Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 6


Daun pintu sedikit terbuka. Aku bisa melihat raut wajah Wahyu, matanya yang memerah, entah karena apa.

“Ada masalah apa sebenarnya? Semalam Mita pergi secara diam-diam. Pulang tahu-tahu dia menangis. Ibu benar-benar tidak mengerti apa yang sudah dan tengah terjadi.” Ibu Rose membulatkan mata. Menatap Wahyu dengan gusar.

“Aku yang salah, Bu. Sejak awal aku salah mengambil keputusan untuk menikah dengan Mita.” Wahyu menunduk. Ibu Rose mengerutkan alis.

“Apa kurangnya Mita, Yu? Bahkan dia terlalu baik. Dia bisa menyayangi Rinai dengan tulus.”

“Tetapi.. aku masih belum bisa mencintainya, Bu.” Wahyu berdiri, tidak terima terpojokkan seperti ini. Aku mati rasa demi mendengar kalimat itu. Jadi, selama ini aku tidak pernah berharga dimata Wahyu. Lantas, semua sikap manisnya dulu untuk apa? Aku tidak pernah menyangka jika selama ini aku hidup dalam kebohongan besar. Aku tidak perlu menunggu sampai dia menceritakannya, karena aku sudah tahu apa yang akan dia ceritakan.

“Ibu heran dengan kamu. Kamu tega sekali mencampakkan Mita seperti ini. Asal kamu tahu, Mita ham—” Ucapan Ibu Rose terhenti. Beliau tahu jika aku ada didepan pintu. Aku menggelengkan kepala, mengisyaratkan agar beliau tidak melanjutkan kalimatnya. Aku tahu niat Ibu Rose baik. Tapi tidak untuk sekarang. Biarkan Wahyu tahu dengan sendirinya. Ibu Rose yang tadinya tersulut emosi, kini bisa mengendalikan diri. Aku melihat Wahyu berjalan keluar dari ruangan itu, aku segera menyingkir dari depan pintu. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hari ini, semua yang mengganjal di hatiku, sudah terjelaskan dengan sangat detail. Satu pukulan telak. Sehebat apapun itu, tetap saja tidak mampu mengikis cintaku untuk Wahyu. Biarlah cinta ini tetap ada seiring tumbuhnya benih cintanya.


Ibu Rose menatapku heran. Menghela nafas panjang. Dan, ujung-ujungnya rusuh memaksaku makan dengan porsi lebih. Mengomel saat aku menolak menghabiskannya. Rinai tertawa kecil mendengar suara Ibu Rose yang sedang mendumal. Katanya, “Ibu Rose, Bunda kan udah besar. Kenapa dipaksa makan sih?”

“Kamu masih marah dengan Wahyu?” Ibu Rose bertanya, menoleh sebentar, melanjutkan memotong wortel.

“Mita bisa apa lagi. Cuma dengan cara ini aku bisa bertahan, Bu.” Aku melangkah, berdiri disampingnya.

“Kamu tidak kasihan, Wahyu kamu tinggal sendirian dirumah?” Beliau menatapku lagi. Aku tersenyum kecut. Kasihan?

“Buat apa kasihan? Jelas-jelas sudah ada wanita itu.” Aku menjawab dengan sebal. Aku beranjak ke bak cuci, meraih satu piring kotor. Ibu Rose mendehem. Diam, tidak mencercaku lagi.

“Mamamu sudah tahu tentang ini?” Manuver beliau cukup ampuh, piring di tanganku hampir saja terjatuh. Aku terdiam, memperlambat gerakan tanganku, aku menggigit bibir. Bahkan aku lupa dengan itu. Tapi, mana berani aku berkata jujur kepada Mama. Aku takut sekali.

“Kok, diam? Belum ya?” Ibu Rose memastikan. Aku menoleh, menggeleng, belum, tidak ada keberanian untuk itu.

“Tapi, Mamamu berhak tahu kalau anaknya sedang mengandung.” Ibu Rose berdiri, menghampiri, mengambil alih pekerjaanku. Aku sedikit bergeser.

“Nanti pasti Mita kasih tahu kok.” Ibu Rose tersenyum tipis.


“Eh, itu Rinai main sama siapa, Bu?” Mataku memicing, penasaran, melihat Rinai bermain ayunan bersama seorang perempuan. Aku melihatnya dari kaca jendela. Ibu Rose mendongak, tersenyum, “Oh, itu, ponakan Ibu.”

“Kok Mita baru lihat ya?” Aku melihat Rinai sudah akrab dengan perempuan itu.

“Baru tadi pagi dia tiba disini, dari Bandung, namanya Dara,” Ibu Rose menjelaskan. Aku ber-oh kemudian. Rinai terlihat senang bermain dengan Dara. Aku berjalan menuju taman belakang, menghampiri mereka berdua. Dara tersenyum saat melihatku menghampirinya. Dia lantas mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangannya, “Mita, Bundanya Rinai.” Dia gantian menyebutkan namanya.

“Sudah berapa bulan?” tanyanya dengan sopan.

“Baru tiga bulan,” jawabku. Karena gerimis, kami memutuskan untuk melanjutkan perbincangan di dalam rumah. Rinai lebih memilih untuk tidur siang. Dara bercerita banyak hal, dia baru saja lulus SMA, dia yang ternyata anak yatim-piatu. Aku terenyuh, menatap matanya yang teduh kini berkaca-kaca.

***

Ruang tengah cukup ramai malam ini, berkumpul bersama. Anak-anak sibuk dengan mainannya masing-masing. Aku duduk di sofa bersama Ibu Rose, menyimak. Rinai asyik mengelus-elus kucing milik Dara. Anak yang lain mendekat, penasaran, ingin ikutan mengelus kucing itu. Dalam sekejap rusuh hebat, gaduh. Anak-anak dengan usil mengejar kucing itu, gemas sendiri, entah kalau tertangkap ingin diapakan kucing itu. Dara tidak tinggal diam, berteriak-teriak, sibuk melarang, “Aduh, jangan dong. Kasihan, nanti dia ketakutan!!”

Maka paginya, Dara langsung membeli kandang mini untuk kucing kecilnya. Selalu di tenteng kemana-mana, setiap waktu, takut kalau anak-anak akan mengejar-ngejar kucingnya lagi. Saat kutanya, dia hanya menjawab seadanya, “Semalam saja Ibunya dikejar-kejar, apalagi anak-anaknya, bisa dibikin sate sama mereka.” Aku hanya tertawa mendengar Dara mengutuk perbuatan anak-anak semalam.



Satu bulan kemudian, aku menelepon Mama, mengabari tentang kehamilanku. Mama sangat senang mendengarnya. Maka tanpa ba-bi-bu, Mama datang satu jam kemudian. Dua tangannya menenteng dua plastik besar. Satu plastik berisi buah-buahan, dan satunya lagi berisi baju-baju ibu hamil. Aku menelan ludah, Mama memaksa, menyuruhku mencoba salah satu baju yang dibawanya. Lagi-lagi aku nurut saja. Lagi pula semua bajuku juga sudah tidak muat. Jadinya, aku terpaksa memakai baju terusan selutut. Nah, kalau begini, aku benar-benar kelihatan hamil tua. Padahal, baru juga menginjak empat bulan. Mama tersenyum melihatku. Senang, sebentar lagi dapat cucu. Aku hanya menyeringai.


Sudah hampir satu bulan aku tidak pulang. Sungguh, aku khawatir dengan Wahyu. Entahlah, aku enggan untuk mengangkat teleponnya. Dia selalu menghubungiku setiap jamnya, dan aku tidak pernah mempedulikannya. Aku mengibaskan tangan, membuang angan itu jauh-jauh. Mobilku sudah sampai, pelan memasuki halaman sekolah Rinai. Aku bergegas, melirik jam ditangan, aku telat menjemputnya hampir sepuluh menitan. Aku langsung menghentikan langkahku, menatap jerih, melihat Wahyu bersama Rinai berjalan ke arahku.





Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini