Sabtu, 24 September 2011

Bukan Salahku Mencintainya

“Udah ya, kita pulang aja Mit,” ajaknya. Aku tak merespon. Mataku tetap celingukan mencari sosok Ikmal.“Ayo dong Mit, gue udah ngantuk nih,” rengeknya sekali lagi. Aku hanya menoleh, memutar bola mataku,“Please deh! Ini kan baru jam sembilan lewat sepuluh menit.”
“Gue nyesel kenapa tadi mau aja di ajak lo ke tempat remang-remang kaya  begini,” repetnya membuatku gemas ingin menginjak kakinya atau sekedar menjabak rambutnya. Tapi niat itu kuurungkan, takutnya nanti pulang dari sini dia malah gantung diri di tiang jemuran.
“Hust...apa lo bilang? Remang-remang? Ini tuh Gang Dolly tau!,” aku menyeringai jahil. Melihat dia yang beringsut mendekat, aku tergelak puas. Berhasil !
“Tuh kan, ini tempat prostitusi kan?”dia membenarkan kata-katanya tadi. Aku menyunggingkan bibir, menatapnya miris. Kok masih ada ya makhluk selugu dan sepolos ini? Di jaman yang sangat modern seperti ini, ternyata masih ada makhluk se-primitif ini. Ah,entah....kenapa aku bisa mengenalnya hingga menjadikannya teman dekatku. Hanya teman dekat,tak lebih dan tak kurang.
“Tenang, disini engga ada yang doyan sama lo. Dandanan lo terlalu standar buat mereka-mereka,” aku mengibaskan tangan, sekali lagi aku membuat nyalinya ciut. Aku tertawa puas. Dia semakin beringsut mendekap bahuku saking takutnya. Ternyata tidak sulit untuk membohonginya. Eh, diralat! Penampilannya engga standar-standar sih, malah ganteng. Cool man!
“Ampun deh! Ini tuh cafe, ga bisa bedain apa antara cafe sama tempat PSK?” semburku. Ups, aku lupa. Dia kan anak Mama, jadi mana pernah ke tempat beginian. Aku terkekeh melihat mimik wajahnya yang bagai sterofoam di siram bensin. Meleleh.
“Ah, dasar lo ya! Gue engga suka tempat beginian,ayo kita pulang!,” tanpa kompromi dia langsung menarik lenganku. Aku tak bisa berontak, percuma saja keras dilawan keras. Ah, sial! Sifatnya yang keukeuh mulai menyeruak ke permukaan. Kalau begini caranya, aku terpaksa menurut. Huh! Protektif. Berlebihan. Bukan siapa-siapa tapi berani mengaturku.
“Nyetirnya pelan-pelan aja kali!” celetukku masih gusar dengan sikapnya tadi. Dia hanya diam, tak mengindahkan protesku. Di saat seperti ini, kadang dia lebih dingin daripada binatang yang berdarah dingin sekalipun. Kan seharusnya aku yang berhak marah, kenapa dia yang ngambek? Childish!
“Punya mulut kan? Ngomong dong!” aku membentaknya, sengaja ku-pancing agar dia mau angkat bicara. Aku menatapnya setajam mungkin. Tapi percuma, dia malah pura-pura asyik dengan kemudinya. Dicuekin lagi! Salahku juga sih, dia kan moody kelas kakap. Kalau begini masalah bisa jadi runyam. Aku paling engga bisa dicuekin sama dia. Ok, ujung-ujungnya aku juga yang mengalah dan mohon-mohon minta ampun. Tapi kali ini tidak! Buat apa? Aku merasa tak punya salah, dia aja yang menanggapi semua permasalahan terlalu serius, terlalu kaku. Aku memicingkan mata demi melihat ekspresi darinya.
“Gue engga peduli dia lebih muda tiga tahun dari gue, engga akan merubah secuil pun perasaan cinta ini. Cinta ya tetap cinta,” jurus pamungkas terpaksa ku keluarkan. Aku tau, dia sangat menentang soal perasaan cinta ini. Inilah cara terakhir membuatnya mau bergeming. Dan lihatlah apa reaksinya? Dia membanting setir mendadak! Aku hampir saja terjungkal menghantam dashboard di depanku, untung saja aku memakai sitbelt. Jadi itu semua tak perlu terjadi, untuk antisipasi yang sebelumnya sudah kuduga.
            Dia menoleh, menatapku tajam dengan matanya yang teduh. Nyaman. Tentram. Sejuk. Entah, tatapannya begitu menelusup relung-relung dihatiku. Hei! Ada apa ini? Kenapa hatiku tak bisa menolak setiap pancaran matanya. Pancaran mata yang begitu tulus. Jujur, aku merinding. Aku membuang muka, tak mau terlalu larut dalam bola matanya yang seolah-olah mengendalikan itu. Dia juga melajukan kembali mobilnya, memecah kesunyian kota malam ini. Waktu terasa berhenti berputar ketika aku sempat terbuai dalam binar matanya yang begitu bening. Beberapa menit yang berhasil membuat hatiku pontang-panting. Aku tergugu. Sunyi. Senyap.
“Besok gue jemput lo jam tujuh malam. On time!” ucapnya dingin ketika aku akan beranjak keluar dari mobilnya. Aku hanya menjawab seadanya, antara terdengar atau tidak-terdengar. Memasang bibir manyunku sepertinya tak berhasil membuatnya lumer. Wajahnya terlalu kebas, entah karena apa. Dia memang sedikit tertutup dan terkesan individualisme. Aku melongo beberapa detik. Apa yang dia bilang barusan? Bukannya kemarin dia menolak mentah-mentah saat aku memintanya untuk menemaniku menghadiri acara itu? Inilah sifatnya yang terkadang misterius. Sulit ditebak.



 ***



            Aku menyeringai lebar. Astaga! Ini orang benar-benar on time. Penampilannya juga engga lebay-lebay amat. Pas!. Tapi kenapa dia selalu memasang wajahnya yang dingin? Menutupi seluruh aura kharismatiknya. Ah, tidak penting juga. Yang lebih penting, dia engga cerewet malam ini.
“Lo yakin pake baju kaya gini?”tanyanya tanpa basa-basi melototiku dari ujung sepatu sampai ujung kepala. Mengernyitkan dahinya. Cerewetnya ternyata muncul lagi. Sebal!
“Emang kenapa? Gue udah biasa pake baju kaya gini. Lo pikir gue harus pake long dress terus harus pake high heels gitu? Atau pake dasternya emak-emak?” cerocosku tak terima ada yang menjudge penampilanku. Dia hanya mengibaskan tangan, menyeringai tipis. Aku melengos sejadinya. Tau gitu, tadi engga perlu meladeni pertanyaan basa-basinya. Buang-buang waktu.
            Pukul delapan malam, kami sampai di salah satu pusat hiburan Ibukota; tempat karaoke-an. Aku sempat mendengus sebal saat mengetahui tempat itu, tak sesuai tebakkanku. Entahlah, akan ada pesta apa. Kemarin Ikmal hanya berkata, “Datang saja, akan ada kejutan yang luar biasa. Engga bakal nyesel Mit”. Kejutan? Pipiku seketika merah padam saat memori otakku menyetel ulang kalimat itu. “GUBRAK!” semua lamunanku harus ku hentikan sejenak saat tubuhku menghujam tiang lampu yang terbuat dari besi. Sempurna sudah membuatku terhuyung. Astaga! Tubuhku hampir jatuh namun dengan sigap dia menahanku. Bertatapan. Melupakan sejenak rasa sakit yang mendera kepalaku. Matanya membuatku meleleh. Jantungku megap-megap. Gugup.
“Kalau jalan pake irama, jangan-jangan pintu segede ini mau juga lo tabrak,” guraunya ketika kami sampai diambang pintu. Aku hanya komat-kamit, memegangi kepalaku yang nyut-nyutan. Ternyata sakit juga, tau gitu tadi nabraknya milih-milih dulu. Setidaknya, ada pilihan yang lebih efektif ketimbang tiang lampu tadi.
“Wuih, rame juga ternyata,”seruku menyeringai lebar. Aku meliriknya, dia hanya menunjukkan mimik ketidak-senangannya. Aku membulatkan mata, menelan ludah dan berjalan mendekati Ikmal. Dia hanya mengekor di belakangku. Tapi tunggu, siapa cewek yang menggelayuti Ikmal disampingnya? Aku tak mengenalinya. Dengan cepat api cemburu membakar hatiku, panas membara. Tapi aku mencoba rileks saat aku sudah tepat dihadapan Ikmal. Tak mau terlihat salting.
“Akhirnya lo dateng Mit,”sapa Ikmal merengkuh pundakku akrab seperti biasanya. Menggeser sedikit posisi dia yang sedari tadi berdiri di sampingku. “Gue kan udah janji mau dateng. Emang dalam rangka apa sampe lo ngadain acara ini?”telisikku. Mataku tetap tajam mengarah pada ‘cewek’ disamping Ikmal. Secara langsung dan blak-blakkan,‘cewek’ itu sudah mengambil alih posisiku. Itu tempatku! Seharusnya akulah yang menggelayuti lengan Ikmal dengan mesra. Tidak salah kan kalau berharap terlalu tinggi? Toh aku sudah terlalu kebas dengan kenyataan pahit-getirnya.
“Ya ampun, waktu itu gue lupa bilang kalau acara ini khusus di buat sama cewek gue sendiri,”jelas Ikmal. Astaga! Ceweknya? Aku terkesiap, mengatupkan mulutku. Mataku mulai pedih. Perih. “Kenalin gue pacarnya Ikmal, Adiesty,” tanpa di minta ‘cewek’ itu memperkenalkan diri. Hey! Apa peduliku coba? Adiesty mengulurkan tangannya. Aku hanya diam membatu. Kurasa aku tak perlu membalas uluran tangannya, aku merasa tak perlu mengenalnya!. Sudah cukup. Pertahananku mulai jebol. Aku tak kuasa berlama-lama di hadapan mereka berdua, hanya akan menambah kobaran api di hatiku. Aku nyelonong pergi begitu saja. Masa bodoh! Aku kecewa. Semua mimpi hancur sudah, tak bersisa. Hancur luluh-lantak dalam sekejap.
            Aku menangis di lantai teratas dari gedung itu. Ya, aku menangis tanpa perlu ada yang melihatku. Tapi aku salah, dia selalu setia membuntutiku. Selalu mau tau dan mau mengerti semua urusanku. Aku tak mengindahkan kedatangannya. Aku tetap memandang langit penuh bintang-gemintang dan cahaya yang berpendar-pendar dari gedung sebelah. Aku meratapi nasibku sendiri, menyedihkan. Langit begitu cerah tak tersaput awan, sempurna sudah. Tapi apa yang kurasa saat ini? Tak sesempurna mimpi yang selama ini susah-payah ku untai. Hanya menjadi sebuah paradoks semata. Mimpi itu telah ingkar.
            Aku terduduk, masih dengan isakku. Dia mengikutiku, lantas duduk disampingku. Aku pikir dia sudah pergi, tapi nyatanya dia masih setia menemaniku dalam kesenyapan hatiku. Aku pikir, sangat beruntung punya teman seperti dia. Selalu ada waktu untukku tanpa aku memintanya. “Jangan pernah berharap cinta yang tak semestinya,” ucapnya menyela diantara tangisku. Aku menelan ludah, “Apa ada yang salah kalau gue mencintai Ikmal?” aku menoleh, memicingkan mataku. Menatapnya penuh kegetiran. “Salah besar Mit! Bukankah cinta itu rumit? Serumit-rumitnya, tak sesederhana yang kita pikir. Semua ada aturan mainnya.”ucapnya memberi penekanan pada ‘serumit-rumitnya’. Aku tergugu, mencerna baik-baik penggalan kalimatnya.
“Ya, gue memang terlalu larut dalam permainan mimpi gue sendiri. Bahkan, gue menyingkirkan seluruh kenyataan yang bertolak belakang dengan mimpi itu. Gue salah karena terlalu mempercayai mimpi, mimpi yang tak pernah memberikan janji manisnya. Semua hanya omong kosong!” aku mencak-mencak mengutuk mimpiku sendiri. Aku merasa telah dikecewakannya. “Denger gue Mit, kali ini aja,”pintanya. Aku tetap termangu diam. Aku tau, dia selalu beranggapan ‘diam’ berarti iya. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menahan air mata yang akan tumpah lagi.
“Lo tau kan Mit, kalau di dunia ini ada dua kemungkinan? Kemungkinan yang selalu berdampingan. Kemungkinan yang menyenangkan dan menyedihkan. Mungkin saat ini lo merasa mengecap kemungkinan menyedihkan itu, lo sangat berhak menangisinya. Tapi bukankah semua ini secara kasat-mata? Semua kepedihan ini hanya dari sudut pandang lo. Sangat berbeda jika dilihat dari sisi Ikmal, lihatlah Ikmal sangat bahagia bersama Adiesty. Apa lo tau kalau Ikmal juga mencintai lo? Tidak kan?. Lantas apa lo berhak mengutuk mimpi lo sendiri? Mimpi memang tak akan pernah menjawab semua ini, tetapi waktulah yang akan menjelaskan semua ini secara mendetail. Bukankah cinta itu pengorbanan? Cinta yang tak pernah bisa memiliki satu sama lain. Apa lo tetap memaksakan cinta itu Mit? semua tidak ada yang bisa dipaksakan. Bukan masalah sepele jika lo tetap memaksakan cinta itu tetap merekah di hati lo. Please, mulai malam ini lo buang jauh-jauh perasaan itu. Semua hanya akan menyakitkan, bukan Ikmal tapi lo sendiri,” dia merengkuh bahuku. Aku menutup mata, meneteskan air mata terakhirku. Pedih. Menyayat pilu. Aku rapuh karena cintaku sendiri.
“Sejak awal, gue memang sepenuhnya tak terlalu berharap. Berharap sesuatu yang jelas-jelas sangat kontras. Gue memang salah, cinta itu terlalu membabi-buta hingga menjadi bumerang seperti ini,” aku tertunduk lagi. Menyesal? Ya, aku sangat menyesalinya. Menyesal karena kebodohanku sendiri. Aku merasa terpojokkan oleh hatiku sendiri. Hei! Sampai aku tak menyadari kalau ada malaikat disampingku yang selalu membimbingku. Malaikat tak bersayap. Seharusnya, aku sangat bersyukur mempunyai dia yang selau setia menemaniku disetiap langkah kaki ini. Aku memang tak tau, apa dia mencintaiku? Semua memang tersimpan sangat rapat. Ah, dia disampingku saja sudah sangat cukup untukku. Apa aku pantas berharap lebih darinya? Tidak!
Aku mengalihkan pandanganku, menatapnya sejenak. Dia membalas tatapanku, senyum penuh harap merekah sempurna di bibirnya dan mata yang teduh itu tak pernah berubah. Tetap hangat. Abadi.





TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini