Epilog
Aku
telah gagal membunuhnya. Padahal tinggal sedikit lagi. Tapi aku tidak tega
melihat laki-laki tua itu terkapar. Jadi aku berteriak minta tolong. Dan Ikmal
datang tepat waktu. Aku memang berbohong kepada Ikmal. Ia sempat-sempatnya
menyuruhku pergi.
Sejak
mengenalnya, aku tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya. Ikmal selalu
baik kepadaku. Selalu ada selayaknya teman yang mau kubagi beban hidupku. Dia
selalu memaksaku bercerita tentang masa laluku. Aku takut, setelah aku
menceritakan semuanya, ia akan menjauhiku. Aku salah besar. Bahkan ketika ia
tahu kalau aku yang mencoba membunuh Papanya, malah sempat-sempatnya ia
menyuruhku pergi sebelum polisi mencariku.
Ikmal mencintaiku? Ya, aku tahu itu. Aku tidak
terlalu bodoh mengartikan semua perhatiannya kepadaku. Aku pura-pura saja tidak
peka. Bukan karena aku ingin mempermainkannya, tapi ia berhak mendapat wanita
yang lebih baik sebagai pendampingnya. Dia terlalu baik untukku.
Banyak
waktu yang aku habiskan bersamanya. Hidupku terasa indah, kebahagiaanku terasa
lengkap. Aku merasa sempurna berada di sampingnya. Ikmal yang membuatku terasa
sempurna. Meskipun seringkali aku menepis perasaanku sendiri. Karena pada suatu
hari nanti, cepat atau lambat, Ikmal akan pergi dari hidupku. Aku sendiri yang
akan membuatnya pergi. Meski aku juga tidak yakin, Ikmal terlalu keras kepala.
Masih
kental di ingatanku tentang peristiwa seminggu silam. Aku menaburkan bunga di
pusara Metha. Sampai aku mendengar suara mobil memasuki area pemakaman. Aku
dengan cepat bisa menebak siapa yang datang. Aku berdiri, memilih pohon kamboja
yang besar sebagai tempat persembunyianku. Ikmal datang mendekat, sepertinya ia
tahu aku ada di sini. Ia tahu dari bunga yang aku tabur tadi. Mungkin ini
saatnya. Aku keluar dari balik pohon kamboja. Melihat punggungnya dari tempatku
berdiri. Hatiku bergetar hebat. Ikmal menoleh, aku terkesiap. Aku mengatakan
semuanya. Ikmal yang mendengar pengakuanku terdiam terpaku. Aku tidak peduli.
Cara ini akan membuat Ikmal pergi jauh-jauh dari hidupku. Detik berikutnya, aku
mendengar suara sirine itu semakin mendekat. Aku mendekap kepalaku dengan kedua
tanganku. Suara itu bagai nyanyian kematian bagiku! Empat polisi bertubuh kekar
membekukku, mereka memborgol kedua tanganku. Di tengah gemuruh hujan yang
deras, sedikit pun aku tidak berani menatap Ikmal.
Aku
masuk penjara. Satu minggu aku tidur di dalam sel. Merasakan dinginnya lantai
penjara. Pagi itu, seorang dokter memeriksaku. Aku heran, padahal aku tidak
sakit apa-apa. Hingga hari ini, jam ini, detik ini, aku duduk di sini.
Sendirian. Aku sedang beradaptasi dengan tempatku yang baru. Dan taman ini
menjadi tujuanku pagi ini. Ada banyak orang di sini, sama seperti diriku,
mereka juga mengenakan baju serba putih. Ada yang tertawa keras, mengamuk,
menangis, merenung—
Aku
menautkan jari-jari tanganku. Melihat ke sekitarku. Aku bingung, ini bukan
duniaku. Tidak seharusnya aku berada di sini. Aku tidak mengenal siapa pun di
sini. Mereka sangat asing bagiku.
Aku
menghabiskan pagi ini di taman. Seperti ada yang sedang aku tunggu. Tapi aku
tidak tahu siapa orang itu. Mataku senyap menatap kolam ikan, airnya tenang,
bening. Kosong yang aku rasa sekarang. Keluargaku?
Mama? Metha? Kalian di mana?
Satu
denting turun dari kelopak mataku, jatuh di tanganku. Sedikit pun aku tidak
bergeming dari dudukku. Aku tidak peduli kalau duniaku akan berhenti sekarang. Untuk
apa aku masih di sini? Untuk apa aku masih bertahan? Jika aku sendiri tidak
tahu kemana semua ini akan bermuara.
Aku
merasakan sentuhan lembut di pundakku. Dia memelukku dari belakang, merengkuh
kedua bahuku dengan tangannya. Dia meletakkan dagunya di bahu kananku. Tanpa
aku melihatnya pun, aku bisa menebak siapa yang datang. Kenapa dia datang kemari? Kenapa dia mencariku? Bukankah jika aku pergi
jauh dari hidupnya, itu jauh lebih baik? Lalu, kenapa dia ada di sini sekarang?
Lama
sekali dia mendekapku. Bahuku terasa hangat, aku tahu, dia menangis. Untuk apa dia menangis untukku? Aku
bukan orang yang pantas untuk dia tangisi. Dia juga diam membisu. Kesenyapan
mengungkung taman ini, seakan semua berhenti di sini. Tangisku pecah lagi.
Tidak semudah itu aku membuang kenangan-kenangan bersamanya. Semua kembali
terkuak, seperti waktu sengaja memutarnya kembali. Aku tahu, waktu yang sudah
pergi tidak akan pernah datang kembali. Tapi tidak dengan cintaku. Dia selalu
berada di sampingku. Dia yang mengajarkanku bagaimana cinta tumbuh di batas
perbedaan. Dan ini bukan cinta terlarang.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar