiku mulai meyakinkan bahwa aku memang mencintai dia. Benih-benih cinta telah tumbuh merekah begitu saja, perlahan tapi pasti. Dia adalah harapanku.

“Mita, lihat deh kura-kura itu,” dia terlihat antusias menunjuk sepasang kura-kura yang berenang di tepian danau. Aku menoleh, mencembungkan mataku. “Iya, bagus!” komentarku singkat lantas membuang muka. Jujur saja, aku tak menyukai hewan itu.
“Mereka tidak pernah meninggalkan satu sama lain,” dia menatap nanar kura-kura itu.
“Lo pikir mereka juga mengucapkan janji suci sehidup semati seperti manusia?” gurauku menyeringai jahil.
“Bukan, mereka engga butuh janji-janji suci itu. Kesetiaan sudah sangat cukup untuk mereka, menjaga satu sama lain tanpa perlu mengharap pamrih,” balasnya. Aku tak menanggapinya lagi. Lebih baik diam saja.

“Mit, seandainya gue udah per...” anak kalimat itu sengaja dia gantung.
“Cukup! Gue udah gatel-gatel nih. Mending kita pulang sekarang aja,” aku memotong. Tak memberinya celah untuk beragumentasi. Huh! Malam mulai larut seiring terdengarnya suara jangkrik di tengah keheningan malam. Aku merajuk minta pulang dan dia hanya mengangguk pasrah. Entahlah, aku tak mau berlama-lama di tempat ini. Meski nantinya aku akan sering mengunjungi danau ini untuk sekedar melepas rindu atau mengubur setiap kenangan manis bersama dia? Waktulah yang akan menjawab; itulah yang sering dia lontarkan dan seolah menjadi stigma yang tertancap kuat dihatiku.
Dia menarik lenganku, “Makasih untuk semuanya Mit, buat waktu lo.”
Aku menatapnya dalam, menangkap sebuah gelagat yang ganjil darinya. Aku membulatkan mata, mengibaskan tanganku,“Aneh deh lo, biasanya juga gue yang temenin ke danau ini.”


***


          Waktu berjalan begitu cepat bagai peluru yang melesak tajam. Hubunganku dengan dia bisa di bilang datar-datar saja, malah akhir-akhir ini dia jarang terlihat. Sudah hampir sebulan, aku tak melihat batang hidungnya. Aku mulai resah, berbagai asumsi terbentuk otomatis dalam otakku. Apa dia membenciku? Kurasa tidak, lantas apa? Aku bingung. Di saat seperti ini, aku tak punya siapa-siapa untuk sekedar menumpahkan curahan hati. Jujur, aku rindu dia. Dan bodohnya lagi, selama ini aku tak pernah tahu dimana rumahnya, aku memang tak pernah menanyakannya. Toh aku mengenalnya juga karena faktor ketidaksengajaan. Dia datang begitu saja dalam kehidupanku, seakan menawarkan indahnya sebuah persahabatan. Sedikit demi sedikit aku mempercayainya bahkan aku mulai mencintainya.

Memori otakku berputar cepat menyetel ulang setiap kejadian dalam hidupku. . .

Astaga! Aku melupakan secuil kejadian yang menimpaku dua tahun yang lalu. Potongan kehidupan yang membuatku harus menyandang predikat ‘yatim-piatu’. Aku harus merelakan nyawa orangtuaku terampas dalam kecelakaan naas itu. Dan dia adalah orang yang menyebabkan peristiwa itu terjadi di depan mataku. Seharusnya, dia-lah orang yang meringkuk di balik jeruji besi. Tapi apa daya, hukum di negeri ini seperti haus darah, motto ‘Uang Adalah Segalanya’ seolah menjadi paradigma yang mencerminkan tatanan hukum negara.

Sulit untukku bila harus merinci kecelakaan itu secara mendetail. Yang cukup aku tahu, orang yang menabrak mobil Ayahku saat itu adalah dia!. Kenyataan telak yang menohok ulu hatiku, selaksa beribu panah yang melesat ke jantungku. Remuk-redam tak bersisa. Aku baru mengetahuinya sebulan yang lalu, aku memang tak pernah ingin tahu-menahu tentang ini, semua ini sudah cukup untuk membuatku mati rasa. Ingin rasanya aku menumpahkan seluruh kemarahanku kepada dia, tapi aku tidak bisa!. Rasa cinta itu menutup rapat semua dendam kesumat-ku. Apakah aku rela? Tidak!! Sungguh. Aku menatap nanar bayanganku di dalam kaca. Apa aku harus membencinya, melupakannya, atau menghakiminya dengan caraku sendiri?. Seharusnya dari awal aku tak perlu mengenalnya terlalu dekat, karena kenyataan ini terlalu kontras untuk hatiku. Aku marah, aku kecewa kepada diriku sendiri. Saat ini, aku tidak bisa berfikir jernih untuk menentukan pilihanku dengan tegas. Sedangkan cinta itu tumbuh semakin menggelayuti hatiku. Mendesah kalbu, menyayat pilu relung hatiku.

"PYARR!!" aku menghujam kaca itu dengan punggung jemariku, menjadikan bayangan yang terpecah-belah di kaca itu. Aku tak peduli dengan darah segar yang mengucur dari jemariku, ini tidak terlalu menyakitkan jika dibandingkan dengan luka yang terlanjur tertoreh dihatiku. Perih.
Aku diam mematung, duduk di sudut kamarku. Menangis, sesenggukan, mengatur nafas, dan mengutuk rasa cinta yang kadung tumbuh. Setidaknya, itu yang bisa aku lakukan saat ini. Tak akan ada lagi pundak tempatku menyandarkan kepala ini, tak ada lagi yang akan mengusap air mataku. Cukup sudah! karena semua harus berakhir, aku tidak mau terjebak dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang membelenggu erat seperti lingkaran setan yang tidak pernah ada ujungnya. Aku menelan ludah kegetiran, untuk kedua kalinya aku telah dikecewakan oleh mimpiku sendiri. Harusnya dari awal aku tak perlu buru-buru merangkai mimpi yang muluk-muluk jika kenyataan akan lebih menyedihkan. Aku salah jika harus mengharap sebuah janji masa depan kepadanya. Kenapa mimpi itu ingkar lagi? Di saat semua teruntai dengan rapinya. Mengapa hidup ini tidak adil? Bahkan kebahagiaan enggan berpihak kepadaku. Aku harus menemuinya, mengakhiri semua perasaan ini. Dan aku tahu dimana harus menemukannya, dimana lagi kalau bukan di danau itu.


***


Dan benar saja. Aku melihat dia duduk termenung di tepian danau. Aku memaksa kakiku untuk melangkah mendekatinya, meski hatiku belum siap. Tepat aku berdiri disampingnya, dia beranjak dari duduknya. Aku memicingkan mata, dia menatapku penuh arti. Pandangan kami terkunci. Mata teduhnya menyiratkan kenanaran. Dan air mataku mulai menggelayut di sudut mataku. Pondasi di hatiku seakan runtuh, hatiku rapuh bila melihat dia seperti ini. Aku mengumpulkan semua nyaliku demi membuka mulutku.

“MAAF!!” dia tertunduk, tersedu. Sepertinya dia sudah tahu apa maksud kedatanganku.
“Apa dengan kata ‘Maaf’ lo bisa mengembalikan keadaan seperti sedia kala? Dan kenapa lo harus hadir dalam hidup gue setelah apa yang lo lakuin!” aku membentaknya, mengeluarkan seluruh amarahku. Aku menangis, “Kenapa, kenapa!!”


“Ini semua semata-mata karna gue cuma pengen menebus semua kesalahan yang gue perbuat dua tahun silam. Maaf, jika kehadiran gue mengusik kehidupan lo. Tapi Mit, satu yang perlu lo tau, gue tulus melakukan ini.”
Apa ini ada hubungannya dengan gelagat aneh yang dia tunjukkan akhir-akhir ini? “Lo pikir gue mempan dengan omong kosong itu? Lo tahu kan gimana kecewanya gue? Di saat gue udah mempercayai lo dan bahkan....bahkan gue mulai mencintai lo!!” air mataku tumpah berlinangan. Dia diam seribu bahasa, membisu.
“Maaf, tanpa sadar gue juga mulai mencintai lo. Seharusnya gue engga berhak berharap lebih. Andaikan kecelakaan itu tak pernah terjadi, mungkin kita engga perlu saling kenal dan saling mencinta, karena perasaan ini salah.”
Aku rasa sekarang aku sangat berhak mengutuk mimpiku sendiri. Perasaan ini salah? Ya, dia benar. Dan aku rasa tak perlu membiarkan cinta ini tetap tumbuh. Biarkan semua hilang dengan sendirinya, lenyap seiring berjalannya waktu.

Berat rasanya bila mengembalikan mimpi yang kadung pupus. Karena waktu telah menjawabnya. Jadi tak perlu ada lagi penjelasan untuk hatiku, semua sudah sangat nyata di depan mataku ; kami memang saling mencintai, tapi bukankah cinta tak mesti bersatu. Tekadku sudah bulat, memantapkan hatiku untuk berkata, “Ok, anggap kita engga pernah bertemu!!. Dan rasa cinta itu tak selayaknya perlu dipertahankan, hanya akan sia-sia.” aku mengibaskan tangan, lantas berbalik badan.
“Makasih untuk waktu lo Mit, karena lo udah mau menghiasi hari-hari gue dengan cinta. Cinta yang semu,” ucapnya memberi penekanan pada ‘Cinta yang semu’. Aku menghentikan langkahku. Aku memicingkan mata, meliriknya sekejap dengan mata berairku. Aku membatin, “Seharusnya aku yang merasa perlu berterima kasih, karna dia sudah mau menjadi malaikat pelindung untukku. Menjadi tempatku bersandar dan tempatku menumpahkan air mata dari kejamnya kehidupan. Dialah yang mengajariku tentang hidup sebagai karang yang tak pernah rapuh dihantam berjuta ombak, mengenalkanku betapa indahnya cinta yang sesungguhnya. Cinta sesaat yang pernah tumbuh direlung hatiku. Mungkin nama dia akan tetap terukir indah dihatiku sebagai penyandang predikat ‘seseorang yang pernah mengisi kekosongan hidupku’. Kalau dulu aku bisa melupakan Ikmal, kenapa sekarang aku tidak bisa melupakan dia?”. Perlahan tapi pasti, aku mulai menutup lembaran hidup yang pernah aku lalui bersama dia. Biarlah waktu yang akan menghapus jejaknya dan biarkan danau ini yang menjadi saksi bisu dari perpisahan ini. Semua cukup sampai disini. Tak akan ada lagi cerita tentang dia.



TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini