Minggu, 23 Desember 2012

Nafasmu adalah hidupku..

Cinta.
Adakah yang bisa memberitahuku,
Bagaimana ketika cinta datang,
Bagaimana cinta tumbuh di batas perbedaan.
Apakah ada yang bisa menunjukkan kepadaku,
Kalau cinta itu nyata di depan mata,
Kalau cinta bisa tergenggam,
Ketika cinta mempunyai semua jawaban,
Dari penantian panjang yang tak bertepi,
Dari malam-malam sepi yang datang merangkai kerinduan,
Dari air mata yang buncah,
Cinta..
Ketika menantimu adalah nyawa bagiku,
Aku tidak akan berhenti sekarang,
Aku akan hidup lebih lama untuk sadar,
Bahwa cinta yang kutunggu datang,
Tepat ketika aku harus kembali..


“Uhh.. So sweetnya.” Seseorang dari belakang setengah menyeringai dari balik kursi menggodanya. Naya tidak sadar lima menit yang lalu laki-laki itu datang, lantas diam mengamatinya yang sedang menulis.

“Lancang!” Naya menutup bukunya dengan kesal. Ia meraih tas, bersiap pergi. Ia teramat benci dengan si perusak suasana yang satu ini. Namun langkahnya terhenti saat laki-laki itu sengaja menghalangi jalannya.

“Zam!” bentaknya mendorong mundur Zam.

“Aku antar pulang ya?” Zam meraih tangan Naya, menghentikan langkahnya lagi. Naya menoleh tajam, Zam tanpa menunggu dibentak lagi langsung melepaskan tangannya.

“Aku masih ingat jalan pulang.” Naya melangkah, berkata tanpa menoleh lagi. Andaikan ia mau menoleh sebentar saja, ia akan tahu, ia akan melihat cinta itu amat nyata. Ia akan melihat Zam tetap tersenyum di sana. Bertahun-tahun sudah ia menerima sikap acuh tak acuh Naya.



***


Malam semakin larut ketika kamar di lantai dua itu masih diterangi cahaya lampu. Ia yang sedang duduk tercenung, tangannya menggurat pelan di atas selembar kertas putih. Di luar sedang hujan gerimis, tapi ia membiarkan jendela di kamarnya terbuka lebar. Semilir angin berhembus masuk, membelai rambut panjang yang terurai indah. Naya tetap fokus dengan sketsa wajah di hadapannya. Matanya menatap berbinar, sangat kontras dengan wajahnya yang pucat. Sketsa itu hampir selesai, tinggal menambahkan dua lesung pipit di kedua pipinya. Bukan hanya sekali ini, bertahun-tahun ia rutin melakukannya.
Ia bangkit, melangkah, bermaksud menutup jendela. Ia menyempatkan sejenak menatap langit gelap tak berbintang. Gerimis masih turun. Sudahlah. Ia memutuskan untuk berhenti menatap langit, meraih pengait gorden. Tepat ketika gorden belum sempurna tertutup, ia melihat wajah itu. Sekecil apapun senyum itu terlihat, hatinya jauh lebih kuat merasakan getaran itu. Naya langsung menutup gorden rapat-rapat saat tangan itu melambai kepadanya. Tuhan, ia tidak pernah siap dengan semua perasaan ini.


***

Malam yang sama. Waktu yang sama. Hanya berjarak lima puluh meter dari rumah Naya. Laki-laki itu berdiri di dekat jendela. Pikirannya melayang entah kemana. Senyap. Hatinya senyap oleh perasaan-perasaan yang belum terjelaskan. Mata beningnya menatap langit gelap tak berhias bintang dan bulan. Gerimis turun bersama derai angin yang berhembus syahdu, membuat embun di jendela kaca itu. Ia menempelkan telapak tangannya, dingin menjalar cepat. Sedingin hatinya saat ini. Pandangannya segera teralih ke jendela di seberang jalan. Ia melihat gadis itu berdiri di sana. Melakukan hal yang sama dengan dirinya, menatap langit. Ia mengembangkan senyum, membuat kedua lesung pipitnya terlihat amat jelas. Ia membuka jendela, hatinya mencair seketika, ia mengangkat sebelah tangan, menggerakkan pelan jarinya. Naya menutup gordennya dengan sebal. Zam tidak heran lagi melihat Naya bersikap seperti ini. Ia sudah hafal di luar kepala. Zam tetap tersenyum di sana.


***


“Aduh, maaf.” Zam tak sengaja menabrak Naya, mereka sama-sama terburu-buru. Jadi tak sengaja, tak terlalu memperhatikan jalan. Naya juga tidak akan membentak Zam kali ini.

“Aku yang harusnya minta maaf,” ucap Naya yang langsung jongkok memunguti buku-bukunya yang terjatuh. Zam ikut berjongkok, membantu mengais secarik kertas yang jatuh terpisah. Zam sungguh tidak akan pernah membayangkan apa yang akan ia ketahui pagi ini. Semalam ia bahkan tidak bermimpi apapun. Zam menatap kertas putih itu, menatap sketsa wajahnya sendiri. Apa maksud dari semua ini? Lama ia tergugu. Tidak menyadari Naya yang berlari seraya menahan tangis.



***


Zam memberanikan diri mengetuk pintu. Ia sudah siap dengan apa yang akan ia hadapi. Pintu terbuka. Zam segera berbalik. Naya terdiam di bawah bingkai pintu, menatap tangan Zam yang menggenggam kertas putih. Tuhan, ia tidak akan pernah siap mengatakannya, ia tidak siap menghadapinya.


Benar saja, baru selangkah Zam maju, mulutnya hendak berkata, pintu itu tertutup. Zam sempat menahan agar pintu tetap terbuka, tapi Naya tidak akan membiarkan.

“Nay, aku butuh penjelasan. Tolong, katakan apa saja yang bisa membuatku yakin dan percaya kalau kamu merasakan apa yang aku rasakan.” Zam berhenti bicara saat pintu sempurna tertutup. Ia menghantam pintu dengan kesal. Tapi ia tahu, Naya masih di sana, menangis tersedu. Zam menempelkan keningnya di daun pintu. Membujuk Naya sekali lagi.

“Aku mohon, Nay.. Jangan siksa aku dengan perasaan ini.”

“Pergi! Aku nggak mau lihat kamu lagi!” Naya berteriak parau.

“Aku nggak akan pergi. Aku akan menunggu sampai kamu mengatakannya—” Kalimat itu terpotong begitu saja, karena Naya tiba-tiba membuka pintu. Ia merebut kertas itu, merobeknya sembarangan, dan melemparkannya ke wajah Zam. Naya menangis, berlari ke kamarnya. Tuhan, ini kesalahan terbodoh dalam hidupnya.


 
***



Cinta..
Andai aku mempunyai waktu lebih lama,
Andai waktu tidak berjalan begitu cepat,
Aku mulai menyadari,
Kalau aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita.
Tidak akan ada cerita di antara kita.
Karena waktu tidak akan membingkainya dalam kenangan,
Karena waktu tidak bersama kita,
Tuhan..
Setiap tetes air mata
Setiap harapan yang memenuhi hidupku
Malam-malam penuh sesak
Semua terjadi sejak aku mengenalnya
Jika waktu tidak untuk kami
Biarlah ia mencari jalannya sendiri
Dan biarkan aku tetap di sini
Mengenang waktu yang pernah ada
Meskipun itu hanya sebentar..


“Naya.. Jangan terlalu banyak aktivitas dulu.” Dokter Elsa mengingatkan, tersenyum, membantu Naya menyingkirkan bukunya.

“Cuma nulis sedikit kok.” Naya manyun, tidak bisa berbuat apa-apa. Dua hari yang lalu ia menginap di ruangan ini. Dua hari setelah peristiwa pagi itu.

“Dok, kapan saya bisa pulang?” Naya bertanya, Dokter Elsa menghela napas. Sejak dua hari di sini, sudah lima kali Naya bertanya hal yang sama. Dan ini yang keenam.

“Tunggu beberapa hari lagi ya. Sampai semuanya membaik.” Dokter Elsa tersenyum, sedikit berbohong. Keadaan Naya sebenarnya jauh dari kata baik. Harapannya kecil sekali. Tapi mana tega Dokter Elsa mengatakannya, itu hanya akan membuat pasien kesayangannya depresi. Akhir-akhir ini Dokter Elsa sering mendengar Naya mengigau, menyebut-nyebut nama “Zam”. Tapi ia tidak ingin menanyakan ini pada Naya, ia takut akan memperburuk keadaan.

“Dokter, keadaan gawat darurat!” Seorang suster masuk tanpa mengetuk, tergesa memberitahu. Dokter Elsa mengangguk, seperti sudah tahu tanpa penjelasan mendetail. Setelah Dokter Elsa berpamitan, ia segera mengikuti langkah suster tadi. Malam itu, lorong rumah sakit itu rusuh.


***


Dokter Elsa cekatan membersihkan darah dari luka menganga di kepala pasiennya. Setelah bersih, ia telaten menjahit luka-luka. Serta membebat tangan kanan pasiennya yang mengalami patah tulang serius. Tidak berhenti di situ, kaki pemuda itu juga harus digips. Dokter Elsa menarik napas panjang, melihat pemuda yang malang itu penuh dengan jahitan dan bebatan. Suster di sampingnya juga ikut menghela napas. Tidak ada yang tahu persis kapan pemuda ini akan siuman. Mesin pengontrol detak jantung berdenting naik-turun.

“Nama pemuda ini siapa, Sus?” Dokter Elsa bertanya, tangannya mengisi kertas entahlah.

“Zam Putra.” Suster itu membaca sesuai dengan kartu identitas di tangannya.


***


Diam-diam Naya memendam rasa rindu itu. Ia rindu senyuman itu. Ia rindu melihat binar matanya. Ia rindu melihat lesung pipitnya—

“Pagi, Nay..” Suara Dokter Elsa membuyarkan lamunannya. Naya sedikit terkejut, biasanya suster yang mengantarkan sarapannya. Tapi kali ini berbeda.

“Kenapa? Aneh ya?” Dokter Elsa tersenyum, seolah mengerti isi pikiran Naya. Baru saja Dokter Elsa meletakkan nampan di atas meja, panggilan darurat itu berbunyi. Dokter Elsa berpamitan, meminta maaf tidak bisa menemaninya sarapan. Naya hanya mengangguk.


Ia merasa bosan berdiam diri di ruangan itu, Naya memutuskan bangkit dari ranjangnya. Ia berjalan tertatih menyusuri setiap koridor, menenteng infusnya. Ia kesepian. Menolak ketika beberapa suster menawarkan bantuan. Ia ingin sendiri. Ia sudah terbiasa sendiri. Tidak, ia lupa. Sungguh, ia mempunyai seorang malaikat. Sayangnya ia belum mau mengakui apa yang seharusnya ia akui.


Naya berhenti sejenak mengambil napas. Ia duduk di salah satu kursi dekat lobi. Matanya memicing saat melihat beberapa suster bergegas mendorong ranjang pasien. Bukan keributan itu yang menarik perhatiannya. Ia mencari pegangan untuk membantunya berdiri. Ranjang itu semakin dekat dari tempat ia duduk. Tuhan, ia tidak pernah tahu apa yang akan ia lihat. Naya gemetar, berdiri sempoyongan. Bibirnya bergetar, satu denting air mata menetes begitu saja. Ranjang itu tepat melintas di depan matanya. Jantungnya seperti lupa berdetak.

“ZAM!! ZAM!!!” Naya berteriak, tangannya menggapai udara. Ia ingin berlari, tapi ia jatuh tersungkur. Berdebam di lantai itu. Dokter Elsa yang berjalan di belakang, kaget bukan kepalang melihat Naya tersungkur di sana. Ia membantu Naya berdiri, bertanya apakah ada yang sakit. Naya menggeleng.

“Zam, Dok! Selamatkan dia, Dokter!” Naya semakin terisak, menggenggam lengan Dokter Elsa. Naya tahu, meski hanya melihat sambil lalu. Naya juga tahu kalau ranjang itu didorong ke ruang ICU. Dokter Elsa harus cepat menyusul ke ruang ICU, memberi isyarat ke suster penjaga untuk menenangkan Naya.


***


Ia tetap terjaga dalam senyapnya malam. Tidak ada alasan untuk menutup matanya. Naya sedang risau memikirkan keadaan Zam. Ia takut kehilangan malaikatnya.


Naya berdiri tegap di depan pembatas kaca ruang ICU. Ia tidak berani masuk ke sana. Ia belum siap.

“Bangun, Zam. Aku, aku butuh kamu..” ucapnya lirih. Air mata menetes pelan.

“Aku ingin mengulangi hari-hari bersama kamu, Zam. Melihat kamu yang menyebalkan.” Naya jatuh terduduk di lantai, memeluk kedua lututnya.

“Naya.. Kamu di sini?” Wanita separuh baya menyentuh bahunya dari belakang.

Naya mendongak, melihat Mama Zam sudah berdiri di sampingnya.

“Tante..” ucap Naya parau.

“Ayo masuk, Sayang. Zam pasti akan senang sekali kamu menjenguknya.” Mama Zam mengulurkan tangan, membantu Naya berdiri.
Naya menelan ludah, ia berjalan di belakang. Membiarkan Mama Zam yang membuka pintu.

“Duduklah Nay, ada sesuatu yang ingin Tante bicarakan,” ucapnya menarik kursi. Naya yang mematung cukup jelas mendengar perintah itu. Pelan-pelan ia duduk di samping ranjang. Ia ingin memejamkan mata atau sekadar memalingkan wajah. Ia tak sanggup melihat Zam seperti ini. Mama Zam diam, menunggu tangisan Naya reda.

“Bagaimana mungkin kamu mengingkarinya?” Mama Zam lima menit kemudian membuka mulut. Bertanya seraya membelai rambut Naya yang hitam legam.


Diam. Naya hanya diam. Bukan karena ia tidak tahu jawabannya. Ia sangat tahu. Tapi ia tak mampu mengatakannya. Terlalu banyak penyesalan-penyesalan. Naya tertunduk.

“Bagaimana mungkin kamu tidak mengakui apa yang seharusnya kamu akui?” Mama Zam bertanya lagi. Diam. Lagi-lagi yang ditanya hanya diam menangis.

“Zam berhak tahu semuanya, Nay. Sampai kapan kamu akan diam dan berpura-pura menolaknya selama ini? Apa, apa yang harus Zam lakukan untuk membuat kamu percaya?” Pertanyaan ketiga yang terlontar. Mama Zam menyeka sudut matanya. Masalah ini cukup menguras emosinya. Wajar saja, selama bertahun-tahun, Mama Zam diam-diam ikut melihat dan mendengar. Ia tahu semuanya.


Naya menatap tubuh Zam di ranjang di hadapannya. Air mata mengalir deras, jatuh menetes di lengan Zam. Ia tidak mengabaikan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Hatinya kacau. Mama Zam menghela napas, mengeluarkan sebuah bingkai berukuran cukup besar dari dalam tasnya. Dengan pelan ia menyodorkan bingkai itu ke depan Naya.

“Lihat, Nay. Semalaman suntuk Zam menyatukan bagian-bagian sketsa yang telah kamu sobek. Zam cerita ke Tante, kamu yang menggambar ini. Andai kamu tahu betapa bahagianya Zam memiliki sketsa ini.” Mama Zam menjelaskan atas apa yang ia lihat beberapa hari yang lalu.



Tangannya gemetar menyentuh kaca bingkai. Ia masih ingat ketika ia dengan tega merobek sketsa itu demi gengsinya. Mama Zam mundur, duduk di sofa belakang Naya, melepas kacamatanya.

“Malam itu, entah dari mana Zam tahu kamu di sini, dia begitu panik. Tante sudah mengingatkan kalau di luar hujan deras. Tapi dia tidak peduli.” Mama Zam memulai ceritanya. Naya mendekap bingkai di dadanya.

“Tidak pernah terbersit sedikitpun di pikiran Tante, Nay, kalau keadaan akan seperti ini. Beruntung sekali Zam masih bisa bernafas sampai sekarang. Mungkin dia juga bisa melihat kamu duduk di sampingnya, menangis untuknya.” Beliau menyeka sudut mata dengan saputangan. Naya terisak, semakin erat memeluk bingkai itu. Apa yang sudah ia lakukan? Ia tak pernah bermaksud menyakiti Zam dengan penolakan-penolakan itu. Naya tidak ingin Zam kecewa. Dan ternyata caranya salah, Zam tetap bersabar mendekatinya.

“Dokter bilang Zam koma. Kecelakaan itu tidak ringan, Nay. Bagaimana mungkin Zam selamat dari hantaman pohon besar yang tumbang? Bagaimana ia bisa bertahan? Demi kamu, Nay! Karena pada akhirnya dia ada di rumah sakit ini.” Mama Zam melanjutkan, suaranya tegas, namun terdengar serak. Naya bergeming, memandang wajah yang pucat yang dipasangi alat bantu pernapasan. Ia juga tidak pernah menginginkan ini terjadi. Selama ini ia hanya ingin menghindar dari Zam, tapi ia tidak tahu akan membuat Zam seperti ini.

Naya tertekan. Tiba-tiba peluh dingin membasahi kening dan pelipisnya, kepalanya tertunduk, menggigit bibir kuat-kuat. Dada sebelah kirinya sakit, berdenyut nyeri. Sekuat mungkin ia tidak menunjukkan rasa sakitnya di depan Mama Zam. Ingin rasanya ia berlari keluar, tangannya mencengkeram seprei untuk membantunya berdiri. Ya, Naya lega. Ia sudah bersiap melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Dan.. Hap! Dokter Elsa menangkap tubuh Naya yang ambruk. Mama Zam terperanjat dari duduknya. Dokter Elsa bergegas membopong tubuh Naya dengan beberapa suster. Mama Zam hendak melangkah keluar, terpaksa menghentikan kakinya. Ia melihat jari tangan Zam bergerak perlahan.


***


Naya kembali terbaring di ranjangnya. Dokter Elsa selesai ‘mengurus’ Naya. Ia membenahi selimut Naya, meletakkan bingkai sketsa—yang tadi didekap Naya—di meja samping ranjang. Naya mengalami shock kecil, dan itu membuat keadaan jantungnya memburuk. Dokter Elsa tidak bisa membayangkan jika jantung Naya berhenti berdetak. Ia sudah menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri.


***


“Subhanallah, Zam!” Wanita separuh baya itu menghambur ke ranjang. Zam mengerjapkan mata, silau dengan lampu ruangan. Mamanya mendekap anaknya penuh haru, menangis.

“N-a-y-a,” ucapnya terbata, matanya berusaha menyapu sekitar. Ia bisa merasakan kehadiran Naya di sini. Ya, di sini. Ia sungguh yakin Naya ada di sini.

“Ini Mama, Nak.” Mama Zam mencoba mengalihkan perhatian, mengusap-usap kening Zam. Namun gagal.

“Naya...” Sekali lagi ia menyebut nama itu. Hanya satu nama itu yang memenuhi otaknya. Merasa tidak mendapat jawaban dari mamanya, Zam mencoba bangun. Sakit. Ia merintih. Sekali lagi mencoba bangkit. Sakit. Tulangnya nyeri. Ia mendesah kesal.

“Jangan banyak bergerak dulu, Zam. Soal Naya, ya, tadi dia ada di sini. Mama sudah mengatakan semuanya dan…”

“Sekarang dia di mana, Ma? Zam pengen ketemu dia. Naya baik-baik aja kan, Ma?” Zam antusias bertanya, suaranya serak, seperti lupa dengan keadaan kaki dan tangannya. Mamanya hanya menggeleng. Zam mengernyitkan dahi, menatap lurus ke atas.

“Mama cerita apa ke Naya?” tanyanya tanpa menoleh.

“Mama mengatakan apa yang Mama lihat dan dengar selama ini. Dan sketsa itu, Mama sudah mengembalikannya kepada Naya.” Ujarnya berterus terang. Zam nampak kecewa, mengatupkan matanya.

“Zam mencintainya dengan tulus, Ma. Aku nggak mau Naya menerimaku hanya karena terpaksa, apalagi karena setelah mendengar cerita Mama.” Zam berkata dengan parau.

“Mama tidak tega melihat kamu terus-terusan seperti ini. Kamu mengejar-ngejarnya, seolah tidak ada lagi perempuan di dunia ini selain Naya. Semua itu untuk apa, Zam?” Mamanya mulai terpancing emosi. Ia tidak membenci Naya. Ia hanya tidak suka dengan cara Zam mencintai gadis itu.


“Dengan mencintai Naya, aku merasa sempurna, Ma. Aku nggak bisa hidup tanpa Naya,” ujarnya keukeuh.

“Hentikan omong kosongmu, Zam!” Mamanya membentak. Zam bungkam seketika, menghela napas. Mamanya memang keras kepala.

“Maaf,” ucap seseorang dari bingkai pintu. Membuat ketegangan antara ibu dan anak itu melumer. Mama Zam segera tanggap, melangkah keluar, mengangguk, mempersilakan Dokter Elsa memeriksa keadaan Zam.

“Jangan banyak bergerak ya. Nanti jahitannya bisa lepas. Tunggu sampai lukanya mengering.” Dokter Elsa tersenyum setelah menyuntikkan obat entahlah ke tabung infus. Zam mengangguk lemah.

“Naya akan senang sekali jika melihat kamu cepat pulih.” Dokter Elsa membereskan alat-alatnya, sengaja sekali menyebut nama Naya di depan Zam.

“Apa, Dok?” tanya Zam membulatkan mata. Dokter ini bilang tentang Naya? Astaga..

“Naya sedang tidur di ruangannya. Jangan khawatir.” Dokter Elsa tersenyum, berpamitan. Hati Zam mengembang sekejap, ia lega, melupakan soal bagaimana Dokter itu tahu kalau ia sedang mengkhawatirkan Naya.


***


Siang yang mendung. Naya terbangun dari tidurnya setelah mendengar petir menggelegar. Gorden di ruangannya melambai tersapu angin. Ia jadi ingat dengan jendela di kamarnya. Malam itu, ketika gerimis turun, ia berdiri di dekat jendela, menatap langit gelap. Ia rindu rumahnya. Ia rindu suasana kala itu. Saat Zam tersenyum kepadanya kala itu di seberang jendela. Naya menyeka hidungnya. Di luar gerimis mulai turun, angin berderak melambat. Naya menatap kosong ke arah jendela di sampingnya. Ia merasa kesepian tanpa Zam di hidupnya, walau hanya sementara. Namun, ia baru menyadari, ia ingin selalu berada di dekat laki-laki itu. Menghirup udara yang sama. Dalam waktu yang sama.


Naya mengambil buku catatannya di laci meja. Ia ingin menumpahkan semuanya di buku itu. Tangannya perlahan mulai merangkai kata, bolpen di tangannya bergetar. Ia terus menguatkan hatinya. Ia tidak pernah takut dengan penyakitnya. Ia harus menulis sekarang. Mencoba mengabaikan jantung kirinya yang berdenyut nyeri. Bolpen itu akhirnya terlepas dari genggamannya.

Naya meremas selimutnya yang tebal, jantungnya bagai ditusuk. Ia menjatuhkan diri ke atas bantal, memejamkan mata dan menggigit bibirnya untuk mengurangi rasa sakit. Seorang suster yang datang membawa nampan berisi makanan, terbelalak melihat Naya yang kesakitan. Nampan itu jatuh di lantai, bergemirincing nyaring. Suster berlari keluar, memanggil dokter.


***


Perkembangan kesehatan Zam sungguh teramat pesat. Dokter Elsa nyaris tidak percaya ini, tidak salah ia menyebut nama Naya waktu itu. Nyatanya bisa berdampak baik untuk kemajuan Zam. Gips itu sudah dilepas dari kakinya, tangannya juga sudah bisa digunakan dengan normal. Kini tinggal bebatan di kepalanya yang belum dilepas. Selama seminggu pula ia memendam rindu pada Naya. Terkadang ia akan bertanya keadaan Naya pada Dokter Elsa. Dan dokter itu selalu tersenyum, mengatakan kalau Naya sehat-sehat saja. Jawaban itu tentu saja kebohongan belaka. Kenyataan yang sengaja ditutup-tutupi. Dokter Elsa tidak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti permintaan Naya untuk menyembunyikan tentang penyakitnya.


***


“Apa kabar?” Ya, pagi yang cerah ini Zam berjalan ke taman samping rumah sakit. Ia menyapa gadis yang duduk bersandar di kursi taman. Naya menoleh, serba canggung, ia harus menjawab apa? Tapi, ia senang melihat Zam sudah membaik, meski jalannya masih tertatih. Zam duduk di sisi kursi, agak berjauhan dari tempat Naya duduk.

“Emm..” Suara itu secara bersamaan terlontar. Mereka saling toleh. Tidak habis pikir.

“Kamu duluan..” Zam tersenyum mengalah.

“Nggak. Kamu duluan aja..” Naya membuang muka, takut Zam melihat pipinya yang bersemu merah. Zam diam, menunggu sampai Naya yang memulai percakapan di antara mereka. Ia tahu dari mata gadis itu, ada hal yang ingin diceritakan.

“Aku minta maaf, Zam. Semua perlakuanku kepadamu selama ini. Dan kecelakaan itu juga aku yang menyebabkan.” Naya mulai menangis. Zam cepat menyentuh bahunya.

“Bukan, ini semua bukan salah kamu, Nay. Jadi, tolong, sedikitpun jangan pernah berpikiran seperti itu lagi.” Zam meyakinkan gadis di hadapannya.


“Andai sejak awal kamu tidak datang dalam hidupku. Andai aku bisa memutar semuanya, aku ingin...” ucap Naya menepis tangan Zam dari bahunya.

“Ingin apa?” tanya Zam setelah Naya tidak meneruskan kalimatnya.

“Seharusnya kita tidak perlu saling mengenal. Untuk apa kita bertemu, jika hanya untuk tahu bagaimana cara melupakan.” Naya menyibak rambut panjangnya, menengadah, menahan air matanya yang akan tumpah.

“Aku hanya ingin melewati hari-hariku bersamamu. Menghirup udara yang sama denganmu. Melewati waktu yang sama. Aku tak peduli, Nay. Sekeras apapun kamu menolakku. Aku tetap di sini. Menunggu sampai kamu mengatakan semuanya.” Zam menyeka hidungnya, sesak memenuhi dadanya. Bagaimana mungkin gadis di sampingnya berputus asa?

“Kamu salah besar, Zam. Hidupmu terlalu berharga untuk menunggu jawaban dari gadis penyakitan sepertiku. Apa yang kamu harapkan dariku tidak akan pernah menjadi nyata. Hari, udara, dan waktu kita berbeda jauh.” Tangisnya pecah sudah, merambat turun di pipi. Pagi yang cerah dengan cepat berganti mendung. Ia sadar, lagi-lagi ia menyakiti hati Zam. Toh, pada akhirnya semua ini akan terbukti. Mengatakan sekarang atau nanti apa bedanya.

“Beri aku kesempatan, Nay. Beri aku waktu untuk—” Zam bangkit dari duduknya, bersimpuh di depan Naya, menggenggam tangan gadis itu. Sungguh, apapun yang akan Zam lakukan sekarang tidak akan membuat Naya berubah pikiran.

“Lepas, Zam!” Naya menarik tangannya. Zam menurut. Naya jatuh terduduk di depan Zam.

“Aku mohon, lupakan aku.” Naya memeluk Zam untuk pertama kalinya. Dan mungkin untuk yang terakhir.

“Aku tahu semuanya, Nay. Kenapa kamu takut? Ada aku di sini. Seribu kali kamu menyuruhku pergi. Maka semakin tegap aku berdiri di sampingmu.” Zam berbisik lirih, membalas pelukan gadis itu. Naya tertegun. Bagaimana mungkin Zam tahu semuanya?

“Hidupmu bukan di sini, Zam. Bukan di sampingku. Bukan untuk menemani sisa-sisa hariku. Bukan untuk menyaksikan kematianku.” Naya sesenggukan, jatuh menangis di pundak Zam. Hujan deras yang turun seolah ikut menangis untuk mereka berdua.


***


Hari berlalu begitu cepat semenjak pagi di taman itu. Naya sudah keluar dari rumah sakit. Zam? Entah, Naya tidak melihatnya lagi. Bukankah ini yang dia inginkan? Lantas, kenapa diam-diam Naya mencari sosok Zam?


Seperti sore itu, ia sengaja datang ke rumah Zam. Kosong. Ia mengintip dari celah pagar. Tidak ada siapa-siapa. Mama Zam yang biasa menyiram bunga-bunganya di halaman rumah juga tidak terlihat. Naya pulang dengan muka masam.


Sore berganti malam ketika gerimis turun menghias malam. Naya membuka jendela kamarnya. Ia membatin, berjanji akan membalas jika Zam melambaikan tangan dari seberang. Tapi sayang, kamar Zam temaram. Sepertinya keluarga Zam tidak ada di rumah. Mungkin liburan? Ya, liburan. Kemungkinan itu cukup menghibur hatinya. Bukankah ini yang dia inginkan dari dulu? Kenapa saat Zam berada jauh darinya, ia malah berharap Zam ada di sampingnya sekarang? Naya tidak tahu harus menjawab yang mana. Yang ia tahu, ia hanya merindukan laki-laki itu. Bukan berarti ia berharap Zam kembali ke hidupnya.


***

“Pagi, Dok.” Naya menyapa ramah Dokter Elsa yang berdiri di dekat lobi rumah sakit. Dokter Elsa menoleh, tersenyum ganjil.

“Ada berita bagus untukmu, Sayang. Mari ke ruangan saya,” ucapnya menggandeng tangan Naya.


Naya duduk di kursi, menunggu Dokter Elsa yang mengambil entahlah dari lacinya. Dokter Elsa menyerahkan amplop cokelat besar, Naya sedikit ragu menerimanya. Alisnya berkerut.

“Ini apa, Dok?” tanyanya yang sudah menarik dua lembar kertas dari dalam amplop.

“Transplantansi jantung untuk kamu, Nay.” Dokter Elsa mendahului sebelum Naya membacanya. Naya terperangah, matanya membulat, mimik wajah yang penuh tanya. Dokter Elsa mengangguk, tersenyum ganjil lagi. Naya menangis penuh haru, air mata kebahagiaan.

“Kamu tandatangan di bawah ya. Operasi secepatnya akan dilakukan,” ujarnya seraya menyerahkan bolpen. Naya tanpa berpikir lagi langsung menandatanganinya. Ia kalap, ia seharusnya membuka kertas di belakangnya. Naya terlalu senang mendengar kabar ini. Sampai lupa menanyakan siapa pendonor jantung itu.


***

Operasi itu berjalan lancar. Tinggal menunggu Naya siuman. Tidak ada masalah berarti. Jantung itu cocok dengan Naya. Tuhan.. andai ia tahu ia sekarang bernapas dengan jantung siapa—


Naya baru sadar 24 jam setelah operasi itu. Persis saat gerimis turun, membuat pagi semakin berkabut. Dokter Elsa ada di ruangan itu. Sengaja membuka jendela. Ia tahu, Naya suka gerimis.

“Selamat pagi, Nay. Selamat datang di hari kamu yang baru.” Dokter Elsa mendekat, membelai kening gadis di hadapannya.

“Z-A-M—” Matanya menyapu sekitar, lemah suaranya memanggil nama itu. Panik. Ia kalap begitu menemukan Zam tidak ada di sana. Dokter Elsa menenangkan, menggamit kedua bahu Naya.

“Tenanglah, Nay. Dia tidak kemana-mana. Zam.. Dia ada di sini.” Dokter Elsa pelan menyentuh dada Naya. Ya, tanpa bertanya lagi, Naya mengerti maksud Dokter Elsa. Naya berontak, berteriak histeris, infus nyaris terlepas dari tangannya. Rambutnya berantakan, tidak ada yang bisa meredam kemarahan Naya. Tuhan, katakan kepadaku, kalau aku sedang bermimpi. Katakan kalau Zam masih menungguku. Yakinkan aku kalau aku masih bisa melihat lesung pipitnya!

***

Gerimis tetap setia menghias langit malam. Tidak sedikitpun berganti dengan hujan deras. Barangkali langit juga tahu kalau Naya suka gerimis. Ia duduk di bingkai jendela, matanya tak lepas dari jendela di seberang jalan. Ia dekap erat-erat bingkai sketsa di dadanya. Kamar itu tidak temaram lagi. Entah, siapa yang menempatinya sekarang. Masih kental di ingatan Naya, malam itu, gerimis seperti malam ini. Ia melihat Zam berdiri di sana, tersenyum manis, melambaikan tangan. Naya terpekur, menyadari kebodohannya. Kalau waktu bisa kembali, ia berjanji akan memperbaiki segalanya.




Tuhan...
Katakan kepadanya, aku ingin dia ada di hari-hariku..
Katakan kepadanya, aku ingin menghirup udara yang sama dengannya...
Katakan juga kalau aku ingin melewati waktu hanya bersamanya..
Tuhan..
Yakinkan kepadanya kalau aku tidak pernah membencinya,
Yakinkan kepadanya jikalau aku sangat mencintainya..
Kemarin, sekarang, dan untuk selamanya—
Jangan biarkan dia kehilangan senyumnya…





Selesai.Top of Form
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini