Rabu, 26 Desember 2012

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 9)


                                      Beri Aku Penjelasan


Aku tidak pulang ke rumah. Aku habiskan malam dengan menatap langit, hanya berdiri mematung di dekat jendela. Sedikit pun tidak tidur. Hingga perlahan langit memudarkan bintang, berganti dengan matahari. Aku mengusap tengkuk, mulai beranjak dari jendela. Pagi ini aku harus ke kantor, mendesak Papa bicara.


Aku mengenakan kemeja krem, lengan kemeja digulung, celana hitam, serta sepatu yang mengkilat. Aku memutar kunci, menutup pintu dari luar. Di sebelahku ada Mita yang juga melakukan hal yang sama. Demi apa pun, aku tidak berani menoleh, apalagi untuk menyapanya. Baru sedetik kemudian aku yang tadi pura-pura membenarkan posisi dasiku, buru-buru menoleh kaku. Aku melihat punggungnya saat menghilang di pintu lift. Aku berlari memasuki lift yang lain, berharap di lantai basement aku akan berpapasan dengan Mita.


Lift berdenting, kedua sisi pintunya terbuka. Aku membiarkan beberapa orang keluar dahulu. Setelah aku pikir-pikir bukan sekarang waktu yang tepat untuk bertemu Mita. Tetapi sungguh, dugaanku salah besar. Begitu aku berniat membuka pintu lobi, tanpa sengaja aku menyentuh tangan yang juga hendak membuka pintu. Bergetar aku menatap mata beningnya. Waktu berhenti sejenak. Mita mendeham. Aku melepas tanganku dari gagang pintu, membiarkan Mita berlalu. Senyap yang kurasa. Sungguh, bila aku diberi pilihan. Aku memilih melihat Mita yang marah-marah setiap hari ketimbang Mita yang diam membisu.

***

“Pa, apa susahnya memberiku penjelasan? Jangan diam seperti ini.” Aku melihat Papa duduk tenang di balik meja kerjanya. Sibuk menandatangani berkas-berkas.

“Keluarlah. Papa sibuk. Tidak ada penjelasan yang harus kau dengar. Mengerti?” Papa mengangkat wajah. Aku yang berdiri di hadapannya merasa disepelekan. Seolah-olah masalah ini amat kecil, sehingga aku tak perlu lagi bertanya. Aku mengeluh dalam-dalam.

“Oke. Jadi pada intinya Papa tidak ingin melihatku bahagia. Itu kan yang Papa inginkan?” Aku mengangkat kedua tanganku. Papa hendak membuka mulut ketika aku memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.

Sepanjang hari di kantor kuhabiskan untuk duduk bermalas-malasan, menolak siapa pun yang meminta bertemu. Aku sedang tidak berselera bertemu dengan siapapun.


“Kau seperti anak kecil saja.” Seseorang datang dari balik pintu. Aku memutar kursi untuk melihatnya.

“Andaikan kau tahu mengapa Papa tidak menjelaskan semuanya kepadamu.” Papa melangkah mendekat, berdiri menghadap jendela.

“Tentu saja aku tidak tahu,” jawabku sebal.

“Kau akan sakit bila mendengarnya, Mal. Dan yang paling Papa takutkan, kau akan membenci Papa seumur hidup.” Ujarnya berat, terdengar helaan napas panjang.

“Aku ingin tahu semuanya, Pa.” Aku berdiri dari kursi, melangkah ke jendela.

“Kau tentu tahu, Papa dulu pernah berkeluarga sebelum akhirnya menikah dengan Mamamu.” Papa menarik napas. Aku semakin memasang telinga lebar-lebar.

“Beberapa puluh tahun silam, Papa menikah dengan seorang janda yang mempunyai dua anak kembar. Anak-anak yang sangat menggemaskan. Papa sudah menganggapnya seperti anak Papa sendiri. Tetapi, salah satu dari mereka begitu membenci Papa sampai detik ini.” Papa menyeka hidungnya, terbatuk.

“Semua kebencian itu karena kesalahan Papa. Semua itu karena Papa, Ikmal. Kolega-kolega yang menuntut hak pengembalian saham malam itu mengamuk besar. Merusak apa saja yang ada di rumah. Papa tidak mampu mencegahnya. Mereka terlalu banyak, sedangkan Papa hanya sendiri. Dan kau tahu, mereka menyelesaikan amarah dengan membakar rumah itu. Mereka membakarnya tanpa ampun. Papa tidak tahu lagi di mana istri Papa kala itu. Si kembar bahkan entah hilang ke mana. Semuanya kacau, rumah yang kokoh berubah dengan cepat menjadi puing-puing hangus. Papa sempat menyelamatkan diri. Tetapi, mereka, entahlah.” Papa mengusap wajahnya, terisak mengenang masa lalunya. Aku tak kalah termenung. Dengarlah, inikah alasan Mita datang ke kota ini? Datang sengaja untuk membalas dendam? Tidak, aku membuang pikiran itu jauh-jauh.

“Papa dipenjara. Hancur sudah. Tidak ada lagi harapan secuil pun yang tersisa. Sudah hangus ikut terbakar malam itu. Lenyap tak berbekas.”

“Gadis itu tidak pernah berubah banyak. Papa masih bisa mengenali setiap gurat wajahnya—yang sekarang, penuh dengan kebencian. Tetapi, amat berbeda jika ia sedang menatapmu.” Papa menoleh, aku gelagapan.

“Papa sangka selama ini Mita tidak selamat. Tetapi nyatanya, sekarang malah ia tinggal di kota ini. Entah, Papa harus senang atau malah sebaliknya.” Papa kembali menatap gedung-gedung di luar sana.

“Tidak seharusnya kau mencintainya,” ucapnya tegas.

“Kenapa begitu?” tanyaku tidak terima.

“Papa tidak ingin kau terluka. Itu saja. Jadi, mulai sekarang kau jauhi dia. Itu akan lebih baik,” kata Papa diktator.

“Aku tidak bisa melakukan itu, Pa!” Suaraku spontan meninggi.

“Apa kau tidak pernah curiga dengan Mita? Bisa saja ia datang ke kota ini sengaja untuk membalas dendam.” Papa menanggapi dengan diplomatis.

“Cukup, Pa. Ikmal yakin Mita tidak mungkin—”

“Kau harus selalu waspada,” potongnya cepat, berkata cemas. Aku menelan ludah, aku tahu Mita tidak akan tega melakukan hal yang seperti Papa cemaskan.

“Biar itu menjadi urusanku, Pa.”

“Terserah kau saja. Jangan pernah menyesal jika apa yang Papa katakan terbukti.” Papa melangkah keluar dari ruanganku. Aku menyandarkan kepalaku di jendela kaca. Kaca itu berembun oleh hembusan napasku.

***

“Aku sudah tahu semuanya.” Aku memberanikan diri bersitatap dengannya.

“Cerita bagian mana yang kurang jelas?” tanyanya dingin. Tadi, sekitar dua menit yang lalu, setelah pulang dari kantor, aku menunggu Mita di dekat lobi. Di dalam lift hanya ada kami berdua. Aku yang berani mengawali pembicaraan.

“Kenapa kau begitu membenci Papa? Dan, kebakaran itu, bukan murni karena kesalahannya.” Aku berkata memperjelas. Mita menoleh, tatapan itu menjelaskan keberatannya.

“Kau bisa bilang begitu karena kau belum pernah merasakannya! Dia tidak pernah kembali untuk mencari kami. Dia lari dari tanggung jawab itu. Setelah kebakaran itu, keluargaku menderita, Mama sakit-sakitan. Mama seorang diri membanting tulang untuk menghidupi aku dan Metha. Hidup kami hancur dan kau tidak pernah mengerti bagaimana rasanya... Arrrgh!" Mita mengepalkan tangannya, menghantamkannya tepat di dinding sebelahku. Dalam seketika, dari jarak yang begitu dekat, aku bisa melihat api membakar mata teduhnya. Tanganku hendak terangkat, aku mendadak menjadi gentar. Ya,mungkin umurku terpaut tiga tahun lebih muda dari Mita.

Begitu pintu lift terbuka, Mita menarik tangannya dari dinding, lantas melangkah keluar. Sama sekali tidak menghiraukanku yang masih tergugu di dalam lift. Aku berjalan di belakangnya. Bahkan aku terlalu sibuk untuk menyadari jika ada Mama di depan kamarku, menangkupkan kedua tangan di dada. Astaga! Mama? Aku mempercepat langkah.


“Jadi kau orangnya? Berani-beraninya kau membuat Ikmal membantah saya! Wanita tidak tahu diri!” Mama bergerak cepat, mencengkeram lengan Mita. Yang dicengkeram tidak melawan, hanya diam, bersiap mendapat bentakan selanjutnya.

“Ma, lepaskan Mita.” Aku mendekat, mencoba melepaskan tangan Mama dari lengan Mita. Gagal. Mama terlalu mengotot.

“Heh! Kau tidak tahu diri ya? Lihat, apa kau pantas bersanding dengan Ikmal? Dandanan saja berantakan begini!” Mama menunjuk-nunjuk Mita. Aku kewalahan menenangkannya. Aku mengeluh, kenapa Mita hanya membisu? Ayolah, katakan apa saja untuk membela diri.

“Maaf. Anda salah jika menghakimi saya! Saya tidak pernah suka dengan anak Anda!” Mita menepis tangan Mama. Dia tadi bilang apa? Aku menelan ludah getir. Pegangan tanganku pada lengan Mama sedikit mengendur. Aku terlambat untuk menyadarinya. Mama malah bertindak diluar dugaanku. Baru saja, ketika aku sibuk mencerna kalimat Mita, hal itu terjadi begitu cepat. Satu tamparan telak mendarat di pipi mulusnya dalam hitungan detik.

“Cukup, Ma! Jangan menuduh Mita macam-macam. Ikmal yang salah. Ikmal yang seharusnya Mama pukul, bukan Mita.” Aku menengahi, berdiri di antara mereka berdua, memunggungi Mita. Aku benar-benar tidak tega melihat Mita dibentak-bentak, lantas ditampar.

“PULANG SEKARANG, Ikmal!” Mama berteriak kesetanan. Aku berpikir cepat, mungkin lebih baik jika aku menuruti Mama. Aku tidak mau melihat Mita lebih terluka lagi. Beberapa langkah, aku menoleh, mendapati Mita masih berdiri di sana. Aku berhenti sejenak menatapnya. Bola matanya terlihat berlinang. Pipinya yang memerah karena tamparan tadi. Bibir yang selalu mengatup rapat. Dia lalu membuang muka.

***

“Saya tidak pernah suka dengan anak Anda!”


Aku masih saja dihantui sepenggal kalimat itu. Hingga beberapa hari semenjak kejadian malam itu. Hariku bertambah kacau. Setiap hari Mama juga tidak berhenti marah-marah. Ada saja hal kecil yang membuatnya marah. Dan sempurna akan mengamuk jika aku menyinggung tentang Mita.

“Bulan depan kau harus menikah dengan Adiesty! Tidak ada protes, juga tidak ada acara kabur-kaburan lagi! Mengerti?” kata Mama saat kami sarapan bersama. Papa, seperti biasa, hanya diam menyimak.

“Aku tidak akan menikah dengan siapa-siapa, kecuali dengan Mita!” Aku berdiri, jengkel memukul meja. Mama dan Papa terperangah. Mama hendak berdiri menyusulku, tetapi Papa sudah mencegah terlebih dahulu. Lengkap sudah, aku terperangkap, tidak ada alasan untuk kabur lagi. Jelas saja, Mama sudah memasang beberapa bodyguard di sudut-sudut halaman rumah. Aku tak habis pikir Mama akan melakukan itu.


“Tidak berangkat ke kantor?” tanya Papa yang tiba-tiba muncul dari belakangku.

“Aku sedang tidak bersemangat untuk bekerja, Pa.” Aku mengarang jawaban. Papa melangkah, ikut menumpukan kedua tangannya di pembatas balkon.

“Ikmal, kau terlalu memaksa gadis itu untuk mencintaimu.” Papa menoleh kepadaku. Aku mengernyitkan dahi.

“Aku tidak merasa begitu, Pa.” Ucapku sebal.

“Tapi lihat apa yang sudah kau lakukan. Kau membuat Mita menjadi sasaran amukan Mama. Tentu kau tidak ingin itu terjadi lagi. Lepaskan dia, dan mulailah belajar melupakannya.” Papa menerangkan, seakan aku berada dipihak yang patut disalahkan. Namun sebagian hatiku sepakat dengan apa yang Papa katakan.

“Sulit untuk melakukan itu, Pa.” Aku mendesah getir.

“Kau pasti bisa.” Papa menepuk pundakku, menyemangati.

“Lantas apa Papa juga setuju tentang rencana pernikahan itu?” tanyaku kemudian. Papa terbatuk, tidak siap dengan pertanyaan spontan itu.

“Apa salahnya Mal? Cinta bisa tumbuh kapan saja. Asal kau ikhlas melupakan Mita.” Papa mengangkat bahu, tersenyum. Apa hanya sampai di sini ceritaku dengan Mita? Apa semua akan berakhir dengan sebuah perpisahan?





 
Bersambung—
Top of Form
aBottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini