(Bukan) Cinta Terlarang
“Mama
mau apa?” tanyaku curiga melihat gelagat Mama yang kalap memencet ponselnya.
“Mama!”
sergahku, menarik lengannya. Mama mengibaskan tanganku.
“Mama
akan telepon polisi untuk menyeret perempuan itu ke penjara. Dia pikir, dia
bisa lari begitu saja!” ucap Mama berapi-api. Perempuan itu? Mita?
“Halo,”
Mama menyapa setelah menunggu sekian detik. Aku menelan ludah. Aku mundur
teratur, berbalik, berlari meninggalkan rumah sakit. Aku harus bisa memastikan
Mita aman di manapun ia berada sekarang.
***
Mita
tidak main-main dengan perkataannya tempo hari. Ia pergi menghilang begitu
saja, tanpa jejak. Aku sudah bertanya ke petugas apartemen, ke siapa saja,
termasuk satpam apartemen. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu
keberadaan Mita. Aku harus mencarimu kemana lagi? Sebuah tempat terlintas dalam
otakku. Kuburan itu. Ya, pasti Mita ada di sana. Aku segera melajukan mobilku,
menerabas gerimis yang turun.
Pemakaman
itu selalu sepi. Aku memarkirkan mobilku sembarangan. Tidak ada tanda-tanda
Mita berada di sana. Tapi aku tetap tertarik untuk turun. Melangkah mendekat
pusara itu. Aku heran melihat taburan bunga yang masih segar. Ini artinya Mita
datang ke sini, dan aku terlambat. Aku mengedarkan pandanganku, memutar
tubuhku, tidak ada siapa-siapa kecuali bunga kamboja yang gugur diterpa angin.
“Ikmal?”
Suara itu dari belakangku. Aku menoleh, sangat kenal siapa pemilik suara itu.
“Mita?
Kau ada di sini? Sejak kapan? Aku tidak melihat siapa-siapa sejak tadi,” ucapku
mengerutkan dahi. Bagaimana ia bisa
muncul secara tiba-tiba? Jatuh dari langit? Lupakan.
“Sekarang
lihat kan?” tanyanya diplomatis. Aku mengangguk. Nyaris aku melangkah
mendatanginya.
“Jangan
mendekat, sedikit pun, jangan. Berhenti di sana.” Mita menunjuk tempat aku
berdiri sekarang. Aku menurutinya.
“Kau
mau tahu satu hal, Ikmal?” ucap Mita dengan nada serius. Aku melipat dahi.
“Apa?”
sahutku cepat.
“Sungguh?
Kau siap mendengarnya?” Mita sengaja mengulur waktu, membuatku semakin
penasaran. Apa yang sebenarnya akan ia katakan?
Mita
tersenyum amat ganjil. Aku tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan.
“Aku
yang ada di ruangan Papamu. Hanya aku,” ucap Mita datar. Wajah itu berubah
seketika.
“Iya,
aku tahu itu.” Aku bingung, ia tidak perlu mengatakannya pun aku sudah tahu.
“Aku
yang memegang pisau itu,” lanjutnya.
“Iya,
aku juga tahu itu.” Aku terkekeh, sebenarnya tidak ada yang lucu. Mita
mengatupkan rahang, menatapku seolah bilang ‘Aku serius, Ikmal!’
“Hanya
aku yang ada di sana. Aku yang menggenggam pisau itu. Aku yang melakukannya—”
Mita berbalik, memutus pandangan di antara kami.
“Coba
bilang sekali lagi…” Ucapku berusaha dengan nada normal. Aku pasti salah dengar
tadi. Mita yang aku kenal tidak mungkin sejahat itu.
“Aku
yang telah melakukannya, Ikmal. Kau kira untuk apa aku datang ke kota ini,
selain untuk balas dendam?” Mita berbalik lagi, ia menangis. Di sela tangisnya
itu ia tergelak, tertawa. Apa acara balas
dendamnya ini terdengar lucu? Ya Tuhan, kali ini kupingku tidak salah
dengar. Mita yang selama ini aku bela mati-matian di depan Mama dan Papa, tega
mengkhianatiku.
“Kenapa
harus Papaku, Mit? Sekarang kau boleh membunuhku. Jika itu bisa membuat
dendammu lunas.” Aku marah, benci, kecewa dengan kenyataan yang aku dengar.
Mita menyeringai. Aku hanya bisa berdoa, semoga polisi tidak datang kemari.
“Pergilah..
Sebelum semuanya terlambat. Pergi sejauh yang kau bisa!” Aku berseru lemah.
Suaraku hilang di tenggorokan. Orang yang selama ini aku percaya, diam-diam
menusukku dari belakang.
“Sejak
pertama kita bertemu. Sedikit pun aku tidak pernah menginginkan kita sedekat
ini. Karena pada akhirnya kau akan terluka. Aku sudah berusaha melakukan apa
saja untuk membuatmu benci kepadaku. Tapi yang kau lakukan malah sebaliknya.”
Mita menghela napas. Tidak ada lagi tawa atau seringaian. Diam. Hujan rintik
turun. Aku tidak tahu jika langit tiba-tiba mendung.
“Apa
yang kau harapkan dari aku, Ikmal? Tidak ada! Sia-sia. Semua waktu yang kau
habiskan bersamaku hanya percuma. Seharusnya kau mendengar perkataan ibumu!”
Mita hanya tertawa kecil.
Gerimis
dengan cepat berganti dengan hujan deras. Bersamaan dengan dua mobil yang masuk
ke area makam. Suara itu? Aku
menoleh. Empat polisi muncul dari balik pintu mobil, bersiap mengepung. Aku
beralih menatap Mita. Ia sudah terduduk di rumput yang basah. Kedua tangannya
digunakan untuk mendekap kepalanya. Bukan, bukan karena ia takut dengan polisi.
Ia takut dengan bunyi sirine. Reflek. Aku melangkah, aku ingin memeluknya,
menenangkan. Tapi ketika tanganku hampir menyentuh pundak Mita, seseorang dari
belakang sudah menarikku. Kejadian itu terjadi sangat cepat. Air langit yang
turun seperti mengambang di udara. Waktu berputar begitu pelan.
Semua
kenangan bersama Mita terkuak dalam otakku begitu saja. Tanganku menggapai
udara, tubuh itu tidak terjangkau oleh tanganku. Polisi memborgol tangan Mita.
Ia hanya menunduk, tidak sedikit pun berusaha untuk menatapku. Tidak ada yang
bisa kuperbuat. Mama tidak semudah itu melepaskanku. Polisi itu membawa Mita masuk
ke dalam mobil. Hujan deras kembali terasa membasahi tubuhku. Waktu seakan
sudah melesat cepat. Mobil itu berlalu, meninggalkan komplek pemakaman. Aku
jatuh bersimpuh, setelah Mama mengendurkan cengkeraman tangannya di kedua
lenganku. Aku tidak akan pernah bisa membencinya.
***
Aku
dengan geram melempar koran ke tempat sampah. Semua media massa pagi ini tidak
absen memuat berita tentang Mita. Berita itu bahkan menjadi tajuk utama di
semua koran, juga terpampang dengan jelas di halaman muka. Mereka semua tidak
tahu tentang Mita. Aku yang lebih tahu segalanya!
Kabar
baik, siang itu Mama menelepon dari rumah sakit. Bilang kalau Papa sudah
siuman, dan ingin bertemu denganku. Aku segera meluncur ke rumah sakit. Hanya
Papa orang terakhir yang aku harapkan. Aku tidak tega melihat Mita berlama-lama
mendekam di penjara.
Mama
menoleh begitu aku datang. Papa juga mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku
berjalan mendekat. Mama terlihat sudah tenang. Tidak seperti kemarin-kemarin
yang selalu marah-marah. Ya, mungkin Mama bahagia karena berhasil membuat Mita
enyah dari hidupku.
“Ikmal
senang Papa sudah sadar,” ucapku duduk di kursi samping ranjangnya. Aku sedang
merangkai kata yang cocok, agar Mama yang ikut mendengarnya tidak salah paham.
“Papa
senang kau lepas dari perempuan itu.” Papa berkata lemah, mengelus kepalaku
perlahan. Semua kalimat yang sudah tersusun hancur sudah. Tapi aku harus
bertanya, aku ingin mendengarnya langsung dari mulut Papa sendiri.
“Tidak
ada yang harus kau tanyakan lagi, Ikmal. Semua sudah sangat jelas. Apa yang
Papa katakan waktu itu terbukti. Jangan mencoba mengingkarinya, Ikmal.” Papa
menangkap maksud dari sorot mataku sebelum sempat aku membuka mulut. Aku
menelan ludah, urung membuka mulut. Tertunduk kemudian. Mita yang melakukannya? Mita yang memang datang ke kota ini untuk balas
dendam? Mita yang sampai detik ini aku cintai? Tuhan, kenapa harus Mita-ku?
Kenapa bukan Mita-Mita yang lain?
“Kau
terlalu buta mencintai perempuan itu. Coba buka mata kamu, Ikmal! Lihat
kenyataan yang ada di depan matamu.” Mama menambahkan. Aku semakin terpojok. Apa cinta ini salah karena tumbuh di tempat
yang salah? Bukankah semua rasa cinta itu indah, sekalipun di tempat yang
salah?
“Ikmal
tidak akan berhenti mencintainya. Aku belum siap melupakannya, Ma, Pa.” Aku
mendongakkan kepala, bergantian menatap Mama dan Papa. Papa menghela napas,
menyerah, tidak tahu harus membujuk dengan cara apa lagi. Mama sudah membuka
mulut, bersiap menumpahkan semuanya. Tapi aku sudah berdiri, keluar dari
ruangan itu. Aku sendiri juga tidak tahu dari mana kekuatan itu datang. Hatiku
semakin yakin kalau Mita memang untukku. Aku tidak peduli sampai kapan waktu
akan memisahkan.
***
Kantor
polisi itu masih terlihat lengang. Ini pertama kalinya aku menjenguk Mita, satu
minggu setelah peristiwa di makam itu. Entah aku harus senang atau sedih. Semua
campur-aduk menjadi satu. Aku duduk menunggu. Seorang polisi datang
menghampiriku.
"Mungkin ini bisa membantu Anda untuk mencarinya," ucap polisi seraya menyerahkan kertas kecil bertuliskan sebuah alamat. Polisi itu menepuk-nepuk bahuku, lantas pergi dari hadapanku. Aku mulai membacanya perlahan.
"Mungkin ini bisa membantu Anda untuk mencarinya," ucap polisi seraya menyerahkan kertas kecil bertuliskan sebuah alamat. Polisi itu menepuk-nepuk bahuku, lantas pergi dari hadapanku. Aku mulai membacanya perlahan.
“Rumah
Sakit Jiwa Husada Mulia—”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar