Rabu, 26 Desember 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (ending)


Epilog


Aku telah gagal membunuhnya. Padahal tinggal sedikit lagi. Tapi aku tidak tega melihat laki-laki tua itu terkapar. Jadi aku berteriak minta tolong. Dan Ikmal datang tepat waktu. Aku memang berbohong kepada Ikmal. Ia sempat-sempatnya menyuruhku pergi.

Sejak mengenalnya, aku tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya. Ikmal selalu baik kepadaku. Selalu ada selayaknya teman yang mau kubagi beban hidupku. Dia selalu memaksaku bercerita tentang masa laluku. Aku takut, setelah aku menceritakan semuanya, ia akan menjauhiku. Aku salah besar. Bahkan ketika ia tahu kalau aku yang mencoba membunuh Papanya, malah sempat-sempatnya ia menyuruhku pergi sebelum polisi mencariku.


Ikmal mencintaiku? Ya, aku tahu itu. Aku tidak terlalu bodoh mengartikan semua perhatiannya kepadaku. Aku pura-pura saja tidak peka. Bukan karena aku ingin mempermainkannya, tapi ia berhak mendapat wanita yang lebih baik sebagai pendampingnya. Dia terlalu baik untukku.


Banyak waktu yang aku habiskan bersamanya. Hidupku terasa indah, kebahagiaanku terasa lengkap. Aku merasa sempurna berada di sampingnya. Ikmal yang membuatku terasa sempurna. Meskipun seringkali aku menepis perasaanku sendiri. Karena pada suatu hari nanti, cepat atau lambat, Ikmal akan pergi dari hidupku. Aku sendiri yang akan membuatnya pergi. Meski aku juga tidak yakin, Ikmal terlalu keras kepala.


Masih kental di ingatanku tentang peristiwa seminggu silam. Aku menaburkan bunga di pusara Metha. Sampai aku mendengar suara mobil memasuki area pemakaman. Aku dengan cepat bisa menebak siapa yang datang. Aku berdiri, memilih pohon kamboja yang besar sebagai tempat persembunyianku. Ikmal datang mendekat, sepertinya ia tahu aku ada di sini. Ia tahu dari bunga yang aku tabur tadi. Mungkin ini saatnya. Aku keluar dari balik pohon kamboja. Melihat punggungnya dari tempatku berdiri. Hatiku bergetar hebat. Ikmal menoleh, aku terkesiap. Aku mengatakan semuanya. Ikmal yang mendengar pengakuanku terdiam terpaku. Aku tidak peduli. Cara ini akan membuat Ikmal pergi jauh-jauh dari hidupku. Detik berikutnya, aku mendengar suara sirine itu semakin mendekat. Aku mendekap kepalaku dengan kedua tanganku. Suara itu bagai nyanyian kematian bagiku! Empat polisi bertubuh kekar membekukku, mereka memborgol kedua tanganku. Di tengah gemuruh hujan yang deras, sedikit pun aku tidak berani menatap Ikmal.

Aku masuk penjara. Satu minggu aku tidur di dalam sel. Merasakan dinginnya lantai penjara. Pagi itu, seorang dokter memeriksaku. Aku heran, padahal aku tidak sakit apa-apa. Hingga hari ini, jam ini, detik ini, aku duduk di sini. Sendirian. Aku sedang beradaptasi dengan tempatku yang baru. Dan taman ini menjadi tujuanku pagi ini. Ada banyak orang di sini, sama seperti diriku, mereka juga mengenakan baju serba putih. Ada yang tertawa keras, mengamuk, menangis, merenung—


Aku menautkan jari-jari tanganku. Melihat ke sekitarku. Aku bingung, ini bukan duniaku. Tidak seharusnya aku berada di sini. Aku tidak mengenal siapa pun di sini. Mereka sangat asing bagiku.


Aku menghabiskan pagi ini di taman. Seperti ada yang sedang aku tunggu. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu. Mataku senyap menatap kolam ikan, airnya tenang, bening. Kosong yang aku rasa sekarang. Keluargaku? Mama? Metha? Kalian di mana?


Satu denting turun dari kelopak mataku, jatuh di tanganku. Sedikit pun aku tidak bergeming dari dudukku. Aku tidak peduli kalau duniaku akan berhenti sekarang. Untuk apa aku masih di sini? Untuk apa aku masih bertahan? Jika aku sendiri tidak tahu kemana semua ini akan bermuara.


Aku merasakan sentuhan lembut di pundakku. Dia memelukku dari belakang, merengkuh kedua bahuku dengan tangannya. Dia meletakkan dagunya di bahu kananku. Tanpa aku melihatnya pun, aku bisa menebak siapa yang datang. Kenapa dia datang kemari? Kenapa dia mencariku? Bukankah jika aku pergi jauh dari hidupnya, itu jauh lebih baik? Lalu, kenapa dia ada di sini sekarang?


Lama sekali dia mendekapku. Bahuku terasa hangat, aku tahu, dia menangis. Untuk apa dia menangis untukku? Aku bukan orang yang pantas untuk dia tangisi. Dia juga diam membisu. Kesenyapan mengungkung taman ini, seakan semua berhenti di sini. Tangisku pecah lagi. Tidak semudah itu aku membuang kenangan-kenangan bersamanya. Semua kembali terkuak, seperti waktu sengaja memutarnya kembali. Aku tahu, waktu yang sudah pergi tidak akan pernah datang kembali. Tapi tidak dengan cintaku. Dia selalu berada di sampingku. Dia yang mengajarkanku bagaimana cinta tumbuh di batas perbedaan. Dan ini bukan cinta terlarang.







TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini