Jumat, 25 Mei 2012

Semua Tentang Kita | part 4




Aku menarik tangan Icha, tapi sia-sia, anak itu sangat bandel. Icha tertawa riang, bangga, akhirnya berhasil menangkap salah satu ikan. Aku mendengus sebal, siapa juga yang akan bertepuk tangan?

“Ikannya bisa mati, Icha!” Aku berseru melihat Icha membiarkan ikan itu berlama-lama di tangannya.

“Lihat tuh, dua matanya aja masih melek.” Icha membolak-balikan ikan kecil itu. Aku menepuk jidatku. Mama datang begitu mendengar suara ribut di kamarku. Ekspresi Mama juga sama sepertiku, heran melihat monters kecil itu dengan melipat dahi. Mama langsung mengambil ikan itu dari tangan Icha. Hasilnya? Monster kecil itu merajuk, duduk di lantai, menangis, menghentak-hentakan kedua kakinya.

“Besok Mama beliin sendiri, pokoknya lebih besar dari ini.” Mama menunjuk aquarium di atas meja. Setelah puas menangis di kamarku, Icha baru mau beranjak setelah mendengar suara penjual es krim yang biasanya lewat di depan rumah setiap sore. Icha langsung lupa soal ikan, sekarang sibuk merajuk minta dibelikan es krim. Aku menyibak poni didahiku. Andaikan saja penjual es krim itu lewat tiga kali dalam sehari, aku pasti akan sangat tertolong.


Aku hanya tinggal di rumah ini bersama Mama dan Icha. Papa, dua tahun yang lalu meninggal karena serangan jantung. Dua tahun terakhir Mama menjadi tulang punggung keluarga. Mengurusi dua anak dan satu butik yang letaknya tak jauh dari rumah. Mama seorang desainer hebat. Aku selalu bangga melihat kegigihannya. Mama yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan dua anaknya.

“Ma, kok Papa belum pulang juga?” Icha bertanya hal itu suatu ketika, dengan wajah polosnya.

“Papa tidak akan pulang, sayang.” Mama membelai kepala Icha, tersenyum. Aku, tidak ada yang bisa aku lontarkan untuk membantu Mama menjawab pertanyaan itu. Setelah aku hitung-hitung, sudah ada sepuluh kali Icha bertanya hal yang serupa, dan Mama juga akan menjawab sama seperti diatas. Icha masih terlalu kecil untuk memahami kepergian Papa. Mama menatapku dengan wajah sedihnya. Aku tahu, setiap menjawab pertanyaan Icha, Mama harus kembali bersedih.

***

“Upacara apa sih? Ini kan bukan hari senin, gue juga nggak bawa topi!” Aku mendumal diambang pintu. Dewi yang disampingku malah asyik merapikan poni.

“Ini kan tanggal 17, jadi ya upacara rutin. Nggak pakai topi nggak masalah.” Dewi menghentikan gerakan tangannya, memencet jerawat di jidatnya. Aku menampik tangannya, “Jangan dipencet terus! Tambah gede baru tahu rasa.”


Pukul tujuh lebih sepuluh menit, murid-murid sudah berbaris rapi di lapangan. Aku dan Dewi berdiri di barisan agak belakang. Aku cukup risi, Dewi malah terlihat cuek-cuek saja. Padahal kan tepat dibelakangku adalah barisan cowok!

Upacara ini, seperti biasanya, sangat membosankan. Aku sibuk mengibaskan tangan, gerah, jelas saja, matahari semakin terik sedangkan upacara baru berjalan separuh waktu. Beberapa kali aku juga menyeka pelipisku yang basah oleh keringat. Aku menghentikan tanganku yang sedang mengelap keringat, mendongak, berjinjit kaki. Dengan cepat kerumunan itu tercipta. Ada apa? Aku hanya mengangkat bahu saat Dewi hendak bertanya kepadaku. Ternyata ada yang pingsan disana! Ah, sudah biasa.

“Fel, itu kan Farish?” Dewi tak sabaran menepuk lenganku. Aku bisa melihat Farish dengan jelas setelah aku mendongakkan kepala. Farish seorang diri berjalan ke ruang UKS, tidak, dia tidak sendiri. Ada perempuan itu! Kenapa harus Farish sendiri yang menggotongnya? Apa tidak bisa orang lain, selain Farish? Terik matahari seakan mampu menembus hatiku, lalu melumatnya menjadi butiran abu.


“Ngapain ke sini? Nanti mantan kamu nyariin.” Aku menegur sinis saat Farish duduk disebelahku.

“Mantan?” Farish sedikit kaget.

“Siapa lagi kalau bukan Bianka.” Aku menatapnya sekilas, tanganku sejak tadi memutar sedotan di gelas.

“Katanya nggak bakal cemburu?” Farish tertawa, mencolek pipiku, aku segera menyingkirkan tangannya.

“Cewek mana yang nggak cemburu kalau lihat sendiri cowoknya tadi gendong cewek lain!” Aku menggebrak meja, dia sedikit gentar.

“Tadi nggak ada maksud apa-apa. Cuma nolongin doang, yank.” Farish sabar menghadapiku, memintaku agar mau mengerti.
“Kenapa harus kamu? Apa nggak bisa orang lain?” Aku beranjak berdiri, tanpa menunggu Farish menjawabnya. Aku berjalan cepat meninggalkan kantin. Farish mengejarku.

“Yank, jangan ngambek dong.” Dia menarik tanganku. Aku berhenti sejenak, menatap Farish dengan mata berkaca. Farish erat menggenggam tanganku.

“Lepasin—” Aku berkata sangat pelan, membuang muka. Farish hampir mengeluarkan sepatah kata, ragu, lalu melepaskan tanganku. Aku berlalu, membiarkan Farish mematung.


Aku muram sepanjang jalan pulang, dari dalam bus aku menatap nanar jalan yang seakan berjalan mundur. Aku memang tidak pulang bersama Farish, meskipun tadi dia sempat bersikeras mengantarku pulang. Namun pada kenyataannya? Aku melihat Farish pulang bersama Bianka, yang entah kali ini memakai alasan atas dasar apa, mungkin sebagai teman SMP. Entahlah, aku mulai terusik sejak kehadiran Bianka yang sangat kebetulan. Jangan salahkan aku jika aku bukan lagi Felisa yang manis seperti dulu.



Layar hp-ku berkedip. Aku melihatnya dari kejauhan. Hp-ku tergeletak begitu saja diatas meja, aku tidak peduli, malas untuk mengangkatnya. Icha menatapku dan hp-ku secara bergantian, heran, menggaruk rambut ikalnya.

“Kak Fel, diapain nih biar hp-nya mau diem?” Icha berteriak jengkel. Aku tidak keberatan sekalipun dia akan membanting hp itu. Aku memeluk lututku semakin erat, menangis, meringkuk diatas sofa, menenggelamkan kepala di pangkuanku. Icha juga sudah diam, bosan memprotes, entah sekarang dia sedang merancang ide gila apa lagi.

“Fel, jawab aku.” Suara itu, aku mendongak mendengar suara Farish dari hp itu. Aku menatap galak ke arah Icha. Monster kecil itu terlalu canggih untuk diam. Bahkan, Icha sengaja meloundspeaker panggilan itu.

“Kak Fel lagi ngambek. Cengeng pula, daritadi nangis terus.” Icha entah dengan alasan apa sampai dia berani mengatakan hal itu. Kalau tidak ingat dia adik kandungku, mungkin saja sudah daritadi sendalku melayang. Farish diam, hanya mendehem. Aku beranjak, berlari meraih hp itu, lantas berkata, “Besok pagi nggak usah jemput aku lagi.”

***

Hampir dua minggu hubunganku dengan Farish merenggang. Akhir-akhir ini aku sering menghindar dari Farish. Aku tidak marah atau membencinya, hanya saja aku tidak suka dengan keadaan ini. Situasi yang berhasil membuat segalanya berubah dengan cepat.


Suatu siang, saat aku bersama Dewi dan Rere duduk didepan kelas, tidak kusangka jika Bianka datang menghampiriku. Aku tidak melihat wajahnya yang sok-manis, yang terlihat hanya keculasan.

“Mau apa?” Aku menegur, berdiri dihadapannya.

“Gue nggak sangka, lo ini cewek macam apa sih? Tega ya lo bikin Farish menderita!” Bianka membentak, menudingku bak tersangka. Aku menyeringai.

“Turunin tangan lo. Sekarang, lo seenaknya koar-koar didepan gue, punya hak apa lo?” Aku menahan tangannya, lalu menghempaskannya.

“Kalau lo udah nggak mampu jagain Farish. Mending mulai sekarang lo jauh-jauh deh!” Bianka mengibaskan tangan. Suasana semakin memanas. Banyak murid yang beringsut mendekat, menonton dengan saksama. Farish datang, meyibak kerumunan dengan cepat. Farish menarik Bianka untuk mundur. Kenapa? Kenapa dia lebih memilih menenangkan perempuan itu?

“Camkan kata-kata gue tadi! Lo inget satu hal. Gue nggak akan membiarkan lo nyakitin Farish lagi!” Bianka berteriak kesetanan, menunjukku lagi. Belum puas, Bianka yang hendak berbalik, tiba-tiba saja menyerangku. Menjambak rambutku. Farish mencoba melerai. Karena sudah cukup kesal, akhirnya aku melayangkan kepalan tanganku. Tiga detik. Sempurna mengenai bibir Bianka. Farish sigap menangkap Bianka yang akan ambruk. Semua mata mengerjap tidak percaya, mungkin bagi mereka ini tontonan yang sangat menarik. Farish menatapku dengan binar mata yang sendu. Aku tahu bagaimana Farish menilaiku saat ini. Bila dia bisa menyadarinya, aku memang sudah berubah. Aku terkesiap begitu melihat Bu Lilik datang dari balik kerumunan. Aku dan Farish berjalan dengan cengkraman tangan Bu Lilik. Kami dibawa ke ruang BP. Bu Lilik mulai menginterogasi, menatapku dengan mata yang memerah. Sosok keibuan itu tertutupi dengan gurat-gurat tegas di lekuk wajahnya.

“Siapa yang bertanggung jawab atas keributan ini?” Bu Lilik mendelik tajam. Aku menunduk takut.

“Lihat Ibu, Felisa!” Beliau berteriak, tetap dengan suara lembutnya. Aku mendongak, sedikit melirik Farish yang duduk disampingku.

“Saya yang bertanggung jawab atas semua ini, Bu.” Farish bersuara lantang. Aku menoleh, demi apa dia melakukan itu?

“Saya yang menyebabkan keributan itu terjadi.” Aku tak mau kalah, menimpali kalimat Farish. Aku tidak mau kalau dia terkena hukuman. Hampir saja Farish memberi sanggahan lagi, namun aku cepat mencegah, melirik Farish, menggeleng, jangan bicara lagi.

“Fel, tiga tahun kamu sekolah disini. Baru kali ini kamu membuat saya kecewa.” Bu Lilik kembali menatapku, menghela nafas panjang.

“Saya akan menerima apapun hukuman yang Ibu jatuhkan kepada saya.”Aku pasrah, menggigit bibir.

“Kali ini Ibu masih memaafkan. Ibu mohon, kejadian ini jangan pernah terulang kembali.” Bu Lilik berkata pelan, berbaik hati tidak menjatuhkan hukuman kepadaku. Lantas membiarkan aku dan Farish keluar dari ruangan itu dengan perasaan lega.

“Fel, keterlaluan kamu.” Farish menyusulku, berjalan disebelahku.

“Dia duluan yang cari gara-gara.” Aku melipat tangan di dada, menatap ke arah lain.

“Iya, tapi nggak harus kan pakai jurus karate?” Farish menarik tanganku, namun aku menepisnya.

“Belain aja terus. Aku udah nggak penting lagi kan buat kamu? Ok!” Aku mendorong bahunya, lalu beranjak pergi dari depannya. Aku sudah muak mendengar Farish yang selalu membela Bianka.


Aku kembali ke kelas dengan hati yang tidak karuan. Bayangkan saja betapa remuknya hatiku. Aku menangis di pojokkan kelas. Rere dan Dewi khawatir mendekat.

“Cup, cup, cup.” Rere membelai kepalaku.

“Tahu nggak, Fel? Bianka bibirnya bonyok tuh. Haha, tambah jeber aja.” Dewi bergurau, menghiburku. Aku sedang tidak berselara menanggapi lelucon itu.

“Gue takut kehilangan Farish!!” Aku masih terpekur, suaraku serak, masih menangis.

“Hei, Felisa itu lebih cantik ketimbang Bianka. Apa sih yang dia punya? Modal pantat gede doang!” Rere sibuk mencibir, tertawa geli. Aku merangkul mereka berdua, menyeka pipiku dengan lengan.









Bersambung—

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 7)



Liontin Merah



Satu hari berlalu...

Aku berjalan terburu-buru melewati koridor rumah sakit. Cemas bukan main. Sampai aku menabrak beberapa suster. Juga tidak sengaja menabrak ember office boy, lantai seketika banjir. Aku meminta maaf. Lantas melanjutkan langkahku.


“Kau kenapa? Bagaimana bisa?” seruku panik begitu membuka pintu. Sia-sia. Aku menutup mulutku cepat, takut membangunkan Mita yang tengah tidur. Aku duduk di kursi dekat ranjang. Hatiku hancur melihat wajah cantik itu pucat pasi. Selang infus menempel di pergelangan tangan kanannya. Aku menggenggam tangan itu teramat pelan.

“Kau baik-baik saja, kan?” desahku khawatir.

“Kau pasti akan cepat sembuh, iya kan, Mita?” bisikku lagi seraya membelai pelan rambutnya.

“Aku tidak apa-apa.” Mita tiba-tiba bersuara, membuatku sedikit gelagapan dan langsung menarik tanganku dari rambutnya. Mita perlahan membuka mata, berkejap-kejap, dan terbuka lebar. Aku memasang senyum lebar.


“Aduh! Sakit..” rintihnya mencoba menggerakan kaki. Aku cemas membuka selimutnya. Gips terpasang di kaki kanannya. Mita mendesah sebal.

“Kau terlalu ceroboh kemarin!” kataku kemudian.

“Andaikan kau tahu mengapa aku bisa begini—” ucapnya pelan.

“Eh, apa?” tanyaku meminta ia mengulangi kalimat itu.

“Lupakan!” Mita membuang muka. Aku mengangkat bahu.

“Kau mau sarapan apa?” tanyaku mencairkan suasana.

“Males,” jawabnya pendek.

“Kapan bisa pulang?” tanyaku lagi.

“Nggak tahu,” jawabnya cuek tanpa melihatku.

“Sekarang tanggal berapa?” kini giliran Mita bertanya.

“Tanggal 2 januari. Memangnya kenapa?” Aku melihat ekspresi tidak biasa dari air mukanya. Memangnya ada apa dengan tanggal itu?

“Sayang sekali aku nggak bisa jalan.” Mita menyeka dahinya. Kecewa.

“Mau kemana? Biar aku antar,” tawarku senang hati.

“Nanti aku sekalian yang meminta izin ke dokter,” tambahku cepat. Mita tersenyum senang.

“Dan, sekarang kau harus sarapan!” hardikku galak. Mita memanyunkan bibir. Bubur, mana dia doyan? Aku nyengir saat berhasil menyuapi Mita sampai tiga suapan. Mita melotot galak ketika aku menyodorkan suapan keempat.

***



“Bunga mawarnya mana?” tanya Mita celingukan melihat tanganku yang kosong.

“Ada di mobil. Buat apa sih?” tanyaku sambil membantu Mita berdiri. Dokter mengizinkan Mita keluar setelah tadi aku sempat bersitegang dengan dokter itu.

“Harus sekarang ya? Apa tidak bisa menunggu sampai kau pulih?” Aku berhenti menatapnya. Mita menggeleng.

“Hanya satu tahun sekali. Mana bisa aku melewatkan hari ini begitu saja?” Mita mengangkat bahunya. Ia tertatih, kesusahan untuk melangkahkan kakinya. Aku segera memutar otak.

“Aku bisa sendiri. Kau dia perlu melakukan ini!” Mita sedikit risih saat aku menggendongnya tanpa menunggu interupsinya.

“Nanti keburu hujan..” sergahku. Mita tidak banyak bicara lagi.


Aku menurunkan Mita di kursi samping kemudi mobil. Mita terlihat semangat sekali. Aku jadi tidak sabar melihat apa yang akan dia lakukan. Lebih penasaran lagi, kemana ia akan pergi? Aku menggaruk kepalaku. Setiap aku menoleh, Mita masih saja mengumbar senyum.


“Kau tidak salah alamat kan?” Aku cukup terkejut saat mobilku berhenti persis di depan sebuah komplek pemakaman.

“Aku memang ingin kesini. Kau tidak ikut juga tidak apa. Aku bisa berjalan—” Mita hampir membuka pintu mobil. Aku cepat mencegah.

“Aku ikut. Itu juga kalau kau tidak keberatan,” kataku nyengir. Aku bergegas membuka pintu mobil. Mendung sudah menggantang di atas sana. Aku membimbing Mita berjalan di jalan setapak. Kepalaku masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebentar lagi akan terjawab. Mita sepertinya sedikit melupakan sakit di kakinya. Satu buket mawar merah tergenggam erat di tangan bekas infus.


“Metha..” ulangku untuk kedua kalinya setelah membaca nisan keramik di depanku. Mita tertunduk takzim, setelah sebelumnya meletakkan bunga tadi di dekat nisan. Aku bisa melihat ketika Mita memejamkan kedua mata, bibirnya bergerak melantunkan sebuah doa. Aku duduk berjongkok di sebelah Mita yang terpaksa berdiri karena gips itu. Aku masih mengunci mulutku, takut menyela, semua tertahan di tenggorokan. Meskipun pertanyaan lagi-lagi memenuhi kedua otakku.


Mita membuka matanya tepat ketika tetes bening meluncur di kedua pipinya. Aku berdiri dan merengkuh pundaknya.

“Happy birthday—” suara itu terdengar bergetar. Mita masih tersedu, aku mengeratkan dekapanku. Sayang sekali, hujan turun begitu cepat, seperti ingin cepat-cepat menyudahi kebersamaan ini. Sedikit susah untuk membujuk Mita agar meninggalkan pusara itu. Air hujan buncah menjadi titik-titik indah yang membasahi nisan sekaligus bunga mawar. Aku melepas jaketku, menjadikannya payung darurat.


“Metha, maaf, dia siapa?” tanyaku hati-hati. Mita menatap nanar kaca mobil yang berembun.

“Dia separuh hidupku..” Mita beralih menatapku. Aku menelan ludah. Ya, dia mungkin orang yang aku lihat di foto itu. Mereka saudara kembar.

“Bagaimana, emm, maksudku dia sakit apa?” Aku membalas tatapan mata sayu itu.

“Seseorang telah membunuhnya!” suara Mita terdengar sengau. Giliran aku yang tercekat, mendengar Mita mengucapkannya dengan nada geram. Aku tidak heran jika sikap Mita sangat dingin terhadap siapa pun. Selalu menutup diri. Memendam semuanya sendiri.

***

Aku mengantarkan Mita kembali ke rumah sakit. Jam di tanganku menunjukkan pukul lima sore. Mita duduk di tepi ranjang, jendela ruangan tidak tertutup gorden, dan ia sibuk menatap bulir air yang masih menetes dari langit. Aku memandang punggungnya yang membelakangiku. Aku sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu. Tadi, Mita sengaja datang mengunjungi pusara saudara kembarnya untuk... Mengucapkan ‘happy birthday’—Astaga! Kenapa aku sampai tidak menyadari hal itu. Itu artinya Mita juga berulang tahun hari ini. Aku mengusap tengkukku. Waktu beranjak petang. Aku cepat membuat pertimbangan dalam waktu yang singkat. Berhitung dengan waktu.

“Mita..” panggilku menyela kesibukannya. Ia sedikit menoleh kepadaku.

“Aku harus pulang sekarang dan mungkin baru kesini lagi besok pagi.” Aku berbohong. Lihat saja nanti, aku akan segera kembali kesini membawa kejutan. Aku tersenyum membayangkan rencana itu.

“Terima kasih untuk hari ini,” ujarnya, aku berbalik ketika hampir membuka pintu.

***

Aku menerabas rintik hujan yang masih membungkus kota. Alhasil, kemejaku sedikit kuyup. Berlarian dari satu toko kue ke toko kue lainnya. Aku menarik napas lega setelah keluar dari sebuah toko membawa kotak kue yang cukup besar.


Pukul 21.00. Kini aku kembali melajukan mobilku ke pusat pembelanjaan di tengah kota, ikut serta dalam kemacetan yang sudah menjadi rutinitas. Jujur aku masih bingung mencari kado untuk Mita. Ketika tiba di mall, mataku terus menyapu sekeliling, melihat berderet-deret boneka. Aku menelan ludah. Boneka? Kurasa tidak. Aku kembali melangkah, dan terhenti ketika mataku menangkap pendar yang berkilau dari kaca etalase. Aku bergegas mendekat. Kalung yang indah, gumamku. Kalung berliontin bentuk hati dengan warna merah yang mendominasi. Aku terus berdecak kagum mengamati setiap detail liontinnya. Sampai sang pemilik toko datang mengagetkanku.

“Ada yang bisa saya bantu?” tegurnya sangat ramah.

“Saya beli kalung ini.” Aku rasa tidak perlu melakukan nego dengan harganya. Sang pemilik toko menyilahkan aku masuk ke toko yang hanya tersekat kaca-kaca etalase yang menjulang tinggi. Seorang pelayan tersenyum membungkus kotak kalung dengan kertas berwarna perak. Aku sumringah melihat bingkisan kecil itu. Setelah selesai membayar, aku langsung kembali ke rumah sakit. Membuat sedikit surprise untuk Mita.

***

Pintu berderit ketika aku pelan-pelan membukanya. Gelap. Aku menatap punggung yang masih terduduk menatap keluar jendela. Sinar rembulan menempa wajah cantiknya. Tanganku terulur menekan saklar di dekat pintu. Lampu ruangan menyala terang. Aku sudah bersiap dengan kue tart di tanganku. Tiga lilin kecil tersemat di tengahnya. Aku mulai melangkah mendekati ranjangnya. Mita bahkan tidak menyadari kedatanganku. Jangan-jangan ia juga tidak sadar kalau barusan lampu di atasnya menyala?

“Ikmal—” Mita menoleh kepadaku, tercekat. Langsung tersenyum melihat kue berhias lilin yang aku bawa.

Happy birthday, Mita.” Aku melihatnya yang mencoba berdiri menghampiriku.

“Kau tadi bilang..” Mita menudingku curiga.

“Sedikit kejutan..” Aku mengangkat bahu sebelah. Mita masih terpaku pada lilin yang sedikit bergeming diterpa semilir angin yang berhembus dari celah jendela.

“Thanks. Tapi seharusnya kau tidak perlu repot-repot seperti ini,” komentarnya begitu aku mendekatkan kue tart kepadanya. Aku menarik kursi untuk duduk di depannya, di samping ranjang. Mita menutup matanya, membatin sebuah doa dan harapan. Aku ikut mengamini. Ia cepat meniup lilin begitu matanya terbuka. Aku sedikit mencondongkan tubuhku ke depan. Kukecup kening itu. Mita merangkul sebelah pundakku. Aku bisa merasakan basah menjalar di bahuku. Mita memelukku, sejenak melupakan kue tart tadi. Lama saling terdiam, aku memberanikan diri mengusap rambutnya. Mita masih tersedu. Aku membiarkan ia meluapkan semuanya malam ini. Sepatah kata pun tak mampu aku lontarkan.


Aku dan Mita terkesiap begitu seseorang membuka pintu. Dokter itu melangkah semakin dekat. Aku mendeham, berpura-pura merapikan lengan kemejaku. Mita menatap sebal ke arah dokter itu. Apalagi kalau bukan memberi obat tidur? Mita sebal disuntik. Itu terlihat ketika jarum suntik menghujam kulitnya, dan saat yang bersamaan pula ia menggenggam tanganku sangat erat. Matanya perlahan terkatup. Dokter itu berlalu, hanya mengangguk kepadaku.


Aku membenarkan posisi selimut Mita. Andaikan waktu masih tersisa banyak. Tapi, ya sudahlah, Mita butuh banyak istirahat. Aku hanya memandang kue tart itu dengan helaan napas. Aku merogoh saku celanaku. Kotak berwarna perak. Ya Tuhan, kenapa aku bisa sampai lupa untuk memberikannya kepada Mita?

***

“Mita sudah pulang, Sus? Kapan? Dan dengan siapa?” cerocosku saking paniknya saat mendapati kamar Mita kosong, seorang suster sibuk merapikan ranjang serta bantal. Bagaimana mungkin? Mita belum sembuh. Aku kembali memasukkan kotak perak yang aku genggam ke dalam saku celana.

“Mbak Mita ada di taman.” Suster itu sempat melongo, lantas cepat memberi sanggahan. Aku mengelus dada, lega.


“Sedang lihat apa?” tanyaku basa-basi. Mita duduk di kursi panjang bercat putih. Mita sudah bisa berjalan, pelan-pelan sekali, tak jauh berbeda dari kura-kura.


“Lihat kupu-kupu,” katanya tanpa menoleh kepadaku. Bohong! umpatku dalam hati. Di depan sana memang ada kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga bougenvil. Tetapi mata beningnya justru lebih fokus memandangi dua anak kecil dan seorang ibu muda, mereka bertiga sedang asyik bercengkerama di bawah teduhnya pohon bougenvil. Dua anak yang kembar. Aku menelan ludah. Mita pasti sangat merindukan momen terindah dalam hidupnya, yang sekarang hanya tinggal kenangan. Tanpa sadar aku ikut larut dalam suasana senyap-pekat. Suara tawa anak kecil terdengar sayup terbawa angin semilir yang entah tiba-tiba datang menyeruak. Siapa pun juga pasti iri melihat keluarga kecil itu. Tanganku terangkat untuk menyentuh pundaknya. Mita terhenyak, tersadar dari lamunannya.

“Keluarga yang bahagia.” Mita tersenyum hambar.

“Kau tidak sendiri, Mita. Ada aku disini.” Aku tersenyum meremas punggung tangannya. Mita menyeka hidungnya, menyeringai tipis.

“Aku ada sesuatu untukmu.” Aku menyodorkan kotak berwarna perak dari saku celana. Mita mengernyitkan dahi. Aku memiringkan kepala, terimalah. Mita ragu-ragu mengambil kotak kecil itu dari telapak tanganku.

“Isinya apa?” tanyanya masih mengulur waktu untuk membukanya. Aku mengangkat bahu, buka saja sendiri.

“Kalung?” pekiknya masih dengan nada normal. Menatapku tidak mengerti, seakan meminta penjelasan.

“Kenapa? Kau tidak suka warnanya? Terlalu feminin? Atau—” Aku menelan ludah, ucapanku langsung terpotong begitu tangannya mendekap mulutku tiba-tiba. Aku tidak bisa berkutik lagi.

“Aku suka sekali. Ini bahkan terlalu indah.” Mita melepas tangannya dari mulutku, lalu mengerjap takjub. Aku mengembuskan napas, cukup tersengal. Mita masih mematut-matut kalung itu di tangannya. Senyum tak habis-habisnya tersungging dari sudut bibirnya. Pagi yang indah, gumamku. Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Mita sudah selesai memasang kalung itu di lehernya. Liontin itu berkilau ditempa sinar matahari yang mulai meninggi. Aku hanya tersenyum. Pipiku memerah melihat gadis itu yang semakin hari bertambah cantik.








Bersambung—

Endless Love | part 1


Hijau dan Merah




 “Kau sudah membukanya?” tanya seseorang diujung telepon.

“Jadi kotak merah itu darimu? Kenapa tidak memberinya secara langsung? Aku belum sempat membukanya,” jawab Kinta to the point. Ia meraih kotak di atas meja. Memandangi setiap sudut kotak dengan mata terpicing.

“Pokoknya setelah membukanya. Kau harus pilih salah satu nanti.” Telepon ditutup. Kinta menghela napas. Selalu saja begitu. Ia sudah hapal benar bagaimana sifat sahabatnya yang satu ini. Malam beranjak matang, ia sudah menguap lebar. Seraya menenteng kotak merah itu, ia keluar dari ruangannya setelah menekan saklar. Ruangan itu berubah gelap gulita.


Rasa penasaran itu ternyata tak mampu mengalahkan rasa kantuknya. Baru keesokan paginya, Kinta tiba-tiba terkesiap dari tidurnya, seperti terbangun dari mimpi buruknya. Lengannya terangkat menutup matanya dari silau matahari, jendela kamarnya sudah terbuka lebar. Kinta menyingkap selimut tebalnya. Tentu saja ia terbangun karena teringat dengan kotak itu.


Kinta duduk di balkon dekat kamarnya. Ia duduk di kursi berpelitur, rambut yang tergerai menutup wajahnya, beberapa kali harus menyibaknya. Ia membuka perlahan. Bahkan jantungnya ikut berdebar. Sempurna terbuka. Kinta tidak sengaja menjatuhkan tutup kotak itu. Berdebam di lantai keramiknya. Isinya? Kinta menggigit bibirnya dengan gemetar. Tangan kanannya menjangkau ke dalam. Satu kertas tebal ia genggam erat-erat. Surat undangan.. Pertunangan?


Isinya ada dua. Satu berwarna hijau pupus. Yang satu lagi berwarna merah marun. Tentu dengan motif yang berbeda-beda. Kinta menggeleng, ia tidak mengerti apa maksud semua ini. Satria akan bertunangan? Dengan siapa? Bertahun-tahun Kinta mengenal Satria. Dan selama itu pula Satria tidak pernah mengenalkan calon tunangannya. Hanya baru kali ini, Kinta sampai tidak percaya, Satria akan bersanding dengan wanita—yang entah sangat beruntung itu.


Kinta cepat menyambar handuk. Ia bergegas mandi. Ada yang harus segera ia luruskan. Tidak segampang itu ia mempercayai Satria akan bertunangan. Ia sangat tahu bagaimana Satria.

***

“Pagi, Tante.” Kinta menyapa ketika mendapati wanita paruh-baya itu duduk dengan kursi rodanya di halaman samping.

“Pagi, Kin. Aduh, Satria tadi pagi buta sudah pergi. Entah kemana.” Tante Ema mengangkat bahu. Kinta menemaninya duduk di taman. Ini kesempatan yang baik untuk mengorek informasi, pikirnya.

“Satria, emm..” Kinta gugup melanjutkan kalimatnya.

“Satria belum bilang ya, Kin? Minggu depan dia akan bertunangan. Kau mungkin bingung sekali. Semua memang serba mendadak. Mungkin lusa kau mau ikut menjemput Kayla di bandara?” Tante Ema sumringah menceritakan rencana pertunangan. Kinta melongo, jadi namanya Kayla? Secantik apakah dia? Kinta merasa perlu mengerjapkan matanya. Jangan sampai ia tersedu di depan Tante Ema.

“Kayla?” ucap Kinta patah-patah.

“Iya. Teman masa kecil Satria. Tante sudah tidak sabar menanti hari itu, Kin!” serunya girang, menggenggam tangan Kinta.

“Kinta juga ikut bahagia, Tan. Memang sudah saatnya Satria menemukan pendamping hidup.” Kinta mengerjapkan mata lagi, kali ini lebih cepat. Gagal. Airmatanya kadung menetes deras. Ia cepat-cepat mengusap pipi sebelum tante Ema memalingkan wajah ke arahnya.

“Tante yang paksa, Kin. Satria sebenarnya tidak mau, keukeuh, dia bilang, dia mencintai gadis lain. Tapi entahlah, ketika sebulan lalu tante sakit, tiba-tiba saja Satria berubah pikiran. Tante sungguh senang mendengarnya.” Ucapnya dengan menggebu-gebu. Kinta terburu pamit ke kamar mandi. Sudah cukup ia mendengar kalimat menyakitkan itu.


Kinta berlari tanpa melihat apa yang ada di depannya. Ia lebih sibuk membungkam mulutnya. Sementara airmata memenuhi pipi mulusnya. Kinta terkesiap begitu tubuhnya terpental, tanpa sengaja menabrak Satria yang baru datang. Untungnya dengan cepat Satria meraih tubuh Kinta. Kalau tidak, mungkin Kinta akan terjerembab di lantai.

“Hei, kenapa menangis?” tanyanya tercekat, mengangkat dagu Kinta yang tertunduk.

“Aku antar pulang, ya?” tawarnya kemudian. Kinta mengangguk lemah.

“Kau tidak apa-apa kan? Katakan padaku apa yang membuatmu menangis!” ucap Satria cemas.
“Aku sangat bahagia mendengar kabar itu dari Mamamu.” Kinta mengusap sisa air mata dengan tisu. Satria tertegun sejenak.

“Maaf kalau kau harus mendengarnya dari Mama. Seharusnya aku memberitahumu sejak awal,” ucap Satria merasa bersalah.

“Sudahlah. Sekarang, kau harus fokus menyiapkannya dengan matang-matang.” Kinta menepuk pundaknya. Yang ditepuk hanya mengernyitkan keningnya.

“Kenapa?”

“Aku tidak mencintainya, Kin.” Satria memperlambat laju mobilnya. Kinta tertunduk, tak tahu harus berkata apa lagi.

“Tapi aku akan berusaha mencintainya demi Mama.” Ungkapnya lagi. Kinta masih membisu.

“Aku akan selalu mendukungmu, Sat.” Kinta tersenyum tipis.


“Mau mampir dulu? Aku buatkan nasi goreng spesial, gimana?” tawar Kinta sebelum membuka pintu mobil. Satria langsung mengangguk cepat.


“Tidak takut apa kalau tinggal sendirian?” tanyanya bergurau. Kinta nyengir.

“Kau masih suka kopi kan?” Kinta mencoba mengalihkan topik. Satria mengangguk, tentu saja masih suka.


Kinta kembali ke dapur, meninggalkan Satria dan secangkir kopi di atas meja. Lima belas menit berselang, Kinta selesai dengan urusan dapurnya.

“Kau tidak berpikir untuk mengikuti jejakku?” tanya Satria ketika Kinta datang dengan dua piring nasi goreng di tangannya.

“Maksudnya?”


“Bertunangan atau bahkan menikah?” ucap Satria memperjelas. Kinta hanya mengibaskan tangan. Bagaimanalah ia akan mudah menikah dengan lelaki lain? Sementara lelaki yang sangat ia cintai ada di hadapannya saat ini.

“Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,” ucap Satria agak lirih. Kinta tersadar dari lamunannya.

“Aku belum menemukan orang yang cocok. Aku sangat mencintai seseorang, tapi dia akan segera bertunangan dengan wanita lain. Sayang sekali, aku belum beruntung rupanya. Eh, itu bukan kau ya! Jangan ge’er.” Kinta menyeringai. Satria lahap menyantap nasi goreng di hadapannya, tanpa menghiraukan kalimat Kinta, ia berkata, “Sumpah enak banget! Bikinanmu tetap yang paling mantap!”


Kinta menelan ludah. Tadinya memang perutnya lapar. Entah mengapa selera makannya hilang begitu saja.

“Aku harus cepat-cepat pulang. Thanks untuk sarapannya.” Satria melambaikan tangan. Kinta bersedekap tangan, menatap Satria yang berjalan ke arah mobil. Ia langsung teringat sesuatu.

“Satria!” pekiknya keras.

“Ada apa?” yang dipanggil menoleh cepat, siapapun akan kaget mendengar seruan itu.

“Aku pilih warna merah marun!” teriak Kinta lagi. Satria mengacungkan jempolnya, melambaikan tangan sekali lagi sebelum mobilnya keluar melewati pagar.

***

Hari itu tiba juga. Kinta akan ikut menjemput Kayla di bandara. Entah, ekspresi seperti apa yang akan dipasang Kinta saat bertatap muka dengan Kayla. Menjambaknya? Menamparnya? Atau bahkan...


Satria menepuk bahu Kinta yang sedang asyik melamun. Satria menunjuk ke arah pintu kedatangan, Kinta ikut melihat kemana arah jari telunjuk Satria. Dan lihatlah, wanita dengan perawakan tinggi semampai sedang berjalan anggun. Angin seperti mengibarkan rambut tergerainya. Lagi-lagi Satria menepuk pundak Kinta. Kayla sudah mendekat, tersenyum sangat ramah. Bahkan sempat-sempatnya mencium kedua pipi Satria. Melihat pemandangan itu, Kinta mencak-mencak dalam hati.

“Kinta,” ucapnya menyodorkan tangan. Kayla balas menjabat tangan Kinta dengan hangat. Satria membantu membawakan koper ke mobil.


Kinta sempat mengeluh dalam hati, tapi sekuat mungkin ia tahan. Matanya kosong menatap pemandangan di depan matanya. Satria dan Kayla sibuk bercanda, saling melemparkan gurauan satu sama lain. Kinta sampai bosan melihatnya. Ia sebenarnya sangat sebal, tadi waktu berangkat ke bandara, ia duduk manis di depan. Sedangkan, setelah Kayla datang, ia harus rela pindah ke kursi belakang. Kinta memalingkan wajahnya ke samping jalan. Tak masalah jika ia akan pusing melihat pemandangan yang berjalan mundur. Kinta juga menyumpal kupingnya dengan headset. Pura-pura asyik sendiri. Padahal dalam hatinya menjerit pilu. Mulai dari sekarang, Kayla akan menggantikan posisinya. Dan itu artinya, ia harus membuang jauh-jauh keinginannya untuk tetap berada di dekat Satria. Cepat atau lambat ia pasti akan tersingkirkan jauh.







Bersambung—

Cari Blog Ini