Rabu, 26 Desember 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 11)


(Bukan) Cinta Terlarang



“Mama mau apa?” tanyaku curiga melihat gelagat Mama yang kalap memencet ponselnya.

“Mama!” sergahku, menarik lengannya. Mama mengibaskan tanganku.

“Mama akan telepon polisi untuk menyeret perempuan itu ke penjara. Dia pikir, dia bisa lari begitu saja!” ucap Mama berapi-api. Perempuan itu? Mita?

“Halo,” Mama menyapa setelah menunggu sekian detik. Aku menelan ludah. Aku mundur teratur, berbalik, berlari meninggalkan rumah sakit. Aku harus bisa memastikan Mita aman di manapun ia berada sekarang.


***

Mita tidak main-main dengan perkataannya tempo hari. Ia pergi menghilang begitu saja, tanpa jejak. Aku sudah bertanya ke petugas apartemen, ke siapa saja, termasuk satpam apartemen. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Mita. Aku harus mencarimu kemana lagi? Sebuah tempat terlintas dalam otakku. Kuburan itu. Ya, pasti Mita ada di sana. Aku segera melajukan mobilku, menerabas gerimis yang turun.


Pemakaman itu selalu sepi. Aku memarkirkan mobilku sembarangan. Tidak ada tanda-tanda Mita berada di sana. Tapi aku tetap tertarik untuk turun. Melangkah mendekat pusara itu. Aku heran melihat taburan bunga yang masih segar. Ini artinya Mita datang ke sini, dan aku terlambat. Aku mengedarkan pandanganku, memutar tubuhku, tidak ada siapa-siapa kecuali bunga kamboja yang gugur diterpa angin.

“Ikmal?” Suara itu dari belakangku. Aku menoleh, sangat kenal siapa pemilik suara itu.

“Mita? Kau ada di sini? Sejak kapan? Aku tidak melihat siapa-siapa sejak tadi,” ucapku mengerutkan dahi. Bagaimana ia bisa muncul secara tiba-tiba? Jatuh dari langit? Lupakan.

“Sekarang lihat kan?” tanyanya diplomatis. Aku mengangguk. Nyaris aku melangkah mendatanginya.

“Jangan mendekat, sedikit pun, jangan. Berhenti di sana.” Mita menunjuk tempat aku berdiri sekarang. Aku menurutinya.

“Kau mau tahu satu hal, Ikmal?” ucap Mita dengan nada serius. Aku melipat dahi.

“Apa?” sahutku cepat.

“Sungguh? Kau siap mendengarnya?” Mita sengaja mengulur waktu, membuatku semakin penasaran. Apa yang sebenarnya akan ia katakan?

Mita tersenyum amat ganjil. Aku tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan.

“Aku yang ada di ruangan Papamu. Hanya aku,” ucap Mita datar. Wajah itu berubah seketika.

“Iya, aku tahu itu.” Aku bingung, ia tidak perlu mengatakannya pun aku sudah tahu.

“Aku yang memegang pisau itu,” lanjutnya.

“Iya, aku juga tahu itu.” Aku terkekeh, sebenarnya tidak ada yang lucu. Mita mengatupkan rahang, menatapku seolah bilang ‘Aku serius, Ikmal!’

“Hanya aku yang ada di sana. Aku yang menggenggam pisau itu. Aku yang melakukannya—” Mita berbalik, memutus pandangan di antara kami.

“Coba bilang sekali lagi…” Ucapku berusaha dengan nada normal. Aku pasti salah dengar tadi. Mita yang aku kenal tidak mungkin sejahat itu.

“Aku yang telah melakukannya, Ikmal. Kau kira untuk apa aku datang ke kota ini, selain untuk balas dendam?” Mita berbalik lagi, ia menangis. Di sela tangisnya itu ia tergelak, tertawa. Apa acara balas dendamnya ini terdengar lucu? Ya Tuhan, kali ini kupingku tidak salah dengar. Mita yang selama ini aku bela mati-matian di depan Mama dan Papa, tega mengkhianatiku.

“Kenapa harus Papaku, Mit? Sekarang kau boleh membunuhku. Jika itu bisa membuat dendammu lunas.” Aku marah, benci, kecewa dengan kenyataan yang aku dengar. Mita menyeringai. Aku hanya bisa berdoa, semoga polisi tidak datang kemari.

“Pergilah.. Sebelum semuanya terlambat. Pergi sejauh yang kau bisa!” Aku berseru lemah. Suaraku hilang di tenggorokan. Orang yang selama ini aku percaya, diam-diam menusukku dari belakang.

“Sejak pertama kita bertemu. Sedikit pun aku tidak pernah menginginkan kita sedekat ini. Karena pada akhirnya kau akan terluka. Aku sudah berusaha melakukan apa saja untuk membuatmu benci kepadaku. Tapi yang kau lakukan malah sebaliknya.” Mita menghela napas. Tidak ada lagi tawa atau seringaian. Diam. Hujan rintik turun. Aku tidak tahu jika langit tiba-tiba mendung.

“Apa yang kau harapkan dari aku, Ikmal? Tidak ada! Sia-sia. Semua waktu yang kau habiskan bersamaku hanya percuma. Seharusnya kau mendengar perkataan ibumu!” Mita hanya tertawa kecil.

Gerimis dengan cepat berganti dengan hujan deras. Bersamaan dengan dua mobil yang masuk ke area makam. Suara itu? Aku menoleh. Empat polisi muncul dari balik pintu mobil, bersiap mengepung. Aku beralih menatap Mita. Ia sudah terduduk di rumput yang basah. Kedua tangannya digunakan untuk mendekap kepalanya. Bukan, bukan karena ia takut dengan polisi. Ia takut dengan bunyi sirine. Reflek. Aku melangkah, aku ingin memeluknya, menenangkan. Tapi ketika tanganku hampir menyentuh pundak Mita, seseorang dari belakang sudah menarikku. Kejadian itu terjadi sangat cepat. Air langit yang turun seperti mengambang di udara. Waktu berputar begitu pelan.

Semua kenangan bersama Mita terkuak dalam otakku begitu saja. Tanganku menggapai udara, tubuh itu tidak terjangkau oleh tanganku. Polisi memborgol tangan Mita. Ia hanya menunduk, tidak sedikit pun berusaha untuk menatapku. Tidak ada yang bisa kuperbuat. Mama tidak semudah itu melepaskanku. Polisi itu membawa Mita masuk ke dalam mobil. Hujan deras kembali terasa membasahi tubuhku. Waktu seakan sudah melesat cepat. Mobil itu berlalu, meninggalkan komplek pemakaman. Aku jatuh bersimpuh, setelah Mama mengendurkan cengkeraman tangannya di kedua lenganku. Aku tidak akan pernah bisa membencinya.


***

Aku dengan geram melempar koran ke tempat sampah. Semua media massa pagi ini tidak absen memuat berita tentang Mita. Berita itu bahkan menjadi tajuk utama di semua koran, juga terpampang dengan jelas di halaman muka. Mereka semua tidak tahu tentang Mita. Aku yang lebih tahu segalanya!


Kabar baik, siang itu Mama menelepon dari rumah sakit. Bilang kalau Papa sudah siuman, dan ingin bertemu denganku. Aku segera meluncur ke rumah sakit. Hanya Papa orang terakhir yang aku harapkan. Aku tidak tega melihat Mita berlama-lama mendekam di penjara.


Mama menoleh begitu aku datang. Papa juga mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku berjalan mendekat. Mama terlihat sudah tenang. Tidak seperti kemarin-kemarin yang selalu marah-marah. Ya, mungkin Mama bahagia karena berhasil membuat Mita enyah dari hidupku.

“Ikmal senang Papa sudah sadar,” ucapku duduk di kursi samping ranjangnya. Aku sedang merangkai kata yang cocok, agar Mama yang ikut mendengarnya tidak salah paham.

“Papa senang kau lepas dari perempuan itu.” Papa berkata lemah, mengelus kepalaku perlahan. Semua kalimat yang sudah tersusun hancur sudah. Tapi aku harus bertanya, aku ingin mendengarnya langsung dari mulut Papa sendiri.

“Tidak ada yang harus kau tanyakan lagi, Ikmal. Semua sudah sangat jelas. Apa yang Papa katakan waktu itu terbukti. Jangan mencoba mengingkarinya, Ikmal.” Papa menangkap maksud dari sorot mataku sebelum sempat aku membuka mulut. Aku menelan ludah, urung membuka mulut. Tertunduk kemudian. Mita yang melakukannya? Mita yang memang datang ke kota ini untuk balas dendam? Mita yang sampai detik ini aku cintai? Tuhan, kenapa harus Mita-ku? Kenapa bukan Mita-Mita yang lain?

“Kau terlalu buta mencintai perempuan itu. Coba buka mata kamu, Ikmal! Lihat kenyataan yang ada di depan matamu.” Mama menambahkan. Aku semakin terpojok. Apa cinta ini salah karena tumbuh di tempat yang salah? Bukankah semua rasa cinta itu indah, sekalipun di tempat yang salah?

“Ikmal tidak akan berhenti mencintainya. Aku belum siap melupakannya, Ma, Pa.” Aku mendongakkan kepala, bergantian menatap Mama dan Papa. Papa menghela napas, menyerah, tidak tahu harus membujuk dengan cara apa lagi. Mama sudah membuka mulut, bersiap menumpahkan semuanya. Tapi aku sudah berdiri, keluar dari ruangan itu. Aku sendiri juga tidak tahu dari mana kekuatan itu datang. Hatiku semakin yakin kalau Mita memang untukku. Aku tidak peduli sampai kapan waktu akan memisahkan.


***

Kantor polisi itu masih terlihat lengang. Ini pertama kalinya aku menjenguk Mita, satu minggu setelah peristiwa di makam itu. Entah aku harus senang atau sedih. Semua campur-aduk menjadi satu. Aku duduk menunggu. Seorang polisi datang menghampiriku.
"Mungkin ini bisa membantu Anda untuk mencarinya," ucap polisi seraya menyerahkan kertas kecil bertuliskan sebuah alamat. Polisi itu menepuk-nepuk bahuku, lantas pergi dari hadapanku. Aku mulai membacanya perlahan.

“Rumah Sakit Jiwa Husada Mulia—”



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini