Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 7


Aku tidak bisa menghindar lagi. Wahyu membulatkan mata, ekspresi wajahnya berubah seketika. Wahyu perlahan melangkah mendekatiku, udara seakan memberi ruang, senyap. Wahyu menyentuh pipiku, aku membuang muka, tidak siap menatapnya, padahal aku sangat merindukannya. Wahyu dengan rona wajah tidak terjelaskan, matanya yang teduh kini berbinar. Wahyu memelukku kemudian, mencium ubun-ubunku. Aku ingin sekali membalas pelukannya, urung, aku menghentikan tanganku, sadar kalau sampai detik ini Wahyu belum bisa mencintaiku. Cukup lama dia mendekapku, sampai-sampai Rinai menarik lengan Wahyu, bosan menunggu. Akhirnya Rinai pulang ke rumah bersama Wahyu, dia juga membujukku untuk ikut pulang bersamanya, namun aku menolak. Wahyu hanya mengecup pipiku, berpesan, agar aku menjaga kandunganku dengan baik.

***

Sejak siang aku mual-mual lagi, kepalaku terasa berat. Dari tadi aku hanya berbaring di tempat tidur. Aku melihat Ibu Rose mondar-mandir, sebentar-sebentar bertanya apa keluhanku.

“Sudahlah, Bu. Aku nggak kenapa-kenapa kok. Paling cuma masuk angin aja.” Ucapku, aku sudah bosan melihatnya mondar-mandir. Tapi apa? Bukannya mengindahkan kalimatku, Ibu Rose malah melakukan hal di luar dugaanku.

“Menelepon Wahyu? Aduh, seharusnya itu tidak perlu.” Aku melotot, protes.

“Kamu ini, selalu saja menganggap enteng masalah. Kamu sedang hamil, bukan hanya sekadar masuk angin biasa. Tidak bisa dibiarkan begitu saja.” Ibu Rose menjawab dengan helaan nafas, mengotot, tidak mau ditentang. Aku menelan ludah, sadar akan satu hal, jika dibandingkan dengan Mama ternyata Ibu Rose lebih cerewet. Over protective.

“Tapi kan— Uhh,” Rintihku. Ibu Rose cepat tanggap, segera duduk di pinggir ranjang.

“Apanya yang sakit?” tanyanya sangat panik.

“Kaki Mita, kram, Bu.” Aku meringis kesakitan. Ibu Rose memijat kakiku.

“Mita..” Wahyu datang, menatapku dengan cemas, meletakkan punggung tangannya di keningku. Tanpa menunggu persetujuanku, Wahyu langsung mengangkat tubuhku, membawa masuk ke dalam mobilnya. Aku memanyunkan bibir, ingin protes tapi tidak bisa.

Apa boleh buat, beberapa hari ini aku terpaksa menginap di rumah sakit. Wahyu dengan sabar menunggu, sebenarnya sejak tadi aku sudah menyuruhnya pulang, namun keukeuh tidak mau pulang. Aku kehabisan akal, akhirnya hanya membiarkan. Jujur, aku sangat senang Wahyu ada di sampingku saat ini. Setia mengenggam tanganku.


“Sudah baikan, belum?” Wahyu mengusap keningku.

“Masih pusing,” jawabku pelan. Sejurus kemudian, handphone Wahyu berdering, dia beranjak berdiri, menjauh dari posisiku. Aku curiga, pasti wanita itu yang meneleponnya.


“Siapa?” tanyaku saat Wahyu sudah mengakhiri perbincangannya yang entah dengan siapa. Wahyu tidak menjawab, mengecup keningku. Aku menarik lengannya, “Wanita itu lagi?” Wahyu mengangguk, aku melepas genggamanku, membiarkan dia pergi. Wahyu berpamitan, berjanji akan segera kembali. Dia sempat ingin mencium pipiku sebelum pergi, aku sengaja menghindar. Sangat jelas sekali, dia lebih mementingkan wanita itu daripada aku, istrinya sendiri.

***

Aku berjalan tertatih melewati lorong-lorong rumah sakit, sendirian, tanganku berpegangan pada dinding-dinding, berjalan menuju halaman belakang. Aku ingin merasakan sejuknya embun pagi, terpaan sinar matahari yang hangat. Aku duduk di kursi panjang, udara sedikit lembab, daun-daun yang basah oleh embun. Aku memejamkan mata, merentangkan kedua tanganku, angin berhembus lembut menerpa wajahku. Saat aku membuka mata, jelas sekali, setangkai mawar putih ada didepan mataku sekarang. Aku terpukau menatap bunga itu, tanganku terjulur, hendak meraih mawar putih itu. Pandanganku beralih, melihat siapa yang berdiri membawa mawar itu, aku terkesiap, menarik tanganku kembali, urung mengambil bunga itu setelah melihat Wahyu yang berdiri tak jauh dariku. Aku mendengus sebal. Memangnya aku bisa di suap dengan setangkai mawar itu? Wahyu menatapku tidak mengerti, membolak-balikan mawar itu, mengerutkan dahi, memangnya kenapa dengan mawarnya?

“Buat apa kesini lagi?” tanyaku ketus, Wahyu duduk di sebelahku.

“Sudah tugasku buat jagain kamu,” jawabnya membelai rambutku. Dia memang peduli atau hanya basa-basi?
“Aku rela bila kamu menceraikanku.” Aku menatapnya lamat, suaraku bergetar.

“Maksud kamu apa?” Wahyu tercekat, tidak percaya.

“Karena aku tahu, bahagiamu tidak ada bersamaku.” Aku menahan kelopak mataku yang sudah berat.

“Aku benar-benar..” Wahyu mengangkat kedua telapak tangannya.

“Benar-benar tidak bisa mencintaiku?” Aku memotong, menatapnya nanar.

“Sejak awal, aku ingin hidup dalam sebuah kesempurnaan, mencintai dengan segala kekurangan. Tetapi apa yang aku dapat? Selama ini hanya kebohongan besar!” Aku membentaknya, air mataku tumpah. Wahyu diam menunduk.

“Kamu tahu, bagaimana aku sangat mencintaimu. Tapi apa pernah kamu menghargai perasaanku? Bahkan, urusan wanita itu lebih penting.” Aku mengusap pipiku. Biarlah, aku ingin semuanya selesai detik ini juga.

“Aku tidak akan mencegah, silahkan kamu mencari kebahagiaan itu. Aku ini apa sih? Barangkali hanya wanita beruntung yang bisa menikah denganmu.” Aku berusaha melepas cincin dari jari manisku, lantas meletakannya didekat Wahyu. Arti cincin pernikahan itu sudah tidak ada. Wahyu sejak tadi bungkam, menunduk, beberapa kali menyeka hidungnya.

“Baiklah, sepertinya kamu belum mengerti juga.” Wahyu berdiri, beranjak pergi. Angin berhembus kencang. Aku tergugu, apa yang sudah aku lakukan? Aku telah menyakitinya.

“Aku selalu menunggu sampai kamu kembali, ke rumah kita.” Wahyu berhenti, berbalik menatapku, tatapan itu dingin. Aku mengusap wajahku, menyesal, berkata sedemikian rupa.

“Cintai aku, maka aku akan kembali.” Ucapku pelan, berharap Wahyu tidak mendengarnya, tetapi aku salah, nyatanya Wahyu menoleh, menghentikan langkahnya untuk kedua kali.

***

Aku menunggu dengan cemas, pagi ini, seperti kemarin, aku duduk di kursi taman belakang rumah sakit. Aku memejamkan mata, merentangkan kedua tanganku, angin bertiup lembut. Aku sangat berharap, saat aku membuka mata akan ada setangkai mawar putih di depan mataku. Aku nyengir, menghitung mundur, dalam hitungan satu aku langsung membuka mata. Aku menelan ludah, tidak ada mawar putih, hanya angin, aku menjulurkan tangan, kosong.





Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini