Cinta.
Adakah yang bisa memberitahuku,
Bagaimana ketika cinta datang,
Bagaimana cinta tumbuh di batas perbedaan.
Apakah ada yang bisa menunjukkan kepadaku,
Kalau cinta itu nyata di depan mata,
Kalau cinta bisa tergenggam,
Ketika cinta mempunyai semua jawaban,
Dari penantian panjang yang tak bertepi,
Dari malam-malam sepi yang datang merangkai kerinduan,
Dari air mata yang buncah,
Cinta..
Ketika menantimu adalah nyawa bagiku,
Aku tidak akan berhenti sekarang,
Aku akan hidup lebih lama untuk sadar,
Bahwa cinta yang kutunggu datang,
Tepat ketika aku harus kembali..
Adakah yang bisa memberitahuku,
Bagaimana ketika cinta datang,
Bagaimana cinta tumbuh di batas perbedaan.
Apakah ada yang bisa menunjukkan kepadaku,
Kalau cinta itu nyata di depan mata,
Kalau cinta bisa tergenggam,
Ketika cinta mempunyai semua jawaban,
Dari penantian panjang yang tak bertepi,
Dari malam-malam sepi yang datang merangkai kerinduan,
Dari air mata yang buncah,
Cinta..
Ketika menantimu adalah nyawa bagiku,
Aku tidak akan berhenti sekarang,
Aku akan hidup lebih lama untuk sadar,
Bahwa cinta yang kutunggu datang,
Tepat ketika aku harus kembali..
“Uhh.. So sweetnya.” Seseorang dari
belakang setengah menyeringai dari balik kursi menggodanya. Naya tidak sadar
lima menit yang lalu laki-laki itu datang, lantas diam mengamatinya yang sedang
menulis.
“Lancang!” Naya menutup bukunya dengan
kesal. Ia meraih tas, bersiap pergi. Ia teramat benci dengan si perusak suasana
yang satu ini. Namun langkahnya terhenti saat laki-laki itu sengaja menghalangi
jalannya.
“Zam!” bentaknya mendorong mundur Zam.
“Aku antar pulang ya?” Zam meraih
tangan Naya, menghentikan langkahnya lagi. Naya menoleh tajam, Zam tanpa menunggu
dibentak lagi langsung melepaskan tangannya.
“Aku masih ingat jalan pulang.” Naya
melangkah, berkata tanpa menoleh lagi. Andaikan ia mau menoleh sebentar saja,
ia akan tahu, ia akan melihat cinta itu amat nyata. Ia akan melihat Zam tetap
tersenyum di sana. Bertahun-tahun sudah ia menerima sikap acuh tak acuh Naya.
***
Malam semakin larut ketika kamar di
lantai dua itu masih diterangi cahaya lampu. Ia yang sedang duduk tercenung,
tangannya menggurat pelan di atas selembar kertas putih. Di luar sedang hujan
gerimis, tapi ia membiarkan jendela di kamarnya terbuka lebar. Semilir angin
berhembus masuk, membelai rambut panjang yang terurai indah. Naya tetap fokus
dengan sketsa wajah di hadapannya. Matanya menatap berbinar, sangat kontras
dengan wajahnya yang pucat. Sketsa itu hampir selesai, tinggal menambahkan dua
lesung pipit di kedua pipinya. Bukan hanya sekali ini, bertahun-tahun ia rutin
melakukannya.
Ia bangkit, melangkah, bermaksud
menutup jendela. Ia menyempatkan sejenak menatap langit gelap tak berbintang.
Gerimis masih turun. Sudahlah. Ia memutuskan untuk berhenti menatap langit,
meraih pengait gorden. Tepat ketika gorden belum sempurna tertutup, ia melihat
wajah itu. Sekecil apapun senyum itu terlihat, hatinya jauh lebih kuat
merasakan getaran itu. Naya langsung menutup gorden rapat-rapat saat tangan itu
melambai kepadanya. Tuhan, ia tidak
pernah siap dengan semua perasaan ini.
***
Malam yang sama. Waktu yang sama.
Hanya berjarak lima puluh meter dari rumah Naya. Laki-laki itu berdiri di dekat
jendela. Pikirannya melayang entah kemana. Senyap. Hatinya senyap oleh
perasaan-perasaan yang belum terjelaskan. Mata beningnya menatap langit gelap
tak berhias bintang dan bulan. Gerimis turun bersama derai angin yang berhembus
syahdu, membuat embun di jendela kaca itu. Ia menempelkan telapak tangannya,
dingin menjalar cepat. Sedingin hatinya saat ini. Pandangannya segera teralih
ke jendela di seberang jalan. Ia melihat gadis itu berdiri di sana. Melakukan
hal yang sama dengan dirinya, menatap langit. Ia mengembangkan senyum, membuat
kedua lesung pipitnya terlihat amat jelas. Ia membuka jendela, hatinya mencair
seketika, ia mengangkat sebelah tangan, menggerakkan pelan jarinya. Naya
menutup gordennya dengan sebal. Zam tidak heran lagi melihat Naya bersikap
seperti ini. Ia sudah hafal di luar kepala. Zam tetap tersenyum di sana.
***
“Aduh, maaf.” Zam tak sengaja
menabrak Naya, mereka sama-sama terburu-buru. Jadi tak sengaja, tak terlalu
memperhatikan jalan. Naya juga tidak akan membentak Zam kali ini.
“Aku yang harusnya minta maaf,” ucap
Naya yang langsung jongkok memunguti buku-bukunya yang terjatuh. Zam ikut
berjongkok, membantu mengais secarik kertas yang jatuh terpisah. Zam sungguh
tidak akan pernah membayangkan apa yang akan ia ketahui pagi ini. Semalam ia
bahkan tidak bermimpi apapun. Zam menatap kertas putih itu, menatap sketsa
wajahnya sendiri. Apa maksud dari semua
ini? Lama ia tergugu. Tidak menyadari Naya yang berlari seraya menahan
tangis.
***
Zam memberanikan diri mengetuk pintu.
Ia sudah siap dengan apa yang akan ia hadapi. Pintu terbuka. Zam segera
berbalik. Naya terdiam di bawah bingkai pintu, menatap tangan Zam yang
menggenggam kertas putih. Tuhan, ia tidak
akan pernah siap mengatakannya, ia tidak siap menghadapinya.
Benar saja, baru selangkah Zam maju,
mulutnya hendak berkata, pintu itu tertutup. Zam sempat menahan agar pintu
tetap terbuka, tapi Naya tidak akan membiarkan.
“Nay, aku butuh penjelasan. Tolong,
katakan apa saja yang bisa membuatku yakin dan percaya kalau kamu merasakan apa
yang aku rasakan.” Zam berhenti bicara saat pintu sempurna tertutup. Ia
menghantam pintu dengan kesal. Tapi ia tahu, Naya masih di sana, menangis
tersedu. Zam menempelkan keningnya di daun pintu. Membujuk Naya sekali lagi.
“Aku mohon, Nay.. Jangan siksa aku
dengan perasaan ini.”
“Pergi! Aku nggak mau lihat kamu lagi!”
Naya berteriak parau.
“Aku nggak akan pergi. Aku akan
menunggu sampai kamu mengatakannya—” Kalimat itu terpotong begitu saja, karena
Naya tiba-tiba membuka pintu. Ia merebut kertas itu, merobeknya sembarangan,
dan melemparkannya ke wajah Zam. Naya menangis, berlari ke kamarnya. Tuhan, ini kesalahan terbodoh dalam
hidupnya.
***
Cinta..
Andai aku mempunyai waktu lebih lama,
Andai waktu tidak berjalan begitu cepat,
Aku mulai menyadari,
Kalau aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita.
Tidak akan ada cerita di antara kita.
Karena waktu tidak akan membingkainya dalam kenangan,
Karena waktu tidak bersama kita,
Tuhan..
Setiap tetes air mata
Setiap harapan yang memenuhi hidupku
Malam-malam penuh sesak
Semua terjadi sejak aku mengenalnya
Jika waktu tidak untuk kami
Biarlah ia mencari jalannya sendiri
Dan biarkan aku tetap di sini
Mengenang waktu yang pernah ada
Meskipun itu hanya sebentar..
Andai aku mempunyai waktu lebih lama,
Andai waktu tidak berjalan begitu cepat,
Aku mulai menyadari,
Kalau aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita.
Tidak akan ada cerita di antara kita.
Karena waktu tidak akan membingkainya dalam kenangan,
Karena waktu tidak bersama kita,
Tuhan..
Setiap tetes air mata
Setiap harapan yang memenuhi hidupku
Malam-malam penuh sesak
Semua terjadi sejak aku mengenalnya
Jika waktu tidak untuk kami
Biarlah ia mencari jalannya sendiri
Dan biarkan aku tetap di sini
Mengenang waktu yang pernah ada
Meskipun itu hanya sebentar..
“Naya.. Jangan terlalu banyak aktivitas
dulu.” Dokter Elsa mengingatkan, tersenyum, membantu Naya menyingkirkan
bukunya.
“Cuma nulis sedikit kok.” Naya manyun,
tidak bisa berbuat apa-apa. Dua hari yang lalu ia menginap di ruangan ini. Dua
hari setelah peristiwa pagi itu.
“Dok, kapan saya bisa pulang?” Naya
bertanya, Dokter Elsa menghela napas. Sejak dua hari di sini, sudah lima kali
Naya bertanya hal yang sama. Dan ini yang keenam.
“Tunggu beberapa hari lagi ya.
Sampai semuanya membaik.” Dokter Elsa tersenyum, sedikit berbohong. Keadaan
Naya sebenarnya jauh dari kata baik. Harapannya kecil sekali. Tapi mana tega
Dokter Elsa mengatakannya, itu hanya akan membuat pasien kesayangannya depresi.
Akhir-akhir ini Dokter Elsa sering mendengar Naya mengigau, menyebut-nyebut
nama “Zam”. Tapi ia tidak ingin menanyakan ini pada Naya, ia takut akan
memperburuk keadaan.
“Dokter, keadaan gawat darurat!”
Seorang suster masuk tanpa mengetuk, tergesa memberitahu. Dokter Elsa
mengangguk, seperti sudah tahu tanpa penjelasan mendetail. Setelah Dokter Elsa
berpamitan, ia segera mengikuti langkah suster tadi. Malam itu, lorong rumah sakit itu rusuh.
***
Dokter Elsa cekatan membersihkan
darah dari luka menganga di kepala pasiennya. Setelah bersih, ia telaten
menjahit luka-luka. Serta membebat tangan kanan pasiennya yang mengalami patah
tulang serius. Tidak berhenti di situ, kaki pemuda itu juga harus digips.
Dokter Elsa menarik napas panjang, melihat pemuda yang malang itu penuh dengan
jahitan dan bebatan. Suster di sampingnya juga ikut menghela napas. Tidak ada
yang tahu persis kapan pemuda ini akan siuman. Mesin pengontrol detak jantung
berdenting naik-turun.
“Nama pemuda ini siapa, Sus?” Dokter
Elsa bertanya, tangannya mengisi kertas entahlah.
“Zam Putra.” Suster itu membaca
sesuai dengan kartu identitas di tangannya.
***
Diam-diam Naya memendam rasa rindu
itu. Ia rindu senyuman itu. Ia rindu melihat binar matanya. Ia rindu melihat
lesung pipitnya—
“Pagi, Nay..” Suara Dokter Elsa
membuyarkan lamunannya. Naya sedikit terkejut, biasanya suster yang
mengantarkan sarapannya. Tapi kali ini berbeda.
“Kenapa? Aneh ya?” Dokter Elsa
tersenyum, seolah mengerti isi pikiran Naya. Baru saja Dokter Elsa meletakkan
nampan di atas meja, panggilan darurat itu berbunyi. Dokter Elsa berpamitan, meminta
maaf tidak bisa menemaninya sarapan. Naya hanya mengangguk.
Ia merasa bosan berdiam diri di
ruangan itu, Naya memutuskan bangkit dari ranjangnya. Ia berjalan tertatih
menyusuri setiap koridor, menenteng infusnya. Ia kesepian. Menolak ketika
beberapa suster menawarkan bantuan. Ia ingin sendiri. Ia sudah terbiasa sendiri.
Tidak, ia lupa. Sungguh, ia mempunyai seorang malaikat. Sayangnya ia belum mau
mengakui apa yang seharusnya ia akui.
Naya berhenti sejenak mengambil
napas. Ia duduk di salah satu kursi dekat lobi. Matanya memicing saat melihat
beberapa suster bergegas mendorong ranjang pasien. Bukan keributan itu yang
menarik perhatiannya. Ia mencari pegangan untuk membantunya berdiri. Ranjang
itu semakin dekat dari tempat ia duduk. Tuhan,
ia tidak pernah tahu apa yang akan ia lihat. Naya gemetar, berdiri sempoyongan.
Bibirnya bergetar, satu denting air mata menetes begitu saja. Ranjang itu tepat
melintas di depan matanya. Jantungnya seperti lupa berdetak.
“ZAM!! ZAM!!!” Naya berteriak,
tangannya menggapai udara. Ia ingin berlari, tapi ia jatuh tersungkur. Berdebam
di lantai itu. Dokter Elsa yang berjalan di belakang, kaget bukan kepalang
melihat Naya tersungkur di sana. Ia membantu Naya berdiri, bertanya apakah ada
yang sakit. Naya menggeleng.
“Zam, Dok! Selamatkan dia, Dokter!”
Naya semakin terisak, menggenggam lengan Dokter Elsa. Naya tahu, meski hanya
melihat sambil lalu. Naya juga tahu kalau ranjang itu didorong ke ruang ICU.
Dokter Elsa harus cepat menyusul ke ruang ICU, memberi isyarat ke suster
penjaga untuk menenangkan Naya.
***
Ia tetap terjaga dalam senyapnya
malam. Tidak ada alasan untuk menutup matanya. Naya sedang risau memikirkan
keadaan Zam. Ia takut kehilangan malaikatnya.
Naya berdiri tegap di depan pembatas
kaca ruang ICU. Ia tidak berani masuk ke sana. Ia belum siap.
“Bangun, Zam. Aku, aku butuh kamu..”
ucapnya lirih. Air mata menetes pelan.
“Aku ingin mengulangi hari-hari
bersama kamu, Zam. Melihat kamu yang menyebalkan.” Naya jatuh terduduk di
lantai, memeluk kedua lututnya.
“Naya.. Kamu di sini?” Wanita
separuh baya menyentuh bahunya dari belakang.
Naya mendongak, melihat Mama Zam sudah berdiri
di sampingnya.
“Tante..” ucap Naya parau.
“Ayo masuk, Sayang. Zam pasti akan senang
sekali kamu menjenguknya.” Mama Zam mengulurkan tangan, membantu Naya berdiri.
Naya menelan ludah, ia berjalan di belakang. Membiarkan Mama Zam yang membuka pintu.
Naya menelan ludah, ia berjalan di belakang. Membiarkan Mama Zam yang membuka pintu.
“Duduklah Nay, ada sesuatu yang
ingin Tante bicarakan,” ucapnya menarik kursi. Naya yang mematung cukup jelas
mendengar perintah itu. Pelan-pelan ia duduk di samping ranjang. Ia ingin
memejamkan mata atau sekadar memalingkan wajah. Ia tak sanggup melihat Zam
seperti ini. Mama Zam diam, menunggu tangisan Naya reda.
“Bagaimana mungkin kamu
mengingkarinya?” Mama Zam lima menit kemudian membuka mulut. Bertanya seraya
membelai rambut Naya yang hitam legam.
Diam. Naya hanya diam. Bukan karena
ia tidak tahu jawabannya. Ia sangat tahu. Tapi ia tak mampu mengatakannya.
Terlalu banyak penyesalan-penyesalan. Naya tertunduk.
“Bagaimana mungkin kamu tidak
mengakui apa yang seharusnya kamu akui?” Mama Zam bertanya lagi. Diam. Lagi-lagi
yang ditanya hanya diam menangis.
“Zam berhak tahu semuanya, Nay.
Sampai kapan kamu akan diam dan berpura-pura menolaknya selama ini? Apa, apa
yang harus Zam lakukan untuk membuat kamu percaya?” Pertanyaan ketiga yang
terlontar. Mama Zam menyeka sudut matanya. Masalah ini cukup menguras emosinya.
Wajar saja, selama bertahun-tahun, Mama Zam diam-diam ikut melihat dan
mendengar. Ia tahu semuanya.
Naya menatap tubuh Zam di ranjang di
hadapannya. Air mata mengalir deras, jatuh menetes di lengan Zam. Ia tidak
mengabaikan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia tidak tahu bagaimana cara
menjawabnya. Hatinya kacau. Mama Zam menghela napas, mengeluarkan sebuah
bingkai berukuran cukup besar dari dalam tasnya. Dengan pelan ia menyodorkan
bingkai itu ke depan Naya.
“Lihat, Nay. Semalaman suntuk Zam
menyatukan bagian-bagian sketsa yang telah kamu sobek. Zam cerita ke Tante,
kamu yang menggambar ini. Andai kamu tahu betapa bahagianya Zam memiliki sketsa
ini.” Mama Zam menjelaskan atas apa yang ia lihat beberapa hari yang lalu.
Tangannya gemetar menyentuh kaca bingkai.
Ia masih ingat ketika ia dengan tega merobek sketsa itu demi gengsinya. Mama
Zam mundur, duduk di sofa belakang Naya, melepas kacamatanya.
“Malam itu, entah dari mana Zam tahu
kamu di sini, dia begitu panik. Tante sudah mengingatkan kalau di luar hujan
deras. Tapi dia tidak peduli.” Mama Zam memulai ceritanya. Naya mendekap
bingkai di dadanya.
“Tidak pernah terbersit sedikitpun
di pikiran Tante, Nay, kalau keadaan akan seperti ini. Beruntung sekali Zam
masih bisa bernafas sampai sekarang. Mungkin dia juga bisa melihat kamu duduk
di sampingnya, menangis untuknya.” Beliau menyeka sudut mata dengan saputangan.
Naya terisak, semakin erat memeluk bingkai itu. Apa yang sudah ia lakukan? Ia tak pernah bermaksud menyakiti Zam
dengan penolakan-penolakan itu. Naya tidak ingin Zam kecewa. Dan ternyata
caranya salah, Zam tetap bersabar mendekatinya.
“Dokter bilang Zam koma. Kecelakaan
itu tidak ringan, Nay. Bagaimana mungkin Zam selamat dari hantaman pohon besar
yang tumbang? Bagaimana ia bisa bertahan? Demi kamu, Nay! Karena pada akhirnya
dia ada di rumah sakit ini.” Mama Zam melanjutkan, suaranya tegas, namun
terdengar serak. Naya bergeming, memandang wajah yang pucat yang dipasangi alat
bantu pernapasan. Ia juga tidak pernah menginginkan ini terjadi. Selama ini ia
hanya ingin menghindar dari Zam, tapi ia tidak tahu akan membuat Zam seperti
ini.
Naya tertekan. Tiba-tiba peluh
dingin membasahi kening dan pelipisnya, kepalanya tertunduk, menggigit bibir
kuat-kuat. Dada sebelah kirinya sakit, berdenyut nyeri. Sekuat mungkin ia tidak
menunjukkan rasa sakitnya di depan Mama Zam. Ingin rasanya ia berlari keluar,
tangannya mencengkeram seprei untuk membantunya berdiri. Ya, Naya lega. Ia
sudah bersiap melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Dan.. Hap! Dokter Elsa
menangkap tubuh Naya yang ambruk. Mama Zam terperanjat dari duduknya. Dokter
Elsa bergegas membopong tubuh Naya dengan beberapa suster. Mama Zam hendak
melangkah keluar, terpaksa menghentikan kakinya. Ia melihat jari tangan Zam
bergerak perlahan.
***
Naya kembali terbaring di ranjangnya.
Dokter Elsa selesai ‘mengurus’ Naya. Ia membenahi selimut Naya, meletakkan
bingkai sketsa—yang tadi didekap Naya—di meja samping ranjang. Naya mengalami
shock kecil, dan itu membuat keadaan jantungnya memburuk. Dokter Elsa tidak
bisa membayangkan jika jantung Naya berhenti berdetak. Ia sudah menganggap
gadis itu seperti anaknya sendiri.
***
“Subhanallah, Zam!” Wanita separuh
baya itu menghambur ke ranjang. Zam mengerjapkan mata, silau dengan lampu
ruangan. Mamanya mendekap anaknya penuh haru, menangis.
“N-a-y-a,” ucapnya terbata, matanya
berusaha menyapu sekitar. Ia bisa merasakan kehadiran Naya di sini. Ya, di
sini. Ia sungguh yakin Naya ada di sini.
“Ini Mama, Nak.” Mama Zam mencoba
mengalihkan perhatian, mengusap-usap kening Zam. Namun gagal.
“Naya...” Sekali lagi ia menyebut
nama itu. Hanya satu nama itu yang memenuhi otaknya. Merasa tidak mendapat
jawaban dari mamanya, Zam mencoba bangun. Sakit. Ia merintih. Sekali lagi
mencoba bangkit. Sakit. Tulangnya nyeri. Ia mendesah kesal.
“Jangan banyak bergerak dulu, Zam.
Soal Naya, ya, tadi dia ada di sini. Mama sudah mengatakan semuanya dan…”
“Sekarang dia di mana, Ma? Zam
pengen ketemu dia. Naya baik-baik aja kan, Ma?” Zam antusias bertanya, suaranya
serak, seperti lupa dengan keadaan kaki dan tangannya. Mamanya hanya
menggeleng. Zam mengernyitkan dahi, menatap lurus ke atas.
“Mama cerita apa ke Naya?” tanyanya
tanpa menoleh.
“Mama mengatakan apa yang Mama lihat
dan dengar selama ini. Dan sketsa itu, Mama sudah mengembalikannya kepada Naya.”
Ujarnya berterus terang. Zam nampak kecewa, mengatupkan matanya.
“Zam mencintainya dengan tulus, Ma.
Aku nggak mau Naya menerimaku hanya karena terpaksa, apalagi karena setelah
mendengar cerita Mama.” Zam berkata dengan parau.
“Mama tidak tega melihat kamu
terus-terusan seperti ini. Kamu mengejar-ngejarnya, seolah tidak ada lagi
perempuan di dunia ini selain Naya. Semua itu untuk apa, Zam?” Mamanya mulai
terpancing emosi. Ia tidak membenci Naya. Ia hanya tidak suka dengan cara Zam
mencintai gadis itu.
“Dengan mencintai Naya, aku merasa
sempurna, Ma. Aku nggak bisa hidup tanpa Naya,” ujarnya keukeuh.
“Hentikan omong kosongmu, Zam!”
Mamanya membentak. Zam bungkam seketika, menghela napas. Mamanya memang keras
kepala.
“Maaf,” ucap seseorang dari bingkai
pintu. Membuat ketegangan antara ibu dan anak itu melumer. Mama Zam segera
tanggap, melangkah keluar, mengangguk, mempersilakan Dokter Elsa memeriksa
keadaan Zam.
“Jangan banyak bergerak ya. Nanti
jahitannya bisa lepas. Tunggu sampai lukanya mengering.” Dokter Elsa tersenyum
setelah menyuntikkan obat entahlah ke tabung infus. Zam mengangguk lemah.
“Naya akan senang sekali jika
melihat kamu cepat pulih.” Dokter Elsa membereskan alat-alatnya, sengaja sekali
menyebut nama Naya di depan Zam.
“Apa, Dok?” tanya Zam membulatkan
mata. Dokter ini bilang tentang Naya?
Astaga..
“Naya sedang tidur di ruangannya.
Jangan khawatir.” Dokter Elsa tersenyum, berpamitan. Hati Zam mengembang
sekejap, ia lega, melupakan soal bagaimana Dokter itu tahu kalau ia sedang
mengkhawatirkan Naya.
***
Siang yang mendung. Naya terbangun
dari tidurnya setelah mendengar petir menggelegar. Gorden di ruangannya
melambai tersapu angin. Ia jadi ingat dengan jendela di kamarnya. Malam itu,
ketika gerimis turun, ia berdiri di dekat jendela, menatap langit gelap. Ia
rindu rumahnya. Ia rindu suasana kala itu. Saat Zam tersenyum kepadanya kala
itu di seberang jendela. Naya menyeka hidungnya. Di luar gerimis mulai turun,
angin berderak melambat. Naya menatap kosong ke arah jendela di sampingnya. Ia
merasa kesepian tanpa Zam di hidupnya, walau hanya sementara. Namun, ia baru
menyadari, ia ingin selalu berada di dekat laki-laki itu. Menghirup udara yang
sama. Dalam waktu yang sama.
Naya mengambil buku catatannya di
laci meja. Ia ingin menumpahkan semuanya di buku itu. Tangannya perlahan mulai
merangkai kata, bolpen di tangannya bergetar. Ia terus menguatkan hatinya. Ia
tidak pernah takut dengan penyakitnya. Ia harus menulis sekarang. Mencoba
mengabaikan jantung kirinya yang berdenyut nyeri. Bolpen itu akhirnya terlepas
dari genggamannya.
Naya meremas selimutnya yang tebal,
jantungnya bagai ditusuk. Ia menjatuhkan diri ke atas bantal, memejamkan mata
dan menggigit bibirnya untuk mengurangi rasa sakit. Seorang suster yang datang
membawa nampan berisi makanan, terbelalak melihat Naya yang kesakitan. Nampan
itu jatuh di lantai, bergemirincing nyaring. Suster berlari keluar, memanggil
dokter.
***
Perkembangan kesehatan Zam sungguh
teramat pesat. Dokter Elsa nyaris tidak percaya ini, tidak salah ia menyebut
nama Naya waktu itu. Nyatanya bisa berdampak baik untuk kemajuan Zam. Gips itu
sudah dilepas dari kakinya, tangannya juga sudah bisa digunakan dengan normal.
Kini tinggal bebatan di kepalanya yang belum dilepas. Selama seminggu pula ia
memendam rindu pada Naya. Terkadang ia akan bertanya keadaan Naya pada Dokter
Elsa. Dan dokter itu selalu tersenyum, mengatakan kalau Naya sehat-sehat saja.
Jawaban itu tentu saja kebohongan belaka. Kenyataan yang sengaja
ditutup-tutupi. Dokter Elsa tidak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti
permintaan Naya untuk menyembunyikan tentang penyakitnya.
***
“Apa kabar?” Ya, pagi yang cerah ini
Zam berjalan ke taman samping rumah sakit. Ia menyapa gadis yang duduk
bersandar di kursi taman. Naya menoleh, serba canggung, ia harus menjawab apa? Tapi, ia senang melihat Zam sudah membaik,
meski jalannya masih tertatih. Zam duduk di sisi kursi, agak berjauhan dari
tempat Naya duduk.
“Emm..” Suara itu secara bersamaan
terlontar. Mereka saling toleh. Tidak habis pikir.
“Kamu duluan..” Zam tersenyum
mengalah.
“Nggak. Kamu duluan aja..” Naya
membuang muka, takut Zam melihat pipinya yang bersemu merah. Zam diam, menunggu
sampai Naya yang memulai percakapan di antara mereka. Ia tahu dari mata gadis
itu, ada hal yang ingin diceritakan.
“Aku minta maaf, Zam. Semua
perlakuanku kepadamu selama ini. Dan kecelakaan itu juga aku yang menyebabkan.”
Naya mulai menangis. Zam cepat menyentuh bahunya.
“Bukan, ini semua bukan salah kamu,
Nay. Jadi, tolong, sedikitpun jangan pernah berpikiran seperti itu lagi.” Zam
meyakinkan gadis di hadapannya.
“Andai sejak awal kamu tidak datang
dalam hidupku. Andai aku bisa memutar semuanya, aku ingin...” ucap Naya menepis
tangan Zam dari bahunya.
“Ingin apa?” tanya Zam setelah Naya
tidak meneruskan kalimatnya.
“Seharusnya kita tidak perlu saling mengenal.
Untuk apa kita bertemu, jika hanya untuk tahu bagaimana cara melupakan.” Naya
menyibak rambut panjangnya, menengadah, menahan air matanya yang akan tumpah.
“Aku hanya ingin melewati
hari-hariku bersamamu. Menghirup udara yang sama denganmu. Melewati waktu yang
sama. Aku tak peduli, Nay. Sekeras apapun kamu menolakku. Aku tetap di sini.
Menunggu sampai kamu mengatakan semuanya.” Zam menyeka hidungnya, sesak
memenuhi dadanya. Bagaimana mungkin gadis
di sampingnya berputus asa?
“Kamu salah besar, Zam. Hidupmu
terlalu berharga untuk menunggu jawaban dari gadis penyakitan sepertiku. Apa
yang kamu harapkan dariku tidak akan pernah menjadi nyata. Hari, udara, dan
waktu kita berbeda jauh.” Tangisnya pecah sudah, merambat turun di pipi. Pagi
yang cerah dengan cepat berganti mendung. Ia sadar, lagi-lagi ia menyakiti hati
Zam. Toh, pada akhirnya semua ini akan terbukti. Mengatakan sekarang atau nanti
apa bedanya.
“Beri aku kesempatan, Nay. Beri aku
waktu untuk—” Zam bangkit dari duduknya, bersimpuh di depan Naya, menggenggam
tangan gadis itu. Sungguh, apapun yang akan Zam lakukan sekarang tidak akan
membuat Naya berubah pikiran.
“Lepas, Zam!” Naya menarik
tangannya. Zam menurut. Naya jatuh terduduk di depan Zam.
“Aku mohon, lupakan aku.” Naya
memeluk Zam untuk pertama kalinya. Dan mungkin untuk yang terakhir.
“Aku tahu semuanya, Nay. Kenapa kamu
takut? Ada aku di sini. Seribu kali kamu menyuruhku pergi. Maka semakin tegap
aku berdiri di sampingmu.” Zam berbisik lirih, membalas pelukan gadis itu. Naya
tertegun. Bagaimana mungkin Zam tahu
semuanya?
“Hidupmu bukan di sini, Zam. Bukan
di sampingku. Bukan untuk menemani sisa-sisa hariku. Bukan untuk menyaksikan
kematianku.” Naya sesenggukan, jatuh menangis di pundak Zam. Hujan deras yang turun
seolah ikut menangis untuk mereka berdua.
***
Hari berlalu begitu cepat semenjak
pagi di taman itu. Naya sudah keluar dari rumah sakit. Zam? Entah, Naya tidak
melihatnya lagi. Bukankah ini yang dia
inginkan? Lantas, kenapa diam-diam Naya mencari sosok Zam?
Seperti sore itu, ia sengaja datang
ke rumah Zam. Kosong. Ia mengintip dari celah pagar. Tidak ada siapa-siapa.
Mama Zam yang biasa menyiram bunga-bunganya di halaman rumah juga tidak
terlihat. Naya pulang dengan muka masam.
Sore berganti malam ketika gerimis
turun menghias malam. Naya membuka jendela kamarnya. Ia membatin, berjanji akan
membalas jika Zam melambaikan tangan dari seberang. Tapi sayang, kamar Zam
temaram. Sepertinya keluarga Zam tidak ada di rumah. Mungkin liburan? Ya, liburan. Kemungkinan itu cukup menghibur
hatinya. Bukankah ini yang dia inginkan
dari dulu? Kenapa saat Zam berada jauh darinya, ia malah berharap Zam ada di
sampingnya sekarang? Naya tidak tahu harus menjawab yang mana. Yang ia
tahu, ia hanya merindukan laki-laki itu. Bukan berarti ia berharap Zam kembali
ke hidupnya.
***
“Pagi, Dok.” Naya menyapa ramah
Dokter Elsa yang berdiri di dekat lobi rumah sakit. Dokter Elsa menoleh,
tersenyum ganjil.
“Ada berita bagus untukmu, Sayang.
Mari ke ruangan saya,” ucapnya menggandeng tangan Naya.
Naya duduk di kursi, menunggu Dokter
Elsa yang mengambil entahlah dari lacinya. Dokter Elsa menyerahkan amplop
cokelat besar, Naya sedikit ragu menerimanya. Alisnya berkerut.
“Ini apa, Dok?” tanyanya yang sudah
menarik dua lembar kertas dari dalam amplop.
“Transplantansi jantung untuk kamu,
Nay.” Dokter Elsa mendahului sebelum Naya membacanya. Naya terperangah, matanya
membulat, mimik wajah yang penuh tanya. Dokter Elsa mengangguk, tersenyum
ganjil lagi. Naya menangis penuh haru, air mata kebahagiaan.
“Kamu tandatangan di bawah ya. Operasi
secepatnya akan dilakukan,” ujarnya seraya menyerahkan bolpen. Naya tanpa
berpikir lagi langsung menandatanganinya. Ia kalap, ia seharusnya membuka
kertas di belakangnya. Naya terlalu senang mendengar kabar ini. Sampai lupa
menanyakan siapa pendonor jantung itu.
***
Operasi itu berjalan lancar. Tinggal
menunggu Naya siuman. Tidak ada masalah berarti. Jantung itu cocok dengan Naya.
Tuhan.. andai ia tahu ia sekarang bernapas
dengan jantung siapa—
Naya baru sadar 24 jam setelah operasi
itu. Persis saat gerimis turun, membuat pagi semakin berkabut. Dokter Elsa ada
di ruangan itu. Sengaja membuka jendela. Ia tahu, Naya suka gerimis.
“Selamat pagi, Nay. Selamat datang di
hari kamu yang baru.” Dokter Elsa mendekat, membelai kening gadis di
hadapannya.
“Z-A-M—” Matanya menyapu sekitar, lemah
suaranya memanggil nama itu. Panik. Ia kalap begitu menemukan Zam tidak ada di
sana. Dokter Elsa menenangkan, menggamit kedua bahu Naya.
“Tenanglah, Nay. Dia tidak kemana-mana.
Zam.. Dia ada di sini.” Dokter Elsa pelan menyentuh dada Naya. Ya, tanpa
bertanya lagi, Naya mengerti maksud Dokter Elsa. Naya berontak, berteriak
histeris, infus nyaris terlepas dari tangannya. Rambutnya berantakan, tidak ada
yang bisa meredam kemarahan Naya. Tuhan,
katakan kepadaku, kalau aku sedang bermimpi. Katakan kalau Zam masih
menungguku. Yakinkan aku kalau aku masih bisa melihat lesung pipitnya!
***
Gerimis tetap setia menghias langit
malam. Tidak sedikitpun berganti dengan hujan deras. Barangkali langit juga
tahu kalau Naya suka gerimis. Ia duduk di bingkai jendela, matanya tak lepas
dari jendela di seberang jalan. Ia dekap erat-erat bingkai sketsa di dadanya. Kamar
itu tidak temaram lagi. Entah, siapa yang menempatinya sekarang. Masih kental
di ingatan Naya, malam itu, gerimis seperti malam ini. Ia melihat Zam berdiri
di sana, tersenyum manis, melambaikan tangan. Naya terpekur, menyadari
kebodohannya. Kalau waktu bisa kembali, ia berjanji akan memperbaiki segalanya.
Tuhan...
Katakan kepadanya, aku ingin dia ada di hari-hariku..
Katakan kepadanya, aku ingin menghirup udara yang sama dengannya...
Katakan juga kalau aku ingin melewati waktu hanya bersamanya..
Tuhan..
Yakinkan kepadanya kalau aku tidak pernah membencinya,
Yakinkan kepadanya jikalau aku sangat mencintainya..
Kemarin, sekarang, dan untuk selamanya—
Jangan biarkan dia kehilangan senyumnya…
Katakan kepadanya, aku ingin dia ada di hari-hariku..
Katakan kepadanya, aku ingin menghirup udara yang sama dengannya...
Katakan juga kalau aku ingin melewati waktu hanya bersamanya..
Tuhan..
Yakinkan kepadanya kalau aku tidak pernah membencinya,
Yakinkan kepadanya jikalau aku sangat mencintainya..
Kemarin, sekarang, dan untuk selamanya—
Jangan biarkan dia kehilangan senyumnya…
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar