Beri Aku Penjelasan
Aku
tidak pulang ke rumah. Aku habiskan malam dengan menatap langit, hanya berdiri
mematung di dekat jendela. Sedikit pun tidak tidur. Hingga perlahan langit
memudarkan bintang, berganti dengan matahari. Aku mengusap tengkuk, mulai beranjak
dari jendela. Pagi ini aku harus ke kantor, mendesak Papa bicara.
Aku
mengenakan kemeja krem, lengan kemeja digulung, celana hitam, serta sepatu yang
mengkilat. Aku memutar kunci, menutup pintu dari luar. Di sebelahku ada Mita
yang juga melakukan hal yang sama. Demi apa pun, aku tidak berani menoleh,
apalagi untuk menyapanya. Baru sedetik kemudian aku yang tadi pura-pura
membenarkan posisi dasiku, buru-buru menoleh kaku. Aku melihat punggungnya saat
menghilang di pintu lift. Aku berlari memasuki lift yang lain, berharap di
lantai basement aku akan berpapasan dengan Mita.
Lift
berdenting, kedua sisi pintunya terbuka. Aku membiarkan beberapa orang keluar
dahulu. Setelah aku pikir-pikir bukan sekarang waktu yang tepat untuk bertemu
Mita. Tetapi sungguh, dugaanku salah besar. Begitu aku berniat membuka pintu
lobi, tanpa sengaja aku menyentuh tangan yang juga hendak membuka pintu.
Bergetar aku menatap mata beningnya. Waktu berhenti sejenak. Mita mendeham. Aku
melepas tanganku dari gagang pintu, membiarkan Mita berlalu. Senyap yang
kurasa. Sungguh, bila aku diberi pilihan. Aku memilih melihat Mita yang
marah-marah setiap hari ketimbang Mita yang diam membisu.
***
“Pa,
apa susahnya memberiku penjelasan? Jangan diam seperti ini.” Aku melihat Papa
duduk tenang di balik meja kerjanya. Sibuk menandatangani berkas-berkas.
“Keluarlah.
Papa sibuk. Tidak ada penjelasan yang harus kau dengar. Mengerti?” Papa
mengangkat wajah. Aku yang berdiri di hadapannya merasa disepelekan.
Seolah-olah masalah ini amat kecil, sehingga aku tak perlu lagi bertanya. Aku
mengeluh dalam-dalam.
“Oke.
Jadi pada intinya Papa tidak ingin melihatku bahagia. Itu kan yang Papa
inginkan?” Aku mengangkat kedua tanganku. Papa hendak membuka mulut ketika aku
memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.
Sepanjang
hari di kantor kuhabiskan untuk duduk bermalas-malasan, menolak siapa pun yang
meminta bertemu. Aku sedang tidak berselera bertemu dengan siapapun.
“Kau
seperti anak kecil saja.” Seseorang datang dari balik pintu. Aku memutar kursi
untuk melihatnya.
“Andaikan
kau tahu mengapa Papa tidak menjelaskan semuanya kepadamu.” Papa melangkah
mendekat, berdiri menghadap jendela.
“Tentu
saja aku tidak tahu,” jawabku sebal.
“Kau
akan sakit bila mendengarnya, Mal. Dan yang paling Papa takutkan, kau akan
membenci Papa seumur hidup.” Ujarnya berat, terdengar helaan napas panjang.
“Aku
ingin tahu semuanya, Pa.” Aku berdiri dari kursi, melangkah ke jendela.
“Kau
tentu tahu, Papa dulu pernah berkeluarga sebelum akhirnya menikah dengan
Mamamu.” Papa menarik napas. Aku semakin memasang telinga lebar-lebar.
“Beberapa
puluh tahun silam, Papa menikah dengan seorang janda yang mempunyai dua anak
kembar. Anak-anak yang sangat menggemaskan. Papa sudah menganggapnya seperti
anak Papa sendiri. Tetapi, salah satu dari mereka begitu membenci Papa sampai
detik ini.” Papa menyeka hidungnya, terbatuk.
“Semua
kebencian itu karena kesalahan Papa. Semua itu karena Papa, Ikmal. Kolega-kolega
yang menuntut hak pengembalian saham malam itu mengamuk besar. Merusak apa saja
yang ada di rumah. Papa tidak mampu mencegahnya. Mereka terlalu banyak,
sedangkan Papa hanya sendiri. Dan kau tahu, mereka menyelesaikan amarah dengan
membakar rumah itu. Mereka membakarnya tanpa ampun. Papa tidak tahu lagi di
mana istri Papa kala itu. Si kembar bahkan entah hilang ke mana. Semuanya
kacau, rumah yang kokoh berubah dengan cepat menjadi puing-puing hangus. Papa
sempat menyelamatkan diri. Tetapi, mereka, entahlah.” Papa mengusap wajahnya,
terisak mengenang masa lalunya. Aku tak kalah termenung. Dengarlah, inikah alasan Mita datang ke kota ini? Datang sengaja untuk
membalas dendam? Tidak, aku membuang pikiran itu jauh-jauh.
“Papa
dipenjara. Hancur sudah. Tidak ada lagi harapan secuil pun yang tersisa. Sudah
hangus ikut terbakar malam itu. Lenyap tak berbekas.”
“Gadis
itu tidak pernah berubah banyak. Papa masih bisa mengenali setiap gurat
wajahnya—yang sekarang, penuh dengan kebencian. Tetapi, amat berbeda jika ia
sedang menatapmu.” Papa menoleh, aku gelagapan.
“Papa
sangka selama ini Mita tidak selamat. Tetapi nyatanya, sekarang malah ia
tinggal di kota ini. Entah, Papa harus senang atau malah sebaliknya.” Papa
kembali menatap gedung-gedung di luar sana.
“Tidak
seharusnya kau mencintainya,” ucapnya tegas.
“Kenapa
begitu?” tanyaku tidak terima.
“Papa
tidak ingin kau terluka. Itu saja. Jadi, mulai sekarang kau jauhi dia. Itu akan
lebih baik,” kata Papa diktator.
“Aku
tidak bisa melakukan itu, Pa!” Suaraku spontan meninggi.
“Apa
kau tidak pernah curiga dengan Mita? Bisa saja ia datang ke kota ini sengaja
untuk membalas dendam.” Papa menanggapi dengan diplomatis.
“Cukup,
Pa. Ikmal yakin Mita tidak mungkin—”
“Kau
harus selalu waspada,” potongnya cepat, berkata cemas. Aku menelan ludah, aku
tahu Mita tidak akan tega melakukan hal yang seperti Papa cemaskan.
“Biar
itu menjadi urusanku, Pa.”
“Terserah
kau saja. Jangan pernah menyesal jika apa yang Papa katakan terbukti.” Papa
melangkah keluar dari ruanganku. Aku menyandarkan kepalaku di jendela kaca.
Kaca itu berembun oleh hembusan napasku.
***
“Aku
sudah tahu semuanya.” Aku memberanikan diri bersitatap dengannya.
“Cerita
bagian mana yang kurang jelas?” tanyanya dingin. Tadi, sekitar dua menit yang
lalu, setelah pulang dari kantor, aku menunggu Mita di dekat lobi. Di dalam
lift hanya ada kami berdua. Aku yang berani mengawali pembicaraan.
“Kenapa
kau begitu membenci Papa? Dan, kebakaran itu, bukan murni karena kesalahannya.”
Aku berkata memperjelas. Mita menoleh, tatapan itu menjelaskan keberatannya.
“Kau
bisa bilang begitu karena kau belum pernah merasakannya! Dia tidak pernah
kembali untuk mencari kami. Dia lari dari tanggung jawab itu. Setelah kebakaran
itu, keluargaku menderita, Mama sakit-sakitan. Mama seorang diri membanting
tulang untuk menghidupi aku dan Metha. Hidup kami hancur dan kau tidak pernah
mengerti bagaimana rasanya... Arrrgh!" Mita mengepalkan tangannya,
menghantamkannya tepat di dinding sebelahku. Dalam seketika, dari jarak yang
begitu dekat, aku bisa melihat api membakar mata teduhnya. Tanganku hendak
terangkat, aku mendadak menjadi gentar. Ya,mungkin umurku terpaut tiga tahun
lebih muda dari Mita.
Begitu
pintu lift terbuka, Mita menarik tangannya dari dinding, lantas melangkah
keluar. Sama sekali tidak menghiraukanku yang masih tergugu di dalam lift. Aku
berjalan di belakangnya. Bahkan aku terlalu sibuk untuk menyadari jika ada Mama
di depan kamarku, menangkupkan kedua tangan di dada. Astaga! Mama? Aku mempercepat langkah.
“Jadi
kau orangnya? Berani-beraninya kau membuat Ikmal membantah saya! Wanita tidak
tahu diri!” Mama bergerak cepat, mencengkeram lengan Mita. Yang dicengkeram
tidak melawan, hanya diam, bersiap mendapat bentakan selanjutnya.
“Ma,
lepaskan Mita.” Aku mendekat, mencoba melepaskan tangan Mama dari lengan Mita.
Gagal. Mama terlalu mengotot.
“Heh!
Kau tidak tahu diri ya? Lihat, apa kau pantas bersanding dengan Ikmal? Dandanan
saja berantakan begini!” Mama menunjuk-nunjuk Mita. Aku kewalahan
menenangkannya. Aku mengeluh, kenapa Mita
hanya membisu? Ayolah, katakan apa saja untuk membela diri.
“Maaf.
Anda salah jika menghakimi saya! Saya tidak pernah suka dengan anak Anda!” Mita
menepis tangan Mama. Dia tadi bilang apa? Aku menelan ludah getir. Pegangan
tanganku pada lengan Mama sedikit mengendur. Aku terlambat untuk menyadarinya.
Mama malah bertindak diluar dugaanku. Baru saja, ketika aku sibuk mencerna
kalimat Mita, hal itu terjadi begitu cepat. Satu tamparan telak mendarat di
pipi mulusnya dalam hitungan detik.
“Cukup,
Ma! Jangan menuduh Mita macam-macam. Ikmal yang salah. Ikmal yang seharusnya
Mama pukul, bukan Mita.” Aku menengahi, berdiri di antara mereka berdua,
memunggungi Mita. Aku benar-benar tidak tega melihat Mita dibentak-bentak,
lantas ditampar.
“PULANG
SEKARANG, Ikmal!” Mama berteriak kesetanan. Aku berpikir cepat, mungkin lebih
baik jika aku menuruti Mama. Aku tidak mau melihat Mita lebih terluka lagi.
Beberapa langkah, aku menoleh, mendapati Mita masih berdiri di sana. Aku
berhenti sejenak menatapnya. Bola matanya terlihat berlinang. Pipinya yang
memerah karena tamparan tadi. Bibir yang selalu mengatup rapat. Dia lalu
membuang muka.
***
“Saya tidak pernah suka dengan anak
Anda!”
Aku
masih saja dihantui sepenggal kalimat itu. Hingga beberapa hari semenjak
kejadian malam itu. Hariku bertambah kacau. Setiap hari Mama juga tidak
berhenti marah-marah. Ada saja hal kecil yang membuatnya marah. Dan sempurna
akan mengamuk jika aku menyinggung tentang Mita.
“Bulan
depan kau harus menikah dengan Adiesty! Tidak ada protes, juga tidak ada acara
kabur-kaburan lagi! Mengerti?” kata Mama saat kami sarapan bersama. Papa,
seperti biasa, hanya diam menyimak.
“Aku
tidak akan menikah dengan siapa-siapa, kecuali dengan Mita!” Aku berdiri,
jengkel memukul meja. Mama dan Papa terperangah. Mama hendak berdiri menyusulku,
tetapi Papa sudah mencegah terlebih dahulu. Lengkap sudah, aku terperangkap,
tidak ada alasan untuk kabur lagi. Jelas saja, Mama sudah memasang beberapa bodyguard di sudut-sudut halaman rumah.
Aku tak habis pikir Mama akan melakukan itu.
“Tidak
berangkat ke kantor?” tanya Papa yang tiba-tiba muncul dari belakangku.
“Aku
sedang tidak bersemangat untuk bekerja, Pa.” Aku mengarang jawaban. Papa
melangkah, ikut menumpukan kedua tangannya di pembatas balkon.
“Ikmal,
kau terlalu memaksa gadis itu untuk mencintaimu.” Papa menoleh kepadaku. Aku
mengernyitkan dahi.
“Aku
tidak merasa begitu, Pa.” Ucapku sebal.
“Tapi
lihat apa yang sudah kau lakukan. Kau membuat Mita menjadi sasaran amukan Mama.
Tentu kau tidak ingin itu terjadi lagi. Lepaskan dia, dan mulailah belajar
melupakannya.” Papa menerangkan, seakan aku berada dipihak yang patut
disalahkan. Namun sebagian hatiku sepakat dengan apa yang Papa katakan.
“Sulit
untuk melakukan itu, Pa.” Aku mendesah getir.
“Kau
pasti bisa.” Papa menepuk pundakku, menyemangati.
“Lantas
apa Papa juga setuju tentang rencana pernikahan itu?” tanyaku kemudian. Papa
terbatuk, tidak siap dengan pertanyaan spontan itu.
“Apa
salahnya Mal? Cinta bisa tumbuh kapan saja. Asal kau ikhlas melupakan Mita.”
Papa mengangkat bahu, tersenyum. Apa
hanya sampai di sini ceritaku dengan Mita? Apa semua akan berakhir dengan
sebuah perpisahan?
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar