Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 5


Buat apa? Aku sudah tidak peduli. Wahyu juga pasti memilih merayakannya dengan wanita itu.



Sudah beberapa hari aku bersikap dingin kepada Wahyu. Selalu diam saat Wahyu mencoba mencari perhatian. Sekuat mungkin aku berusaha bertahan. Meredam amarah. Ini semua demi Rinai. Aku tidak mau Rinai melihat Ayah dan Bundanya bertengkar. Aku bersikap seperti tidak terjadi apa-apa ketika ada Rinai dirumah.


“Mita.. Bicara sama aku. Jangan kayak gini.” Wahyu mengoyak lenganku. Aku tergugu menatapnya. Wahyu masih mencengkram lenganku. Sebelumnya Wahyu tidak pernah sekasar ini padaku.

“Aku mau kamu jauhi wanita itu!” Aku membuang muka.

“Maaf, aku nggak bisa.” Cengkraman tangan Wahyu mengendur.

“Kenapa!” Aku membentaknya, menarik kerah kemejanya.

“Kamu cinta sama dia, hah? Jawab!!” cercaku lagi. Wahyu menunduk. Entah apa dia merasa bersalah.

“Dia hanya rekan kerjaku saja. Hanya sebatas itu, Mit.” Wahyu mencoba menyentuh tanganku. Namun aku menghindar. Aku bergeming demi mendengar isakan tangis yang terdengar samar. Rinai? Sejak kapan dia berdiri disitu? Aku berniat menghampirinya. Tapi Wahyu mendahuluiku, membuat langkahku terhenti. Aku menepuk jidat, kenapa aku bisa lupa kalau Rinai ada dirumah.


“Rinai marah sama Bunda?” tanyaku saat kami bertiga sarapan bersama. Aku mencoba mencairkan suasana yang beku. Rinai hanya menggeleng. Wahyu berdehem.

“Rinai marahnya sama ayah!” Rinai membanting sendoknya dipiring. Wahyu terkesiap, begitu juga dengan aku. Rinai sangat mengerti betul tentang kondisi ini. Wahyu memilih bungkam, enggan mencari masalah. Padahal aku menanti apa reaksi Wahyu selanjutnya.


Siang hari, setelah menjemput Rinai, aku kembali mengunjungi Panti itu. Rinai juga senang-senang saja saat kuajak menyambangi Panti. Aku pikir Rinai tidak akan kesepian berada di Panti. Setidaknya hal ini membuat Rinai lupa dengan kejadian tempo hari.


Aku membantu Ibu Rose menyiapkan makan siang untuk anak-anak. Rinai duduk manis diruang tengah. Aku membelai rambutnya, “Bunda antar kamu main ayunan yuk?” tawarku. Rinai menggeleng cepat.

“Kenapa?” aku duduk disebelahnya.

“Rinai takut.. Bunda jatuh lagi seperti dulu,” tolaknya.

“Bun, malam ini kita tidur disini aja ya. Rinai nggak mau pulang.” ia merajuk, mengalihkan pembicaraan.

“Nanti kalau ayah nyariin kamu gimana?” kilahku. Aku sebenarnya mau-mau saja. Tapi Wahyu? Aku menggigit bibir. Akhirnya aku mengiyakan. Ibu Rose juga tidak akan keberatan.


Aku mematung didekat jendela, melipat tangan didada. Menatap butir-butir air tumpah dari langit. Sejak tadi sore sudah turun hujan. Aku jadi khawatir, cemas memikirkan Wahyu. Apa dia sudah pulang? Atau masih di kantor bersama wanita itu? Barangkali begitu. Angin berhembus kencang, aku segera menutup bingkai jendela, merapatkan tangan. Tidak sengaja pandanganku terpaku pada sebuah kalender yang menggantung didekat jendela. Aku mengaduh. Hampir saja aku melewatkan peristiwa penting. Bukankah besok Wahyu berulang tahun? Aku melirik jam ditanganku. Pukul sebelas malam. Sebelum pergi, aku mencium kening Rinai yang sudah terlelap. Aku memang tidak mengajaknya dalam urusan ini. Aku membiarkan dia tidur dalam buaian mimpi indahnya. Lagian diluar juga masih hujan.


Aku langsung menuju toko kue. Tidak susah mencari toko kue yang masih buka tengah malam begini. Setelah selesai membeli kue, aku buru-buru menyibak air hujan. Saking terburu, tanganku sampai gemetar membuka pintu mobil. Alhasil, aku cukup basah kuyup. Tidak masalah, yang penting kuenya tidak hancur karena kehujanan. Aku melajukan mobil sedikit cepat, berhitung dengan waktu, aku harus sampai dirumah tepat pukul duabelas.


Aku turun dari mobil. Hujan cukup mereda. Aku melipat dahi, melihat mobil yang terparkir didepan rumah. Sangat jelas, ini bukan mobil milik Wahyu. Lantas mobil siapa? Apa jangan-jangan? Aku sangat penasaran, berlarian kecil menuju pintu. Aku mendorong pintu yang dalam keadaan tidak terkunci. Mataku menyapu seluruh ruangan. Sempurna gelap gulita. Aku melangkah pelan, menekan saklar yang ada didekat pintu. Ruangan terang. Dalam sekejap aku menoleh. Lihatlah, siapa yang sedang tiduran mesra berdua di sofa itu.

Tanpa sengaja kue yang ada ditanganku terjatuh begitu saja. Berhamburan di lantar, hancur, sehancur hatiku saat ini. Wahyu mencoba bangkit, sempoyongan berjalan ke arahku. Mencoba memanggilku berulang kali. Aku tidak mempedulikannya. Dia terjatuh, tersuruk-suruk. Aku tidak pernah tahu jika Wahyu suka mabuk-mabukan. Aku membiarkan. Wanita itu membantu Wahyu berdiri. Aku menghela nafas panjang, pipiku sudah berlinangan airmata. Aku bergegas meninggalkan rumah itu. Hujan kembali turun, lebih deras. Petir juga menggelegar, membentuk akar serabut dilangit. Aku tak bisa berhenti menangis. Apa yang barusan aku lihat cukup membuat hatiku tak karuan. Remuk-redam.


“Kamu darimana saja? Sudah lewat tengah malam begini.. Astaga! Kenapa menangis?” Ibu Rose menunggu di teras dengan cemas. Mengusap pipiku, lalu memelukku, mengusap rambutku. Tangisanku semakin menjadi-jadi. Ibu Rose menenangkan, mengajakku masuk. Beliau bertanya dengan penasaran. Aku sama sekali tidak menjawab satupun. Aku lebih memilih berdiam diri dikamar. Menangis lagi. Menata hati yang kini tinggal puing-puing, terlumat habis tak bersisa. Mengeluh dalam hati. Kenapa semua ini menimpaku saat aku tengah hamil?


Pagi sekali, ketika embun-embun membasahi rerumputan. Air sisa-sisa hujan semalam yang menetes dari dahan kering. Aku memandangnya dengan tatapan kosong. Berdiri di pinggir teras belakang. Tanpa terasa satu titik bening menetes dari kelopak mataku. Aku memang cengeng. Aku mengusap perutku. Sedih membayangkan nasib rumah tanggaku. Aku bergeming, mendongakkan kepala, guntur tiba-tiba menyalak. Hujan rintik kembali membungkus bumi. Aku menyeka pipiku, menoleh ke belakang. Aku mendengar suara mesin mobil datang. Aku berjalan gontai, melihat siapa yang datang. Aku mengatupkan rahang begitu tahu jika mobil Wahyu sudah berada di halaman Panti. Aku berinisiatif menemui Ibu Rose di ruangannya. Benar dugaanku, Wahyu ada di ruangan Ibu Rose. Aku menguping dari balik pintu. Mereka terlibat dalam obrolan yang cukup serius. Aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas.




Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini