Kamis, 29 Maret 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 2)

Gitar Istimewa



Pagi-pagi sekali aku mendengar pintu kamarku diketuk. Dengan ogah-ogahan aku menyingkap selimut. Berjalan gontai membukakan pintu.

“Mita?” Aku sedikit terkejut, mengucek mataku. Aku menggaruk kepalaku, untuk apa sepagi ini dia menemuiku?

“Buruan mandi. Gue tunggu dibawah.” Mita tanpa basa-basi langsung melangkah pergi. Padahal aku belum mengiyakan. Ini saja belum ada jam enam. Aku meraih handuk dan bergegas mandi.


Mita duduk di sofa. Dia memakai kacamata dan topi hitam. Serba hitam. Ada gitar yang tergeletak disampingnya. Aku berjingkat-jingkat, ingin membuat Mita terkejut. Tetapi.. Dia duluan menoleh ke belakang. Aku gelagapan, pasti terlihat sangat konyol, pura-pura bersiul, bersikap biasa saja. Mita meraih gitarnya dan satu tangannya menggandengku. Mimpi apa aku semalam? Mita, apa dia sudah tidak galak lagi?


“Kita mau kemana?” tanyaku setelah mobilku keluar dari halaman apartemen.

“Ngamen.” Jawabnya yakin.

“Sungguh?” tanyaku lagi.

“Bawel!” bentaknya. Aku salah, galaknya ternyata masih bercokol.

“Tapi kan lutut lo masih sakit,” ucapku khawatir. Mita menggulung celana jeans panjangnya.

“Tuh kan masih memar.” Aku menyentuh lututnya. Dia mengaduh, menyingkirkan tanganku.

“Jangan pernah samain gue seperti perempuan cengeng. Lemah!” Mita mencengkeram kerah kemejaku.

“Oke. Maaf!” Aku bahkan tidak berani menyentuh tangannya, Mita kembali ke posisinya. Sejurus, aku mendengar dia terkekeh, dan akhirnya tertawa lebar. Perempuan ini susah ditebak!

“Apanya coba yang lucu?” Aku mendesis kesal.

“Lo itu cowok, Mal. Sama gue aja lo takut!” Mita menatapku, masih saja tertawa, meledek. Aku tidak menjawab.

“Iya iya, gue tahu kok, lo nggak takut, cuma ngalah aja.” Ucapnya merapikan rambut di kaca spion. Aku tersenyum.

“Gue menghargai lo sebagai cewek.” Aku menatap lurus ke depan, pura-pura cuek. Mita bergeming menolehku.

“Makasih.” Mita kembali menatap keluar. Hatiku mengembang seketika. Aku seperti melihat bidadari sedang duduk disebelahku. Mita menurunkan kaca pintu mobil, dia tersenyum melihat anak kecil mengamen.

Mita mengulurkan tangannya, entah berapa yang dia berikan kepada pengamen kecil itu. Dia ternyata sangat murah hati.

“Kita ngamennya dimana?” tanyaku, menepikan mobilku.

“Di gerbong kereta.” Jawabnya yakin.

“Lo kayaknya nggak ada tampang orang miskin deh.” Aku memandangi wajahnya, menaikan sebelah alisku. Mita melemparku dengan topinya.

“Ngeledek maksudnya?” Mita melotot tajam. Aku meringis, kembali melajukan mobilku, enggan mencari masalah lagi.




Aku menjulurkan tangan saat Mita hendak menaiki gerbong yang lumayan tinggi. Lihatlah, tangannya sangat halus. Sedari tadi aku tidak sadar kalau aku masih menggandeng tangannya. Cukup sibuk mencari jalan, menyibak gerbong yang penuh-sesak ratusan orang. Mita mendekap gitarnya, takut terjadi apa-apa dengan gitar itu.

“Mit, nggak memungkinkan buat ngamen disini.” Aku loncat turun dari pintu gerbang. Mita masih berdiri diambang pintu, sedikit bimbang, seperti sedang membuat pertimbangan lain.

“Buruan, nanti keburu keretanya jalan!” Aku berseru, meraih satu tangannya. Aku sedikit menangkap tubuhnya. Satu-dua detik aku bisa merasakan keteduhan matanya yang pelan merasupi jiwaku. Aku segera tersadar, sedikit kikuk. Mita pura-pura merapikan jaketnya.

“Kita cari tempat lain aja.” Aku menghela nafas, menyeka keningku.

“Mal!” Mita berteriak, sejurus dia berlari ke arah selatan. Tidak ada kesempatan untuk bertanya ada apa? Aku segera berlari menyusul Mita. Dari jarak yang masih jauh aku melihat kerusuhan yang terjadi sangat cepat. Aku sampai tidak percaya dengan apa yang sedang aku lihat. Mita berkelahi dengan tiga orang preman? Seorang diri? Mita bahkan cukup tangguh melawan preman-preman itu. Beberapa pukulan telak berhasil membuat ketiga preman itu menyingkir, preman itu meludah, tidak terima dengan perlawanan Mita. Aku melangkah menghampiri. Mita duduk berjongkok, ada seorang anak kecil yang babak-belur. Mita mengambil hansaplast dari sakunya, lalu menempelkannya di pelipis anak kecil itu. Mita juga memberi uang untuk pengobatan. Anak kecil itu tersenyum lemah memandangi Mita.



Aku baru tahu jika bibir Mita berdarah saat aku melajukan mobilku keluar dari stasiun itu. Aku berusaha menyentuhnya.

“Nggak usah pegang-pegang!” Mita kesal menahan tanganku. Aku menyodorkan kotak tisu, dia mengusap bibirnya dengan tisu itu. Masih terbayang dengan sangat jelas bagaimana Mita menolong anak tadi dari gangguan preman-preman. Berhubung hujan turun, aku memutuskan untuk pulang, dan Mita menyetujuinya.


Aku turun dari mobil seraya mengembangkan payung. Lantas membukakan pintu untuk Mita. Sedikit ragu aku merangkul pundaknya, mau bagaimana lagi, payung ini tidak terlalu besar, jadi harus sedikit berdempetan. Untungnya, kali ini dia tidak mengomel atau menuduhku macam-macam. Mita merapatkan tangannya di saku jaket. Angin berhembus sangat kencang, membuat dahan-dahan kering bergeming. Saat melangkah di pelataran apartemen, langkahku terhenti, aku membalikkan badan. Suara guntur menggelegar yang disertai angin menerpa sebuah pohon besar. Dan tepat didepan mataku, lihatlah, bagaimana angin itu mengamuk. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika pohon besar itu tumbang, yang sempurna menghantam mobilku. Berdebam. Aku kaget bukan kepalang, Mita tercekat menyentuh bahuku. Ya Tuhan. Aku melepas payung ditanganku, berlari ditengah hujan, menyaksikan sendiri dari dekat bentuk mobilku yang sudah ringsek di bagian tengah. Mita menyusulku, ikut hujan-hujanan. Aku mengangkat bahu, mau dikata apalagi, toh, sudah ringsek begini. Mita terlihat sedih.

“Mal, gitar gue kan masih di dalam mobil!!” Mita berseru, tangannya berusaha membuka pintu mobil yang sudah penyok terkena dahan. Tidak bisa membukanya, Mita kesal menendang ban mobil dengan geram. Aku kira dia ikut sedih karena melihat mobilku.

“Sial!” Aku menendang batu kecil di depanku. Menghela nafas panjang. Akhirnya dengan muka masam aku kembali ke kamarku. Aku mendapatkan pelajaran penting, gerakan ‘Go Green’ harus diimbangi dengan penebangan pohon besar yang sudah tua. Kalau begini yang akan bertanggungjawab siapa? Aku terduduk lemas di kasurku. Mobil kesayanganku remuk.


***

Pintu kamarku digedor-gedor dengan tidak sabaran. Berisik. Kalau aku membiarkan, mungkin dalam hitungan beberapa menit kedepan, pasti pintu kamarku akan jebol.

“Mau apa?” tanyaku sedikit malas ketika melihat Mita yang sepertinya akan marah.

“Lo lihat gitar gue!!” Mita berseru menunjuk gitar di atas kursi. Gitar yang patah menjadi dua bagian.

“Cuma gitar doang, Mit! Lo lihat mobil gue yang udah nggak berbentuk lagi!” Bentakku meremehkan, enak saja dia menyalahkanku.

“Hei, asal lo tahu, gitar ini jauh lebih berharga ketimbang mobil lo itu!” Mita menarik kerah bajuku. Aku sama sekali tidak takut dengan kemarahannya.

“Terus mau lo apa? Mau nonjok gue? Oke, silahkan!” Aku menengadahkan kedua telapak tanganku. Terserah.

“Brengsek!!” Mita melepas tangannya dari kerah bajuku, mengepal tangan, bersiap menghantamkannya ke wajahku.
Aku menatap lekat matanya yang memerah, antara kemarahan dan airmata berkumpul di kelopak matanya. Mita menurunkan kepalannya, tidak jadi melakukannya, dia hanya mendorong bahuku dengan kencang. Sedetik kemudian aku mendengar dia membanting pintu.


Dia membiarkan gitar itu tetap tergeletak diatas kursi. Aku tertarik untuk mendekati gitar itu. Gitar ini sama seperti gitar lainnya. Tidak ada yang istimewa. Tetapi untuk alasan apa sampai Mita marah besar saat mengetahui gitarnya hancur? Aku penasaran membolak-balik gitar itu, mencari hal apa yang saja yang membuat gitar ini berharga. Aku hanya menemukan sticker bendera Inggris di bagian depannya saja. Namun, setelah membaliknya, mataku terhenti pada sebuah ukiran tipis di bagian belakang gitar itu. Ada ukiran berbentuk hati, dan didalamnya terdapat tulisan ‘Mama’. Aku sangat yakin gitar ini pemberian dari Mamanya. Aku sangat menyesal, mengapa tadi aku membentaknya? Aku memandangi gitar itu, mana mungkin bisa membuatnya kembali utuh seperti sedia kala? Aku membawanya masuk ke dalam kamarku. Untuk berjaga kalau Mita masih ingin menyimpannya. Aku merenung cukup lama, memikirkan banyak hal, dan juga khawatir sendiri memikirkan Mita yang sekarang sangat kecewa.


***

Siang ini aku pergi ke toko alat musik. Sebelumnya aku mengetuk pintu kamar Mita. Tetapi, mana mungkin Mita mau membukakan pintu?


Aku menyetop taksi di depan apartemen. Diatas sana langit mulai gelap, petir membuat akar serabut di langit, aku memandanginya dari kaca yang sedikit terbuka. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai. Bergegas. Menaikan kupluk jaket, berlari menyibak air hujan yang semakin menderas. Aku mengibaskan telapak tangan, mendorong pintu kaca dari luar. Begitu masuk ke dalam toko, pendingin AC cukup menusuk ke tulang, dingin bukan main. Aku kembali merapatkan jaket, mulai berkeliling, mencari letak gitar akustik berada. Aku bingung harus memilih yang mana. Dan, setelah cukup lama mempertimbangkan, akhirnya pilihanku jatuh pada gitar berwarna merah marun, dengan warna hitam ditepinya. Aku tidak mempermasalahkan harganya, yang aku pikirkan, Mita mau menerimanya atau tidak?


Aku membuang nafas saat tahu jika hujan belum reda juga. Aku mundur satu-dua langkah, angin yang berhembus membuat percikan air hujan meluas. Aku menyandarkan punggungku di dinding kaca. Tidak ada pilihan lain selain menunggu hujan sampai reda.



Baru sekitar pukul tujuh malam aku mendapatkan taksi. Setengah hari aku habiskan dengan mematung di teras toko tadi. Tapi tidak masalah, aku tersenyum lega melihat gitar ditanganku. Aku mengetuk pintu kamarnya tiga kali, buru-buru meletakkan gitar tadi diatas keset, tepat di depan pintu. Aku segera bersembunyi, mengintip dari ambang pintu kamarku. Mita keluar, dia cukup bingung melihat gitar itu. Mita pun mengambilnya, dengan celingukan dia menoleh ke kanan-kiri. Mita memanyunkan bibir, lantas menutup pintunya. Aku heran, jadi cuma begitu reaksinya? Tetapi tunggu, Mita keluar lagi dari kamarnya. Aku yang kaget sampai serampangan ingin bersembunyi. Namun gagal, aku malah jatuh ke lantai, tersungkur di depan kamarku. Aku cepat-cepat bangkit.

“Makasih buat gitarnya. Sampai rela hujan-hujanan.” Mita tersenyum manis.

“Ng.. Iya sama-sama.” Aku sedikit gugup melihat kerlingan matanya. Mungkin dia tahu dari rambutku yang basah. Aku tidak menyangka kalau Mita senang menerima gitar itu. Puh, setidaknya pengorbananku tidak sia-sia.


Tengah malam aku tidak bisa tidur. Hidungku tersumbat, flu berat menderaku. Aku bangkit dari kasur, melangkah ke arah jendela. Aku menyingkap gorden, sejak tadi aku cukup penasaran dengan suara petikan gitar yang terdengar sayup-sayup. Aku membuka kaca jendela. Cewek tomboy itu sedang apa? Aku meraih jaket, bergegas memakainya seraya keluar dari kamar.


Tanpa permisi aku duduk disampingnya. Mita masih asyik memetik gitar tanpa menoleh sedikitpun. Mita menghentikan gerakan tangannya ketika aku iseng meletakkan tanganku di pundaknya. Tanpa sepatahkata dia menyingkirkan tanganku. Mita memetik gitar itu lagi.



Nevermind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
Don't forget me, I beg, I remember you said
“Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead.”



“Kenapa?” Aku memotong lagunya. Dia berhenti menyanyi, menoleh ke arahku.

“Kenapa apanya?” Mita menaikan kedua alisnya, bertanya serius.

“Kok nyanyi lagu itu? Pernah ditinggal nikah ya?” tanyaku hati-hati. Aku menutup mulutku, ini terlalu lancang!

“Masa lalu.” Mita mengibaskan tangan, tersenyum kecut, lantas menaruh gitar di sebelahnya. Jangan-jangan aku sudah merusak mood menyanyi-nya? Seharusnya aku tidak usah bertanya macam-macam. Aku juga lupa, kenapa aku tadi tidak memuji suara dan petikan gitarnya yang sangat memesona?


Mita mendongak dengan takzim ke langit. Aku memandangi Mita dan langit secara bergantian. Langit yang tersaput mendung tipis, ada dua-tiga bintang yang mengerjap dengan cahaya yang kecil. Angin berhembus pelan. Aku menyeka hidungku. Bersin. Suara itu membuat Mita melupakan sejenak langit diatas, dan menengok kepadaku.

“Cuma bersin doang. Besok pagi juga udah baikan,” ucapku mendahului sebelum Mita sempat bertanya.

“Soal gitar itu sebenarnya bukan salah lo. Gue waktu itu cuma marah aja, nggak ada tempat buat pelampiasan. Yah, jadinya gue ngamuknya ke elo.” Mita tertawa kecil. Aku mengerutkan dahi, memandanginya dengan skeptis.


“Wajar. Gitar itu kan dari nyokap lo.” Aku kembali menatap langit, lalu tersenyum kecil kepadanya. Mita menutup mata lalu membukanya kembali. Dia menghela nafas dalam.

“Gitar itu pemberian terakhir Mama. Sepuluh tahun yang lalu. Sebelum Mama pergi lima tahun yang lalu.” Mita melipat tangan di dada, dia bersandar di punggung kursi, mendongak, seperti mengenang sesuatu.

“Maaf.” Ucapku singkat. Aku ikut sedih melihat wajahnya yang berubah muram.

“Gue capek dengar kata itu.” Mita mendelik, bergurau, tertawa renyah memperlihatkan deretan gigi yang tertata rapi, ada satu piercing tersemat di lidahnya. Aku pura-pura marah, cemberut mencembungkan kedua pipiku.

“Gue beruntung kenal sama lo. Lo bisa ngertiin gue. Selalu tahu cara buat gue ketawa.” Mita meremas punggung tanganku. Hatiku mengembang dalam sekejap. Apa arti dari perasaan ini? Apa aku mulai—jatuh cinta?

“Gue belum tahu banyak tentang lo.” Aku tersenyum lembut. Mita melepas tanganku. Raut wajahnya kembali berubah.

“Gue berani taruhan, lo akan milih nggak mau tahu apa-apa tentang gue,” katanya sangat serius.

“Maksudnya?” tanyaku kurang jelas.

“Lebih baik lo nggak usah tahu tentang gue.” Mita dengan mimik serius beranjak berdiri. Aku menggaruk kepalaku.

“Belum ngerti juga?” Mita menoleh. Aku menggeleng pelan.

“Belum waktunya buat lo tahu. Dan mungkin lo nggak akan pernah mau tahu.” Mita menyunggingkan bibir, lalu melengos pergi. Padahal aku sangat penasaran, masih banyak pertanyaan berkecamuk lirih. Dia sedang bergurau atau apa?





Bersambung...

Jumat, 23 Maret 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 1)


My First Sight


Pintu di lantai basement terbuka secara otomatis saat aku hendak beranjak keluar. Kacamataku memantulkan siluet wajah seseorang yang berlawanan arah denganku. Aku terburu melangkah keluar. Jarakku dengan orang itu kini hanya satu jengkal.

“Eh!” Orang itu seperti menarik tasku. Aku bergeming melihatnya.

“Maaf, maaf mas.” Aku berusaha melepas tasku yang ternyata tersangkut lengan jaket orang itu. Tanganku tak sengaja menyentuh punggung tangannya. Terasa sangat halus. Dia laki-laki atau perempuan?

“Lain kali jangan panggil ‘mas’!” Orang itu sedikit kesal. Aku melihat dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Seorang perempuan? Aku menggaruk rambutku. Orang itu berlalu dengan cuek, hilang dari balik pintu. Aku masih mengerutkan dahi. Saking herannya, aku sampai lupa dengan tujuan awalku. Menepuk jidatku, lantas bergegas berlari ke arah mobil.



“Kita udah lumutan, eh lo baru dateng!” Ices berdiri, menudingku dengan garang. Semua ternyata sudah berkumpul.

“Iya, maaf!” ucapku sedikit bersalah.

“Kita bergerak sekarang.” Rio menepuk pundakku dan menarik Ices mundur. Aku meraih satu kardus yang berisi brosur-brosur. Kami serempak turun di jalan-jalan. Membagi-bagi selebaran kepada pengguna jalan yang sedang berhenti di lampu merah. Brosur yang berisi tentang ‘Go Green’. Dengan pakaian serba hijau-putih, tidak peduli dengan matahari yang mulai terik, kami tetap menjalankan tugas lingkungan ini. Senang-senang saja aku melakukannya. Sejak satu tahun yang lalu aku aktif dalam kegiatan LSM milik Rio. Lembaga kecil-kecilan yang sedikit banyak membantu perubahan dalam hidupku. Aku yang dulu sangat berbeda dengan aku yang sekarang. Aku belajar banyak, mulai dari menghargai waktu dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Akhirnya, setelah dirasa langit sudah mendung gelap, kami menyudahinya dan memutuskan untuk kembali ke basecamp. Aku tidak melihat raut kelelahan di wajah ketiga temanku. Tidak ada juga keluh-kesah yang terlontar. Aku menyeka keningku. Kegiatan hari ini sudah selesai. Aku berpamitan untuk pulang duluan.



Saat mobilku hendak parkir di halaman apartemen, tak sengaja dan diluar kendaliku, aku menabrak seseorang. Dan sepertinya aku tidak asing dengan orang itu. Bukankah? Aku bergegas turun. Saat aku mendekati orang itu, aku heran untuk kedua kalinya. Bukankah dia orang yang tadi pagi?

“Sial!” Orang itu mengumpat, jatuh terduduk di aspal parkiran. Dia masih menggunakan topi seperti tadi pagi.

“Aduh, maaf lagi. Gue nggak sengaja.” Aku membungkuk, menyentuh lututnya. Sejurus kemudian tanganku ditepis dengan keras.

“Sakit!” bentaknya. Sambil mengaduh, dia meremas lututnya. Sialnya, hujan deras turun secara tiba-tiba. Aku bingung menatap orang itu yang belum bergeming. Aku ingin berteduh, namun, mana tega aku meninggalkan orang itu kehujanan seorang diri?

“Naik.” Aku membungkuk, menyodorkan punggungku.

“Bantuin gue berdiri dulu,” ucapnya. Aku berbalik, menarik kedua lengannya. Aku semakin yakin kalau dia seorang perempuan. Dia lalu naik ke punggungku. Dia terlalu ringan untuk seukuran laki-laki.

“Ingat ya, nggak ada maaf buat lo.” Orang itu berkata, seperti mengancam.

“Heh! Lo pikir nggak berat gendong kayak gini?” Aku sedikit kesal. Untung tidak ada orang lain di dalam lift ini. Hanya ada kami berdua. Tangannya terjulur, lalu menekan angka 10. Kenapa dia bisa selantai denganku? Bagaimana dengan hidupku yang tidak akan nyaman lagi?

“Lo ini laki-laki atau perempuan sih?” tanyaku sedikit nyengir.

“Penting ya buat lo?” jawabnya sinis. Aku mendengus sebal. Lampu lift menyala. Dan untungnya dia minta diturunkan. Aku melangkah mendahuluinya.

“Woi! Geblek banget ya!” Orang itu berteriak. Aku menoleh, dan terpaksa berbalik menghampirinya lagi.

“Kenapa lagi?” tanyaku jengkel. Aku sudah cukup lelah untuk meladeninya.

“Gue jalannya gimana? Mikir dikit dong!” Orang itu, sekali lagi mengomel. Aku menyodorkan lenganku. Dia menggenggam erat lenganku, berpegangan, dan berjalan sedikit tertatih. Dia sedari tadi memang banyak mengomel, namun tidak sedikitpun menyinggung tentang aku yang tadi menabraknya. Entahlah, aku merasa senang melihatnya.

Langkahnya terhenti didepan sebuah pintu yang letaknya tepat di samping kamarku. Dia melepas lenganku, lantas meraih kunci dari saku celananya. Pintu terbuka. Tanpa sepengetahuannya, aku ikut masuk ke dalam. Dan lihat bagaimana ekspresi saat dia mencoba mengusirku. Dia melempar topi yang tadi dipakainya. Aku menghindar, mengelus dada, untung tidak kena. Aku tertegun melihat wajahnya yang terlihat natural, rambut yang dipangkas pendek, mata yang bening. Aku segera bergidik saat melihat dia bersiap melemparku dengan sepatu. Aku mengangkat kedua tanganku.

“Bisa kan tutup pintu itu dari luar?” Dia berseru, menunjuk pintu dengan sepatu di tangannya. Aku berjalan mundur. Baiklah. Sepertinya macan sedang mengamuk. Seraya menyeka rambutku, aku memutar gagang pintu. Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur. Diluar masih hujan, guntur terlihat berkelebat dari sela gorden yang sedikit terbuka. Pikiranku melayang, membayangkan orang tadi. Dia siapa? Aku baru melihatnya tadi pagi. Ah, mungkin dia penghuni baru disini. Tetapi jujur saja, galaknya tidak kalah dari Ices. Aku menguap lebar, lekas mengatupkan mataku, besok pagi tugas sudah menunggu.

***


Aku keluar dari apartemen pukul enam pagi. Satu jam lebih awal dari jadwal. Aku melangkah menuju restoran yang ada di depan apartemen. Memesan satu mangkok bubur ayam untuk sarapanku. Menyendok bubur itu dengan sedikit kecewa, ingin memesan bakso tapi belum tersedia. Aku menurunkan sendok, tidak jadi melahap bubur itu, aku sedang heran melihat ke arah jalan raya. Kulihat orang itu berjalan ke arahku. Sebenarnya tidak ada yang perlu aku herankan. Namun, aku sedang tertarik melihat cara berjalannya. Dia dengan sedikit tertatih berjalan menyeberangi jalan raya. Saat sudah sampai di restoran, giliran dia yang menatapku dengan apatis. Dan aku tidak tahu, mengapa dia memilih duduk di depanku? Dia memunggungiku. Aku mendengar dia memesan semangkok bakso. Ekspresinya segera berubah setelah tahu ia tidak bisa memesan bakso. Dia menggebrak meja dengan keras. Pelayan restoran hanya menatap dengan gentar, tidak bisa berbuat apa-apa.

“Udahlah, bubur ayam juga enak!” celetukku gemas. Dia menoleh ke belakang. Berdiri, lantas mendatangiku dengan terpatah-patah. Dari jarak dekat—karena dia hanya memakai celana selutut—aku bisa melihat lututnya yang memar. Aku jadi merasa sangat bersalah.

“Apa lihat-lihat!” bentaknya membuatku terkejut sampai menjatuhkan sendok di tanganku. Aku menarik tangannya keluar dari restoran itu. Dia berontak memintaku untuk melepas tangannya. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa saat aku memaksanya masuk ke dalam mobilku.

“Lo!” Dia menudingku dengan galak. Aku terkekeh.

“Jadi orang santai dikit dong, mbak.” Ceplosku sedikit tertawa. Dia mendengus sebal.

“Kita cari bakso di tempat langganan gue.” Aku berusaha meredam emosinya, dan berhasil. Dia menoleh sekilas ke arahku.

“Panggil gue Mita, jangan pernah sekali lagi panggil gue ‘mas’ atau bahkan ‘mbak’!” ujarnya tanpa aku bertanya. Aku tersenyum melihatnya.

“Nama yang bagus. Gue Ikmal.” Aku menyodorkan tangan. Mita balas menjabat. Hei, ini bukan seperti jabatan tangan. Dia hanya menyentuh ujung jariku saja. Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah warung yang tidak terlalu besar.

“Makan di sini nggak apa-apa kan?” tanyaku saat dua mangkok bakso sudah ada diatas meja.

“Kenapa? Lo kira gue ini gila gengsi?” ucapnya sedikit melotot.

“Bukannya gitu. Setiap cewek yang gue ajak kesini pasti ngomel.” Aku menyeruput es teh.

“Cewek borjuis lo ajak kesini mana ada yang mau. Eh, enak nih baksonya.” Mita tersenyum. Aku hampir tidak percaya. Dia bahkan terlihat sangat cantik saat tersenyum. Baru kali ini aku bisa berdamai dengan keadaan saat bersama Mita. Padahal kesan pertama kali bertemu sangat tidak menyenangkan.

“Aduh!” Aku menepuk jidat saat melihat jam di tanganku. Sebentar lagi sudah pukul tujuh.

“Kenapa?” Mita melipat dahi melihatku yang sedikit kelabakan.

“Gue buru-buru nih, mau ada acara sama temen.” Ucapku pelan, takut dia meledak.

“Terus gue gimana dong?” serunya tidak terima.

“Lo ikut gue aja ya? Mau gimana lagi. Waktunya mepet banget ini.” Aku menarik tangannya setelah selesai membayar.



“Ini tempat apa?” Mita bertanya agak ragu, matanya menyapu sekeliling.

“Ini punya temen gue.” Aku menarik tangannya.

“LSM?” Mita menghentikan langkahnya, menatap spanduk besar yang tergantung di teras depan.

“Iya.” Jawabku pendek.


“Dia siapa Mal?” Dara bertanya antusias. Ices dan Rio mendekat.

“Pacar baru ya?” Ices terkekeh menunjuk hidungku.

“Bukan. Mita namanya.” Aku menampik tangan Ices. Mita tersenyum ramah, menjulurkan tangannya. Mereka bertiga berebut menjabat tangan Mita duluan. Aku menggelengkan kepala.

“Mit, jangan deket-deket sama Ikmal. Dia itu playboy kelas kakap.” Ices mengarang bebas. Aku menoyor kepalanya. Mita menahan bibirnya. Mungkin saja dia tidak suka lelucon konyol seperti ini. Wajahnya saja terlihat serius. Entah. Apa yang membuat dia membatu.


Kegiatan pagi ini cukup menyenangkan. Aku bersama Mita, Dara, Ices dan Rio membagi-bagikan nasi kotak untuk anak-anak jalanan. Biasanya kami menyambangi kolong-kolong jembatan. Mita juga tidak keberatan, dia sepertinya sangat mudah beradaptasi, malah terlihat senang. Sejak tadi aku melihat senyum indah mengembang di bibirnya. Sesekali Mita membelai rambut anak-anak itu, menatap prihatin.


“Naksir ya sama Mita?” Rio menyenggol lenganku. Aku menelan ludah. Naksir?

“Dia orang yang baik. Padahal pertama ketemu dia garang banget,” ungkapku nyengir. Rio membelalakan mata, “Oh ya? Mita tipe lo dong?”

“Apaan sih? Siapa tahu dia udah punya pacar kan?” Aku mengibaskan tangan, meringis.

“Yang penting kan belum punya suami.” Dara memotong, merangkul bahuku dari belakang.

“Dan yang penting belum punya anak.” Ices datang, memasang wajah polos. Nampaknya mereka bertiga mendukungku. Ini sungguh aneh.


Siang hari, saat misi kami selesai, Mita mengotot minta pulang. Sepanjang perjalanan kami saling diam. Mita sibuk menatap keluar jendela, dan aku asyik menatap ke depan. Aku tidak pernah menyangka jika akan bertemu dengan Mita. Sangat senang bisa mempunyai teman seperti dia. Teman? Ya, hanya teman. Walaupun dia galak, tetapi, dia berbeda. Sesekali aku meliriknya. Melihat mulutnya yang komat-kamit, asyik mengunyah permen karet.




Bersambung—

Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 10 (ending)


Ibu Rose lebih memilih menarik tanganku ketimbang menanggapi pertanyaanku. Aku digiring melewati berpetak-petak persegi panjang, batu-batu nisan sejauh mata memandang. Aku masih heran mengapa Ibu Rose membawaku ke tempat ini. Sekian menit kami berjalan, barulah Ibu Rose berhenti, aku yang dari tadi celingukan, cepat-cepat mengerem kaki, hampir saja menabrak Ibu Rose. Aku terhenyak, menautkan alis, kok berhenti disini?


Pandanganku menyapu sekeliling, tunggu sebentar, tulisan itu tertangkap sekilas di mataku. Aku tertarik untuk mendekat, dengan langkah kaki yang amat pelan, aku sangat berharap kalau aku hanya salah baca saja. Ibu Rose mengikutiku cepat.

“Ibu pasti sedang bergurau, iya kan?” Aku tersenyum kecut.

“Tidak, memang ini yang terjadi.” Ibu Rose menggeleng, merengkuh bahuku sebelah.

“Mita pasti lagi mimpi, iya kan, Bu?” Satu tetes meluncur dari mataku. Aku tersenyum, tidak percaya, pasti ini hanya lelucon saja!

“Wahyu sudah pergi seminggu yang lalu karena kanker hati.” Ibu Rose mendekap bahuku semakin erat. Aku terpaku melihat tanah yang masih merah-kecoklatan itu.

“Mita nggak percaya. Wahyu pasti sekarang ada di bandara, iya, dia pasti mau pergi ke London. Mita harus mencegahnya, Bu.” Aku bersikeras melepas tangannya. Beliau berusaha menahanku. Aku jatuh bersimpuh, Ibu Rose memeluk kepalaku, tanganku terjulur, menyentuh gundukan tanah itu. Aku menangis mengerang-erang, aku ini istrinya, bahkan aku tidak mengetahui tentang penyakit sampai kepergian Wahyu pun aku tidak ada disampingnya kala itu. Takdir berjalan tanpa aku mengetahuinya. Sangat jelas sekali setiap huruf yang tertulis di nisan itu.

“Satu hal yang harus kamu tahu, Wahyu pernah berkata kalau dia belum bisa mencintaimu, dan kamu sendiri juga mendengarnya kan? Semua itu tidak benar!” Ibu Rose mulai bercerita, mengusap ubun-ubunku.

“Kamu ingat? Saat Wahyu datang ke Panti untuk terakhir kalinya? Ya, dia sudah mengatakan semuanya kepada Ibu, sebaliknya, bahkan dia sangat mencintai kamu. Wahyu hanya ingin kamu tidak melihat kepergiannya.” Beliau menyeka hidungnya.

“Wahyu selama ini selalu ingin terlihat baik-baik saja di depan kamu. Dia juga sengaja membuat kamu marah, dan pada akhirnya Wahyu berhasil kan membuat kamu membencinya? Semua itu semata-mata karena Wahyu sadar waktunya tidak akan cukup membuatmu bahagia. Wahyu sangat menyesali hal itu, Mit. Bahkan, dia berusaha menebusnya dengan mawar-mawar putih yang datang setiap paginya.” Ibu Rose mengungkapkan selama ini yang tidak pernah aku ketahui. Wahyu sengaja melakukannya? Aku ingin marah sekarang, namun apa mungkin, aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Ibu Rose mengelus punggungku. Membujuk untuk lekas beranjak. Langit diatas sudah gelap, sebentar lagi akan turun hujan. Sepanjang perjalanan pulang aku tak henti-hentinya menangis. Memikirkan banyak hal, bagaimana dengan Rinai? Dimana dan dengan siapa Rinai sekarang? Aku mengusap perutku, bagaimana dengan anakku yang akan lahir tanpa seorang ayah?



Ketika sampai di halaman Panti, aku cukup terkejut, melihat Rinai duduk di teras, sedang menungguku? Rinai berlari begitu melihat aku turun dari taksi. Berlari? Aku mengucek mataku sampai dua kali, tidak salah lihat, bahkan, lihatlah dia berlari melewati tiga anak tangga itu. Aku menelangkupkan kedua telapak tangan di mulutku, berdecak kagum, peri kecilku—tanpa bantuan tongkat lagi—bisa melihat. Rinai memeluk perut besarku, aku mengelus rambutnya yang tergerai, mencium kepalanya. Tangisanku pecah lagi, kali ini, rasa sedih dan bahagia menjadi satu. Tumpah-ruah. Aku menoleh ke Ibu Rose, beliau menghembuskan nafas, berjalan mendekat.

“Wahyu tidak seutuhnya pergi meninggalkanmu. Akan selalu ada Wahyu di mata Rinai.” Ibu Rose tersenyum, demi mendengarnya aku mengusap air mataku. Aku sedikit membungkuk, menatap kedua mata Rinai, lamat-lamat, mata ini, binar yang sangat teduh ini milik Wahyu.

“Bunda lebih cantik dari apa yang aku bayangkan selama ini.” Rinai tersenyum menyentuh pipiku. Aku bisa melihat giginya yang sudah tumbuh dengan sempurna.

“Huh, Bunda digombalin nih.” Aku mencubit pipinya. Lihatlah, Rinai terlihat baik-baik saja. Ceria seperti dulu. Tidak ada kesedihan di wajah Rinai. Aku menatap mata Rinai sekali lagi, aku seperti bisa melihat Wahyu sedang tersenyum manis di dalam bola mata itu.

“Bunda jangan sedih, ya. Rinai yakin kalau ayah selalu ada diantara kita. Ayah sudah berjanji sebelum pergi, katanya, ayah tidak akan meninggalkan kita.” Rinai menyeka pipiku, tak terasa satu titik airmata sudah menetes. Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, mengangguk, berjanji. Rinai memelukku lagi dengan manja. Baiklah. Setidaknya aku masih bisa merasakan kehadiran Wahyu, dengan cara menatap Rinai tentunya.


Setiap hari aku rutin mengunjungi pusara Wahyu. Selalu membawa setangkai mawar putih, meletakannya di dekat batu nisan. Aku hanya berusaha melakukan apa yang sudah Wahyu lakukan untukku.

“Meskipun aku bukan karang yang kokoh saat diterjang ombak. Namun, lihatlah aku sekarang, aku sanggup menjalani ini semua, tanpa kamu. Dan itu semua karena kedua mata yang ada di peri kecil kita, Rinai.” Aku dengan perut besarku beranjak meninggalkan pusara itu. Kehidupanku saat ini bagai burung yang satu sayapnya telah patah. Tetapi, aku masih mempunyai peri kecil yang akan membuat hari-hariku berangsur normal kembali. Aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membesarkan hati dalam urusan ini.


Aku bukanlah bintang-gemintang yang menghias langit malam
Aku bukanlah bulan purnama yang menerangi malam sepi
Aku bukanlah karang yang kokoh diterjang ombak bertalu-talu
Aku juga bukan pelangi tatkala hujan pergi
Aku hanyalah sebuah cerita
Yang berakhir tanpa sebuah penjelasan
Hanya sisa waktu yang bergulir
Menjadi sebuah dinding pembatas yang amat sangat nyata
Hati yang telah memudar
Terpupuskan oleh suatu kenyataan
Dinding hati yang tak lagi kokoh
Kini remuk redam melepas segala rasa
Cinta yang kini telah pergi
Hanya menyisakan bayang-bayang kosong
Seiring berjalannya waktu
Rasa itu tidak pernah menghilang
Selalu membekas di relung hati
Merekam setiap kenangan yang tertoreh bersama
Entahlah...
Sampai kapan aku bisa melupakannya?



 



Tamat.

Cinta Terakhir : part 9


Apa yang dia katakan barusan? Aku menatapnya jengah. Penantianku selama ini sia-sia, aku yang telah memberikan dia banyak waktu, tidak pernah membuahkan hasil yang baik. Kupikir, dengan memberinya waktu untuk sendiri akan membuat dia menghargai posisiku. Tetapi nyatanya apa? Aku salah, salah berharap berlebihan seperti ini. Aku masih menahan emosi, sekaligus air mata. Wahyu tiba-tiba bersimpuh, aku terperangah, aku tidak mengerti. Untuk pertama kalinya, aku melihat Wahyu menangis. Yang pada akhirnya membuatku menangis juga.

“Berdiri, ‘Yu. Aku nggak suka lihat kamu seperti ini. Aku tidak akan meminta kamu untuk mempertahankanku lagi.” Suaraku bergetar memohon agar dia bangkit. Aku meraih kedua lengannya, membujuk agar ia mau berdiri. Tetapi ia tetap keukeuh, aku tidak bisa berbuat lebih. Aku membiarkan saat dia memeluk kakiku. Satu per satu air mata menetes dari sudut mataku. Mulai sekarang, aku harus belajar untuk merelakan. Tuhan, bila ini yang terbaik, aku akan melapangkan hati untuk menjalaninya.


Dua jam kemudian, aku hanya mengurung diri di dalam kamar, menangis tanpa suara. Aku butuh waktu untuk sendiri. Tidak peduli di luar sana, meski Ibu Rose dan Dara bergiliran mengetuk pintu berkali-kali, membujuk agar aku mau minum vitamin dan susu seperti biasanya. Aku sedang tidak mau diganggu siapapun.

***

Hari-hariku bertambah kelam. Semuanya memang sudah berubah. Tidak ada lagi mawar putih setiap paginya. Wahyu juga menghilang, entah kemana. Kini aku hanya secuil karang ditengah hempasan ombak bertubi-tubi. Terpuruk sendiri menatap bulir-bulir air hujan dari jendela ini. Tanganku erat merengkuh teralis jendela, menyandarkan keletihan hatiku disana. Aku lelah dengan keadaan ini.

“Mita.” Ibu Rose menegur dari balik pintu. Aku tidak tertarik untuk membuka pintu.

“Mita baik-baik aja, Bu.” Jawabku, supaya Ibu Rose tidak cemas lagi, aku juga sudah bosan, setiap jam beliau selalu mengetuk pintu kamarku.

“Keluar yuk, kita sarapan bareng, semuanya sudah menunggu di meja makan.” Ibu Rose membujuk, dengan suara yang lembut.

Aku menolaknya, Ibu Rose menyerah, menghilang dari depan pintu kamarku. Aku kembali menatap keluar, tidak mereda, hujan malah bertambah deras, angin kencang juga menyertainya. Dari jendela ini, aku bisa melihat ayunan itu bergerak diterpa angin, tiba-tiba teringat dengan Rinai. Aku beranjak, melangkah menuju pintu, aku memutar kuncinya. Aku ingin menemui Rinai, barangkali ia ada disini. Aku berjalan tertatih menuju ruang tengah, aku termenung, tidak ada Rinai disana, hanya ada Dara dengan kucing-kucingnya yang sedang, entahlah, barangkali menyisir bulu kucingnya. Aku hanya menyeringai, memutuskan untuk kembali ke kamar saja. Namun, baru dua-tiga langkah saja, tiba-tiba Ibu Rose datang menutup jalanku. Ibu Rose berkacak pinggang, firasatku sudah tidak enak, pasti dipaksa untuk sarapan. Aku menurut saja saat beliau menyeret tanganku ke arah meja makan. Aku duduk, beliau ribut menyiapkan makananku, bersikukuh menunggu sampai aku menghabiskannya. Aku menyeringai, akhirnya hanya memainkan sendok diatas piring, tidak bernafsu untuk menyendok walaupun hanya satu suapan. Ibu Rose berdehem, sepertinya kesal menghadapiku. Aku hanya meliriknya dengan ekor mataku.

“Ayolah, Mit. Bayi kamu butuh semua makanan ini. Jangan egois.” Ibu Rose masih sabar untuk membujukku lagi. Aku kira beliau akan meledak-ledak.

“Mita udah nggak kuat, Bu. Rasanya pengen lari dari semua ini.” Aku meletakkan sendok, menyibak poni di dahiku.

“Mita yang Ibu kenal bukanlah seorang pengecut.” Ibu Rose berkata pelan, meraih tanganku, menguatkan.

“Ini bukan soal pengecut atau tidak. Mita juga manusia biasa, yang bisa padam dengan satu sulutan emosi.” Aku hampir menangis, masih kutahan.

“Kamu boleh kecewa dengan Wahyu. Tetapi, calon anakmu jangan kamu terlantarkan. Sekarang, makan ya.” Beliau sekali lagi membujuk lirih. Aku meraih sendok itu kembali, namun hanya sampai lima suapan saja. Ibu Rose lega melihatku, memaksa lagi untuk menghabiskan segelas susu, tak lupa dengan vitaminnya. Aku menyeka dahi. Setelah selesai, aku kembali ke kamar, meratap disana.

***

Dua minggu berlalu dengan cepat. Aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Ada Ibu Rose yang senantiasa mendukungku, memberi semangat saat aku terjatuh. Aku mulai menjalani hari-hariku seperti biasanya. Meskipun, aku belum bisa melupakan Wahyu. Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah membuang setiap kenangan bersama Wahyu. Biarkan hati menjadi tempat yang paling rahasia untuk menyimpannya.



“Kita ke rumah sakit sekarang!” Ibu Rose berseru dengan suara bergetar. Matanya merah, menangis? Entahlah. Beliau bergegas, buru-buru menarik lenganku. Aku melihat sudah ada satu taksi didepan Panti. Setiap kali aku bertanya, “Siapa yang sakit?” Ibu Rose langsung terdiam. Tidak berani menatapku. Aku dibiarkan—dengan rasa ingin tahuku—bertanya-tanya dalam hati.


Tiba di rumah sakit. Aku mematung, Ibu Rose melangkah lebih cepat, berhenti ketika mendapati aku tidak berjalan di sampingnya. Ibu Rose menoleh ke belakang, menghampiri, menggandeng tanganku. Sepanjang melewati koridor rumah sakit, aku hanya melipat dahi, sementara rasa penasaran tumbuh liar di hatiku. Ibu Rose menyuruhku untuk menunggu di luar, sedangkan beliau masuk ke sebuah ruangan, dan aku tidak boleh ikut. Sepuluh menit berselang, Ibu Rose sudah keluar dari ruangan itu. Aku melihat beliau menyeka pipinya dengan punggung tangan, ada secarik kertas di tangannya. Aku ingin bertanya, tidak sempat, aku memeluknya. Beliau tersedu-sedu di pundakku.

“Ada apa, Bu? Apa yang terjadi?” Akhirnya aku bertanya. Aku melepas pelukanku. Bahunya masih naik-turun, menangis.

“Ibu ingin menunjukkan sesuatu ke kamu.” Ibu Rose mengusap pipinya, bersiap meraih tanganku. Aku berjalan mengekor di belakangnya menuju pelataran rumah sakit, masuk ke dalam taksi. Ibu Rose menyerahkan secarik kertas tadi ke sopir taksi, sopir itu membaca sekilas, lantas mengangguk. Lagi-lagi aku dibuat penasaran, menelan ludah, menoleh ke Ibu Rose, melihatnya yang masih sibuk mengusap air mata. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?


“Eh, kok kesini, Bu?” Aku bertanya spontan, kaget bukan main. Ibu Rose menatapku dengan matanya yang berair.




Bersambung...

Cinta Terakhir : part 8


Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa berharap Wahyu datang lagi pagi ini. Yang benar saja, kemarin pagi aku bahkan mengusirnya secara tidak langsung. Aku juga melihat cincinku masih tergeletak di kursi ini, aku mengambilnya, memutuskan untuk menyimpannya saja, enggan untuk memakainya lagi. Baiklah, cukup lama aku duduk di sini, beranjak menuju ruanganku. Percuma, Wahyu tidak akan datang.


Aku menelan ludah, begitu aku membuka pintu, aku mendapati satu poket mawar putih di atas meja, dekat ranjangku. Aku meraihnya, menghirup aroma yang begitu semerbak. Aku membolak-baliknya, berharap menemukan secarik kertas, aku memajukan bibirku, tidak ada kertas yang terselip diantaranya. Entahlah, aku sangat yakin sekali kalau bunga itu dari Wahyu. Aku buru-buru membuka pintu, menoleh ke kanan-kiri, sepi, tidak ada Wahyu, hanya para suster yang berlalu-lalang.


Sorenya, dokter mengijinkanku untuk pulang. Karena kandunganku lemah, jadinya dokter menulis banyak sekali vitamin penguat kandungan yang harus aku konsumsi, juga susu khusus ibu hamil. Aku menghela nafas, duduk menunggu, sementara Mama sedang menebus semua vitamin itu di apotik yang juga ada di rumah sakit.

“Tuh, lihat vitaminnya banyak banget. Pokoknya harus rutin diminum ya, nggak boleh telat! Mama nggak mau calon cucu Mama kenapa-kenapa.” Mama berpesan, aku menyeringai, sudah kuduga sejak tadi, pasti ujung-ujungnya kena omelan.

“Iya, Ma.” Jawabku pendek. Mama mengantarku sampai Panti, Mama juga heran, kenapa aku tidak pulang ke rumah Wahyu. Aku segera memutar otak, bingung mencari alasan, akhirnya berbohong kalau di rumah Wahyu aku merasa kesepian, kalau ada apa-apa tidak ada yang membantu, sedangkan Wahyu sibuk bekerja. Ibu Rose memutar bola matanya, gemas sendiri saat tahu jika aku berkata bohong kepada Mama. Aku hanya nyengir saat Ibu Rose melototiku. Aku yakin bisa menyelesaikan masalah ini tanpa Mama perlu mengetahuinya. Bahkan, jujur saja, dari awal aku tak berniat membawa Ibu Rose ikut dalam urusan ini. Lebih dari itu semua, aku memang butuh campur-tangannya.



“Sedang apa, kak?” Dara menghampiriku, ikut berdiri di sebelahku, menghadap ke sebuah jendela. Di luar hanya ada hujan. Aku kira dia tidak akan tertarik melihat hujan.

“Lagi galau nih.” Aku bergurau, tertawa kecil. Dara melepas kucingnya, membiarkan kucing itu menggeliat manja di betisnya. Dara melongo, lantas tertawa geli.

“Aku salut sama kakak.” Dara menyentuh pundakku.

“Aku hanyalah sebuah karang yang kecil, selalu kalah diterpa ombak, bahkan hanya percikannya saja.” Aku menatapnya sebentar, kembali menatap hujan, menghela nafas.

“Aku yakin pasti lebih dari itu.” Ucapnya tersenyum, barangkali mencoba melipurku. Ah, tetap saja aku tidak sekuat karang terkecil sekalipun.

***

Berbulan-bulan hidup tanpa Wahyu bagiku terasa amat berat. Aku hanya memendam, segan menceritakan kepada Ibu Rose. Yang beliau tahu, sekarang aku bisa hidup mandiri meski tengah hamil lima bulan. Hingga saat ini aku belum bertemu dengan Wahyu. Aku hanya bertemu dengan mawar putih setiap paginya, bunga yang entah siapa pengirimnya, tidak ada kertas yang menyertainya. Bunga-bunga itu aku simpan dengan baik, tidak peduli meski banyak yang sudah layu, meski Ibu Rose sudah gregetan ingin membuang bunga yang layu. Aku hanya mencegah, cemberut, dan merengek. Akhirnya Ibu Rose mengalah.


Karena penasaran, pagi-pagi sekali, aku sudah berdiri didepan teras, berharap sekali bisa melihat siapa yang mengantar mawar putih setiap paginya. Namun, setelah hampir satu jam menunggu, matahari juga sudah nampak, nyatanya tak ada satupun orang yang datang. Aku mengeluh. Sia-sia aku bangun terlalu pagi. Buang-buang energi saja.



Aku mengaduk susu di gelasku dengan malas, entah sudah berapa kali gerakan sendokku berputar di gelas itu. Aku hanya melamun, pikiranku kembali tersita, aku teringat sesuatu, menghentikan gerakan tanganku. Aku bergegas, melangkah dengan cepat menuju pintu depan. Membukanya cepat, aku kira yang akan aku lihat mawar putih lagi. Aku menggigit bibir, yang kulihat mobil Wahyu sudah terparkir. Kapan dia datang? Sampai-sampai aku tidak mengetahuinya.

Aku termenung, tiba-tiba tersentak, ada yang menyentuh tanganku. Aku bergeming, ekspresi terkejut langsung berubah ketika melihat ada Rinai di belakangku. Aku segera memeluknya, menciumi kedua pipinya, aku kangen dengan peri kecil ini. Aku mengacak poninya, Rinai malah menangis. Katanya, “Rinai kangen banget sama Bunda. Ayah juga selalu sedih saat Bunda nggak pulang-pulang.”

Aku mengusap pipinya, menyibak rambutnya di sela kuping. Aku susah untuk sekadar mensejajari tinggi Rinai, tapi cukup untuk melihat gigi Rinai yang mulai tumbuh. Sedang asyik bercengkrama dengan Rinai, aku sampai tidak tahu kalau Wahyu sedang berjalan ke arahku. Tatapannya, masih sama seperti dulu, meneduhkan. Ibu Rose berjalan di belakangnya, entah kali ini apa yang telah mereka berdua obrolkan. Tapi aku yakin, apalagi kalau bukan Ibu Rose mengadu soal ini-itu kepada Wahyu, melaporkan keadaanku akhir-akhir ini. Aku tidak tahu sudah berapa menit Wahyu berdiri di hadapanku, aku terlalu asyik memikirkan hal lain. Lama sekali aku dan Wahyu diam dalam kebisuan. Ibu Rose berdehem, menatap kami berdua dengan heran, lalu beranjak pergi, tak lupa mengajak Rinai untuk pergi juga. Ruangan ini hanya menyisakan aku dan Wahyu saja. Aku tidak tahu kenapa Wahyu hanya menatapku saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Apa yang akan dia katakan? Apa dia sudah lelah dengan keadaan ini dan ingin mengakhiri segalanya? Seperti halnya dengan cara menceraikanku? Aku mengepalkan genggaman, menelan ludah. Wahyu mengulurkan tangannya, meraih jemariku, aku tak bisa menepisnya. Wahyu mendekat, patah-patah mencium keningku, aku bisa merasakan desahan nafasnya.

“Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Maaf jika selama ini aku tidak ada di sampingmu untuk melewati masa-masa berat ini.” Wahyu melepas tangannya. Aku mengatupkan bibir.

“Aku juga yang salah.” Aku memilh tidak menatapnya.

“Aku juga minta maaf kalau sampai sekarang aku belum bisa cinta sama kamu.” Wahyu memaksaku untuk bergeming, aku menoleh dengan raut wajah yang tidak terjelaskan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Hatiku hancur dalam hitungan detik.





Bersambung...

Cinta Terakhir : part 7


Aku tidak bisa menghindar lagi. Wahyu membulatkan mata, ekspresi wajahnya berubah seketika. Wahyu perlahan melangkah mendekatiku, udara seakan memberi ruang, senyap. Wahyu menyentuh pipiku, aku membuang muka, tidak siap menatapnya, padahal aku sangat merindukannya. Wahyu dengan rona wajah tidak terjelaskan, matanya yang teduh kini berbinar. Wahyu memelukku kemudian, mencium ubun-ubunku. Aku ingin sekali membalas pelukannya, urung, aku menghentikan tanganku, sadar kalau sampai detik ini Wahyu belum bisa mencintaiku. Cukup lama dia mendekapku, sampai-sampai Rinai menarik lengan Wahyu, bosan menunggu. Akhirnya Rinai pulang ke rumah bersama Wahyu, dia juga membujukku untuk ikut pulang bersamanya, namun aku menolak. Wahyu hanya mengecup pipiku, berpesan, agar aku menjaga kandunganku dengan baik.

***

Sejak siang aku mual-mual lagi, kepalaku terasa berat. Dari tadi aku hanya berbaring di tempat tidur. Aku melihat Ibu Rose mondar-mandir, sebentar-sebentar bertanya apa keluhanku.

“Sudahlah, Bu. Aku nggak kenapa-kenapa kok. Paling cuma masuk angin aja.” Ucapku, aku sudah bosan melihatnya mondar-mandir. Tapi apa? Bukannya mengindahkan kalimatku, Ibu Rose malah melakukan hal di luar dugaanku.

“Menelepon Wahyu? Aduh, seharusnya itu tidak perlu.” Aku melotot, protes.

“Kamu ini, selalu saja menganggap enteng masalah. Kamu sedang hamil, bukan hanya sekadar masuk angin biasa. Tidak bisa dibiarkan begitu saja.” Ibu Rose menjawab dengan helaan nafas, mengotot, tidak mau ditentang. Aku menelan ludah, sadar akan satu hal, jika dibandingkan dengan Mama ternyata Ibu Rose lebih cerewet. Over protective.

“Tapi kan— Uhh,” Rintihku. Ibu Rose cepat tanggap, segera duduk di pinggir ranjang.

“Apanya yang sakit?” tanyanya sangat panik.

“Kaki Mita, kram, Bu.” Aku meringis kesakitan. Ibu Rose memijat kakiku.

“Mita..” Wahyu datang, menatapku dengan cemas, meletakkan punggung tangannya di keningku. Tanpa menunggu persetujuanku, Wahyu langsung mengangkat tubuhku, membawa masuk ke dalam mobilnya. Aku memanyunkan bibir, ingin protes tapi tidak bisa.

Apa boleh buat, beberapa hari ini aku terpaksa menginap di rumah sakit. Wahyu dengan sabar menunggu, sebenarnya sejak tadi aku sudah menyuruhnya pulang, namun keukeuh tidak mau pulang. Aku kehabisan akal, akhirnya hanya membiarkan. Jujur, aku sangat senang Wahyu ada di sampingku saat ini. Setia mengenggam tanganku.


“Sudah baikan, belum?” Wahyu mengusap keningku.

“Masih pusing,” jawabku pelan. Sejurus kemudian, handphone Wahyu berdering, dia beranjak berdiri, menjauh dari posisiku. Aku curiga, pasti wanita itu yang meneleponnya.


“Siapa?” tanyaku saat Wahyu sudah mengakhiri perbincangannya yang entah dengan siapa. Wahyu tidak menjawab, mengecup keningku. Aku menarik lengannya, “Wanita itu lagi?” Wahyu mengangguk, aku melepas genggamanku, membiarkan dia pergi. Wahyu berpamitan, berjanji akan segera kembali. Dia sempat ingin mencium pipiku sebelum pergi, aku sengaja menghindar. Sangat jelas sekali, dia lebih mementingkan wanita itu daripada aku, istrinya sendiri.

***

Aku berjalan tertatih melewati lorong-lorong rumah sakit, sendirian, tanganku berpegangan pada dinding-dinding, berjalan menuju halaman belakang. Aku ingin merasakan sejuknya embun pagi, terpaan sinar matahari yang hangat. Aku duduk di kursi panjang, udara sedikit lembab, daun-daun yang basah oleh embun. Aku memejamkan mata, merentangkan kedua tanganku, angin berhembus lembut menerpa wajahku. Saat aku membuka mata, jelas sekali, setangkai mawar putih ada didepan mataku sekarang. Aku terpukau menatap bunga itu, tanganku terjulur, hendak meraih mawar putih itu. Pandanganku beralih, melihat siapa yang berdiri membawa mawar itu, aku terkesiap, menarik tanganku kembali, urung mengambil bunga itu setelah melihat Wahyu yang berdiri tak jauh dariku. Aku mendengus sebal. Memangnya aku bisa di suap dengan setangkai mawar itu? Wahyu menatapku tidak mengerti, membolak-balikan mawar itu, mengerutkan dahi, memangnya kenapa dengan mawarnya?

“Buat apa kesini lagi?” tanyaku ketus, Wahyu duduk di sebelahku.

“Sudah tugasku buat jagain kamu,” jawabnya membelai rambutku. Dia memang peduli atau hanya basa-basi?
“Aku rela bila kamu menceraikanku.” Aku menatapnya lamat, suaraku bergetar.

“Maksud kamu apa?” Wahyu tercekat, tidak percaya.

“Karena aku tahu, bahagiamu tidak ada bersamaku.” Aku menahan kelopak mataku yang sudah berat.

“Aku benar-benar..” Wahyu mengangkat kedua telapak tangannya.

“Benar-benar tidak bisa mencintaiku?” Aku memotong, menatapnya nanar.

“Sejak awal, aku ingin hidup dalam sebuah kesempurnaan, mencintai dengan segala kekurangan. Tetapi apa yang aku dapat? Selama ini hanya kebohongan besar!” Aku membentaknya, air mataku tumpah. Wahyu diam menunduk.

“Kamu tahu, bagaimana aku sangat mencintaimu. Tapi apa pernah kamu menghargai perasaanku? Bahkan, urusan wanita itu lebih penting.” Aku mengusap pipiku. Biarlah, aku ingin semuanya selesai detik ini juga.

“Aku tidak akan mencegah, silahkan kamu mencari kebahagiaan itu. Aku ini apa sih? Barangkali hanya wanita beruntung yang bisa menikah denganmu.” Aku berusaha melepas cincin dari jari manisku, lantas meletakannya didekat Wahyu. Arti cincin pernikahan itu sudah tidak ada. Wahyu sejak tadi bungkam, menunduk, beberapa kali menyeka hidungnya.

“Baiklah, sepertinya kamu belum mengerti juga.” Wahyu berdiri, beranjak pergi. Angin berhembus kencang. Aku tergugu, apa yang sudah aku lakukan? Aku telah menyakitinya.

“Aku selalu menunggu sampai kamu kembali, ke rumah kita.” Wahyu berhenti, berbalik menatapku, tatapan itu dingin. Aku mengusap wajahku, menyesal, berkata sedemikian rupa.

“Cintai aku, maka aku akan kembali.” Ucapku pelan, berharap Wahyu tidak mendengarnya, tetapi aku salah, nyatanya Wahyu menoleh, menghentikan langkahnya untuk kedua kali.

***

Aku menunggu dengan cemas, pagi ini, seperti kemarin, aku duduk di kursi taman belakang rumah sakit. Aku memejamkan mata, merentangkan kedua tanganku, angin bertiup lembut. Aku sangat berharap, saat aku membuka mata akan ada setangkai mawar putih di depan mataku. Aku nyengir, menghitung mundur, dalam hitungan satu aku langsung membuka mata. Aku menelan ludah, tidak ada mawar putih, hanya angin, aku menjulurkan tangan, kosong.





Bersambung...

Cinta Terakhir : part 6


Daun pintu sedikit terbuka. Aku bisa melihat raut wajah Wahyu, matanya yang memerah, entah karena apa.

“Ada masalah apa sebenarnya? Semalam Mita pergi secara diam-diam. Pulang tahu-tahu dia menangis. Ibu benar-benar tidak mengerti apa yang sudah dan tengah terjadi.” Ibu Rose membulatkan mata. Menatap Wahyu dengan gusar.

“Aku yang salah, Bu. Sejak awal aku salah mengambil keputusan untuk menikah dengan Mita.” Wahyu menunduk. Ibu Rose mengerutkan alis.

“Apa kurangnya Mita, Yu? Bahkan dia terlalu baik. Dia bisa menyayangi Rinai dengan tulus.”

“Tetapi.. aku masih belum bisa mencintainya, Bu.” Wahyu berdiri, tidak terima terpojokkan seperti ini. Aku mati rasa demi mendengar kalimat itu. Jadi, selama ini aku tidak pernah berharga dimata Wahyu. Lantas, semua sikap manisnya dulu untuk apa? Aku tidak pernah menyangka jika selama ini aku hidup dalam kebohongan besar. Aku tidak perlu menunggu sampai dia menceritakannya, karena aku sudah tahu apa yang akan dia ceritakan.

“Ibu heran dengan kamu. Kamu tega sekali mencampakkan Mita seperti ini. Asal kamu tahu, Mita ham—” Ucapan Ibu Rose terhenti. Beliau tahu jika aku ada didepan pintu. Aku menggelengkan kepala, mengisyaratkan agar beliau tidak melanjutkan kalimatnya. Aku tahu niat Ibu Rose baik. Tapi tidak untuk sekarang. Biarkan Wahyu tahu dengan sendirinya. Ibu Rose yang tadinya tersulut emosi, kini bisa mengendalikan diri. Aku melihat Wahyu berjalan keluar dari ruangan itu, aku segera menyingkir dari depan pintu. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hari ini, semua yang mengganjal di hatiku, sudah terjelaskan dengan sangat detail. Satu pukulan telak. Sehebat apapun itu, tetap saja tidak mampu mengikis cintaku untuk Wahyu. Biarlah cinta ini tetap ada seiring tumbuhnya benih cintanya.


Ibu Rose menatapku heran. Menghela nafas panjang. Dan, ujung-ujungnya rusuh memaksaku makan dengan porsi lebih. Mengomel saat aku menolak menghabiskannya. Rinai tertawa kecil mendengar suara Ibu Rose yang sedang mendumal. Katanya, “Ibu Rose, Bunda kan udah besar. Kenapa dipaksa makan sih?”

“Kamu masih marah dengan Wahyu?” Ibu Rose bertanya, menoleh sebentar, melanjutkan memotong wortel.

“Mita bisa apa lagi. Cuma dengan cara ini aku bisa bertahan, Bu.” Aku melangkah, berdiri disampingnya.

“Kamu tidak kasihan, Wahyu kamu tinggal sendirian dirumah?” Beliau menatapku lagi. Aku tersenyum kecut. Kasihan?

“Buat apa kasihan? Jelas-jelas sudah ada wanita itu.” Aku menjawab dengan sebal. Aku beranjak ke bak cuci, meraih satu piring kotor. Ibu Rose mendehem. Diam, tidak mencercaku lagi.

“Mamamu sudah tahu tentang ini?” Manuver beliau cukup ampuh, piring di tanganku hampir saja terjatuh. Aku terdiam, memperlambat gerakan tanganku, aku menggigit bibir. Bahkan aku lupa dengan itu. Tapi, mana berani aku berkata jujur kepada Mama. Aku takut sekali.

“Kok, diam? Belum ya?” Ibu Rose memastikan. Aku menoleh, menggeleng, belum, tidak ada keberanian untuk itu.

“Tapi, Mamamu berhak tahu kalau anaknya sedang mengandung.” Ibu Rose berdiri, menghampiri, mengambil alih pekerjaanku. Aku sedikit bergeser.

“Nanti pasti Mita kasih tahu kok.” Ibu Rose tersenyum tipis.


“Eh, itu Rinai main sama siapa, Bu?” Mataku memicing, penasaran, melihat Rinai bermain ayunan bersama seorang perempuan. Aku melihatnya dari kaca jendela. Ibu Rose mendongak, tersenyum, “Oh, itu, ponakan Ibu.”

“Kok Mita baru lihat ya?” Aku melihat Rinai sudah akrab dengan perempuan itu.

“Baru tadi pagi dia tiba disini, dari Bandung, namanya Dara,” Ibu Rose menjelaskan. Aku ber-oh kemudian. Rinai terlihat senang bermain dengan Dara. Aku berjalan menuju taman belakang, menghampiri mereka berdua. Dara tersenyum saat melihatku menghampirinya. Dia lantas mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangannya, “Mita, Bundanya Rinai.” Dia gantian menyebutkan namanya.

“Sudah berapa bulan?” tanyanya dengan sopan.

“Baru tiga bulan,” jawabku. Karena gerimis, kami memutuskan untuk melanjutkan perbincangan di dalam rumah. Rinai lebih memilih untuk tidur siang. Dara bercerita banyak hal, dia baru saja lulus SMA, dia yang ternyata anak yatim-piatu. Aku terenyuh, menatap matanya yang teduh kini berkaca-kaca.

***

Ruang tengah cukup ramai malam ini, berkumpul bersama. Anak-anak sibuk dengan mainannya masing-masing. Aku duduk di sofa bersama Ibu Rose, menyimak. Rinai asyik mengelus-elus kucing milik Dara. Anak yang lain mendekat, penasaran, ingin ikutan mengelus kucing itu. Dalam sekejap rusuh hebat, gaduh. Anak-anak dengan usil mengejar kucing itu, gemas sendiri, entah kalau tertangkap ingin diapakan kucing itu. Dara tidak tinggal diam, berteriak-teriak, sibuk melarang, “Aduh, jangan dong. Kasihan, nanti dia ketakutan!!”

Maka paginya, Dara langsung membeli kandang mini untuk kucing kecilnya. Selalu di tenteng kemana-mana, setiap waktu, takut kalau anak-anak akan mengejar-ngejar kucingnya lagi. Saat kutanya, dia hanya menjawab seadanya, “Semalam saja Ibunya dikejar-kejar, apalagi anak-anaknya, bisa dibikin sate sama mereka.” Aku hanya tertawa mendengar Dara mengutuk perbuatan anak-anak semalam.



Satu bulan kemudian, aku menelepon Mama, mengabari tentang kehamilanku. Mama sangat senang mendengarnya. Maka tanpa ba-bi-bu, Mama datang satu jam kemudian. Dua tangannya menenteng dua plastik besar. Satu plastik berisi buah-buahan, dan satunya lagi berisi baju-baju ibu hamil. Aku menelan ludah, Mama memaksa, menyuruhku mencoba salah satu baju yang dibawanya. Lagi-lagi aku nurut saja. Lagi pula semua bajuku juga sudah tidak muat. Jadinya, aku terpaksa memakai baju terusan selutut. Nah, kalau begini, aku benar-benar kelihatan hamil tua. Padahal, baru juga menginjak empat bulan. Mama tersenyum melihatku. Senang, sebentar lagi dapat cucu. Aku hanya menyeringai.


Sudah hampir satu bulan aku tidak pulang. Sungguh, aku khawatir dengan Wahyu. Entahlah, aku enggan untuk mengangkat teleponnya. Dia selalu menghubungiku setiap jamnya, dan aku tidak pernah mempedulikannya. Aku mengibaskan tangan, membuang angan itu jauh-jauh. Mobilku sudah sampai, pelan memasuki halaman sekolah Rinai. Aku bergegas, melirik jam ditangan, aku telat menjemputnya hampir sepuluh menitan. Aku langsung menghentikan langkahku, menatap jerih, melihat Wahyu bersama Rinai berjalan ke arahku.





Bersambung...

Cari Blog Ini