Sabtu, 08 Oktober 2011

Aku Bukan Malaikat



Aku berlari cepat, pikiranku kacau-balau. Menepuk jidat, ada yang tertinggal. Dara. Ya, ia masih tidur dikamarnya. Aku berjalan berjingkat-jingkat, mengendap-ngendap masuk kamar Dara. Beberapa kali aku mengoyak-ngoyak tubuhnya untuk terjaga. Aku membungkam mulut Dara begitu sepatah kata keluar dari mulutnya.

Aku berbisik, “Mereka datang lagi! Kita keluar lewat jendela”
Matanya melotot, aku melepas tanganku yang tadi menutup paksa mulutnya. Dara terdiam sejenak, mengatur napasnya yang sesak.
“Udah, nggak ada waktu lagi!” aku menarik lengannya, Dara mengangguk. Mungkin, ‘kabur-kaburan’ sudah menjadi hal yang biasa. Buktinya, Dara tak banyak tanya apalagi untuk protes.

Aku mencengkram tangan Dara erat-erat, jangan sampai terlepas. Kami harus tetap bersama-sama, saling menjaga satu sama lain. Entahlah berapa kilo lagi kami harus berlari, yang terpenting sekarang adalah mencari tempat persembunyian yang paling aman. Aku juga mulai khawatir, melihat Dara yang terengah-engah. Namun, aku tetap memaksa kakinya untuk berlari dibelakangku. Tiba-tiba, tanganku tertarik, refleks aku pun menghentikan langkahku. Aku menoleh, kulihat Dara terduduk di aspal, napasnya naik-turun. Aku mengikutinya yang terduduk, setelah dirasa-rasa hampir setengah jam kami berlari. Pantas saja, Dara sangat kelelahan. Aku menatapnya, tak ada sedikitpun keluh-kesahnya. Aku tahu, ia berusaha menutupinya dariku. Aku menelan ludah, sekarang aku jadi tahu kalau Dara memang sudah dewasa. Tak ada lagi sifatnya yang moody dan kekanak-kanakan. Apa memang keadaan ini yang terpaksa membuatnya berubah menjadi dewasa? Dari dulu, aku memang selalu menggemblengnya untuk mengurangi sikapnya yang terkadang egois. Namun, dulu rasanya aku hampir putus asa. Selain sikap egoisnya, Dara juga sangat dan sangat keras kepala. Sampai-sampai dulu aku pernah pecah kongsi dengannya, hanya karena masalah sangat sepele. Ah, sebenarnya aku juga galak, jadinya semakin dilanggar maka semakin menjadi-jadi. Terkadang emosiku yang meletup-letup membuat Dara sampai menangis semalaman.
Dahiku berlipat, “Kamu capek ya?” aku menyentuh pundaknya, Dara mendongak. Menggeleng cepat.
Aku tersenyum, “Kita ke rumah pohon aja ya? Biar kamu bisa istirahat disana.”
Dara mengangguk, berdiri dari duduknya, menyeret lenganku dengan antusias. Sekarang giliran aku yang berjalan dibelakangnya.
Entahlah, disaat keadaan genting seperti ini Dara masih bisa terlihat riang. Sementara aku, kelabakan menghadapi masalah ini. Apa mungkin ia menganggap masalah ini hanya sekecil ujung anak rambut? Jujur, aku tak pernah takut jika aku mati ditangan mereka, yang aku khawatirkan hanyalah keselamatan Dara. Bagaimanapun juga dia adalah amanat yang harus aku jaga dan lindungi.

Aku berbaring dilantai rumah pohon, beberapa kali kulihat Dara yang menyeka dahinya. Dengan cepat matanya memejam, aku mencium keningnya, berharap ia akan terjaga dalam mimpinya. Mataku menerawang jauh, menatap langit malam yang berkelip-kelip penuh bintang gemintang. Entah, rasa kantuk enggan mendera mataku. Tiba-tiba Dara menyenggol lenganku, aku terkesiap. Kukira ia sudah tertidur, nyatanya tanpa aku sadari diam-diam Dara memperhatikanku sedari tadi.
“Hayoo, mikirin siapa nih?” godanya terkekeh.
Aku mengernyit, “Apaan sih? Ngaco ah!” kilahku, aku sangat paham arah pembicaraannya. Aku heran, sempat-sempatnya dia bergurau. Aku hanya tertawa geli, menanggapi ledekan yang ia lontarkan selanjutnya.

Pagi ini, tanganku meraba-raba. Tanganku berhenti ketika yang aku raba ternyata tidak ada. Mataku terbelalak, kaget bukan kepalang. Dara mana? Dia pergi kemana? Berani-beraninya ia pergi tanpa aku, atau paling tidak ijin dulu kepadaku. Tapi ini tidak sama sekali, nekadnya minta ampun. Aku bergegas turun dari rumah pohon, menyusuri jalan-jalan setapak. Beberapa kali aku menyerukan nama Dara, tak kunjung juga aku menemukannya. Kemana Dara? Apa jangan-jangan... Otakku mulai menerka-nerka kemungkinan terburuk. Aku menoleh, mendengar suara ribut-ribut. Astaga! Kulihat beberapa preman bertato menyeret-nyeret lengan seorang perempuan.

“Dara!!!” aku berteriak histeris.
Aku bergeming, rasanya nyawaku keluar dengan sendirinya dari ragaku. Waktu benar-benar membeku, membuat keadaan ini seakan mati.
‘Kakak bagaikan malaikat pelindung untuk Dara’ kata-kata itu, spontan otakku memutarnya berulang kali. Terngiang-ngiang, membuat hatiku terguncang. Dara yang selalu menganggapku sebagai malaikat pelindungnya, sekarang untuk meraih tangannya saja aku tak bisa. Apa aku pantas disebut ‘malaikat pelindung’?
Dara menatapku lekat, aku tahu ia menangis ketakutan.
Dara menggelengkan kepala pelan, “Pergi kak! Pergi!” Dara bersuara parau, seperti orang mendesis. Mana mungkin aku setega itu meninggalkannya bersama penjahat seperti mereka? Mereka tidak segan-segan untuk membunuh. Dan kalau mereka ingin membunuh, biarlah aku yang mereka bunuh.
Aku ingin berlari, menyelamatkan Dara dari preman-preman itu. Baru beberapa langkah saja, tubuhku ditarik seseorang dengan paksa.
Aku berontak, namun sia-sia. Ternyata semua ini memang sudah terencana dengan matang. Ah, sialan!
Aku menurut, lebih baik aku mengikuti ‘permainan’ mereka. Tak mungkin aku melawan mereka yang bisa dibilang jumlahnya banyak dengan aku yang hanya seorang diri. Aku juga tak mau ambil resiko, melihat sebilah pisau yang mereka tempelkan dileher Dara. Membuatku sedikit gentar untuk berontak, dan akhirnya terpaksa diam, tak mau gegabah mengambil keputusan.

Mereka menyeret kami ke sebuah ruangan yang begitu gelap. Sedari tadi mataku ditutup, dengan posisi tangan yang ditali, jadi mustahil aku mengetahui dimana ini. Mereka menyekap kami berdua, aku dan Dara duduk dilantai, dengan posisi saling memunggungi. Kaki kami juga terikat tali dengan kuat. Kami saling berdiam diri, aku menunduk kecewa. Dan Dara, meskipun ia diam, aku tahu air mata pelan menetes di pipinya. Sungguh, aku bisa merasakannya, karena setiap tetes air matanya adalah satu pukulan telak untuk hatiku.
Aku menoleh, merebahkan kepalaku dipundaknya.
“Kamu nangis ya?” tanyaku khawatir.
“Engga kok kak, Dara cuma ngantuk aja, jadinya mata aku basah deh” alibinya, berusaha menipuku.
“Aku tahu kamu bohong” ucapku tertawa kecil, sedikit menghargai sikapnya yang ingin terlihat setegar mungkin.
“Beneran, Dara nggak nangis kok!” ia tetap bersikeras.
“Aku nggak melarang kamu untuk menangis, toh semua ini juga karena aku. Aku yang nggak bisa menjaga kamu dengan baik. Gara-gara aku juga kamu jadi terseret kedalam masalah ini. Seharusnya biar aku saja yang mengalami ini semua” air mata menggelayut disudut mataku.
Dara semakin terisak. Aku semakin tenggelam bersama air matanya, aku telah gagal menjadi kakak yang baik untuknya.
Sebenarnya masalah ini hanya sepele, hanya karena sebuah perjanjian hitam diatas putih antara Mama dengan koleganya. Dan entah ada masalah apa, hingga dua bulan terakhir ini, telah membuat aku dan Dara menjadi objek sasaran yang empuk. Menjadikan kami sebagai tawanan sekaligus ganti rugi.

“Nggak kak! Masalah ini harus kita hadapi bersama-sama. Dara nggak akan membiarkan kakak menghadapi semua ini sendiri. Dara juga ingin melindungi kakak, seperti kakak yang selalu menjadi malaikat untuk Dara.”
Dara bergeming, menyandarkan kepalanya di kepalaku. Aku bergetar demi mendengar ujung kalimatnya, apa yang sebenarnya Dara maksud?
Selama ini, aku tak pernah berharap Dara membalas kebaikanku. Aku ikhlas melakukannya sebagai kakak yang tidak pernah berharap lebih.
“Kita harus keluar dari sini secepatnya! Sebelum hari menjelang malam” ucapku, Dara mengangguk paham.
“Apapun keadaannya, kita harus tetap bersama-sama” aku memantapkan hati, berusaha sedikit demi sedikit mengajarkan kepadanya bagaimana menghadapi masalah.

Beberapa kali aku berkutat dengan tali ditanganku, berusaha bagaimana cara melepas ikatan itu. Dan entah bagaimana, tali itu tiba-tiba terasa mudah untuk kulepas. Aku menarik napas lega, Tuhan memang selalu ada untuk hamba-hamba-Nya. Semua ini sangat ajaib. Bergegas aku melepas tali yang mengikat tangan Dara, ia hanya tersenyum lega. Dara menarik lenganku, memandang kalung berbandul ‘Mita’ yang melingkar dileherku.
“Kenapa?” aku melipat dahi, ada yang aneh disorot matanya.
Dara menggeleng, “Aku cuma mau tukeran kalung sama kakak. Boleh kan?” pintanya, aku semakin bingung.
Aku melepas kalungku, Dara memakaikan kalungnya yang berbandul ‘Dara’ dileherku begitu juga sebaliknya. Dara memelukku erat, ada gelagat aneh yang kurasa. Pelukan ini tak seperti biasanya, pertanda apa ini? Ah, Dara kan memang suka melankolis mendadak. Aku hanya menganggapnya enteng, sudah biasa.

Aku melepas pelukannya, “Ayo kita pergi sekarang!” aku menarik lengannya tergesa. Satu-dua melangkah, gagang pintu terputar, aku dan Dara terperanjat. Ada orang yang akan masuk, aku mundur beberapa langkah, Dara sembunyi dibalik tubuhku. Mataku memicing, Dara mencengkram bahuku, aku tahu ia sangat takut.
Pintu terbuka, mataku tajam menatap siapa yang datang. Mereka datang, kali ini aku tak akan pernah gentar menghadapi preman-preman itu. Tak peduli nyawaku menjadi taruhannya, asalkan Dara selamat.
Dara berteriak histeris, melihat mereka yang merangsek maju seraya menudingkan pisau belati.
Dengan tekad, aku mengumpulkan seluruh nyaliku.
 ‘Kamu harus berani Mita!!’
 Aku menepis tudingan pisau itu dengan kakiku, lantas menonjok perutnya hingga salah satu dari mereka tersungkur tak berdaya. Yang lain mulai berseru geram, tak tanggung-tanggung beberapa bogem mentah kulayangkan. Sempurna semua terkulai. Aku menarik lengan Dara.

Langkahku kembali terhenti, menelan ludah demi melihat seorang lelaki paruh-baya dengan asap cerutu mengepul dari mulutnya, menyandarkan punggungnya dimobil. Siapa lagi ini?
Orang itu mendekat, berkacak pinggang sambil memainkan cerutu dengan giginya.
“Mau lari kemana kalian?” orang itu menatap sinis, aku tak mengerti maksudnya. Aku tahu orang ini pasti bos dari preman-preman itu. Firasatku sudah tak enak, buru-buru aku menarik tangan Dara. Namun, beberapa bodyguard menghadang.
“Hey dengar! Kalian pikir semudah itu melarikan diri dari saya?” orang itu mendekati Dara, ia menatap Dara penuh ambisi.

“Lari kak!” Dara mendorong tubuhku, memaksaku untuk pergi menjauh.
Aku terjatuh, tubuhku terjerembab.
Orang itu mencengkram tubuh Dara dari belakang. Aku berdiri, sejurus kemudian seseorang memukul tengkukku. Aku kembali terpekur, entah kenapa aku selemah ini. Hatiku menjerit melihat nyawa Dara yang terancam. Bagaimana mungkin aku membiarkan ia dalam bahaya? Adikku yang seharusnya aku lindungi, kini malah berjuang untuk melindungiku. Harusnya, akulah yang mereka cari, bukan Dara. Aku mulai menyadari mengapa tiba-tiba tadi Dara meminta untuk menukar kalungnya dengan kalungku. Aku tak sangka kalau akibatnya akan sehipokrit ini.

Orang itu mengeluarkan sebilah pisau dari saku jas-nya. Bergegas aku meraih tubuh Dara,
dan...
Jleb! Kurasa pisau itu menusuk perutku bagian samping, duniaku seperti berhenti berputar sejenak. Dara mundur satu-dua langkah, tangannya gemetar menutup mulutnya, melihat baju putihku yang bersimbah darah. Sedikitpun aku tak pernah merasa sakit demi melihat Dara selamat. Pandanganku remang-remang, mataku tak jelas melihat sekitar. Tapi aku masih bisa mendengar desingan peluru yang melesat tajam. Aku hanya berharap, Dara sudah lari menyelamatkan diri. Namun aku tak percaya, sekelibat melihat tubuhnya yang tersungkur beberapa meter dariku. Terpatah-patah aku meraih tangannya, rasanya tetap tidak bisa aku merengkuhnya. Peluru itu memembus pelipisnya, darah segar mengucur, meninggalkan bercak pada tanah. Aku yang telah gagal menjaganya. Dara yang selalu menganggapku sebagai malaikatnya. Tapi lihatlah, sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa ketika dengan kejamnya takdir merenggut semuanya di depan mataku sendiri.

***

Pagi yang cerah ini, payung hitam memanyungiku yang duduk di kursi roda. Aku menunduk, mataku memaku pada gundukan tanah bertabur bunga mawar. Kualihkan pandanganku pada batu nisan itu, merabanya perlahan penuh kerapuhan hati. Airmataku bahkan membatu menjadi sebongkah penyesalan. Aku memang tak bisa menjaga Dara dengan selayaknya. Jikalau aku malaikat, aku ini malaikat yang satu sayapnya telah patah. Dara-lah sayap yang telah patah dari ragaku. Aku tak sempurna tanpa dirinya. Aku memang bukan malaikat untuk Dara.


                                                                            
                                                                              Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini