Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 4

Ibu Rose mengiyakan saja, tidak mau mendebat lagi. Rinai mengangguk paham. Aku tahu, Rinai bisa diandalkan dalam hal ini. Rinai bisa dipercaya.

Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Aku memaksakan diri untuk menyetir mobil sendiri. Meski sejak tadi tak henti-henti Ibu Rose sibuk mencegah. Khawatir sendiri melihatku yang masih sempoyongan.

“Jangan, Mit. Bahaya nanti!” Beliau mencegah untuk terakhir kali. Aku berusaha meyakinkannya. Akhirnya beliau hanya bisa melambaikan tangan saat mobilku bergerak mundur, keluar dari halaman Panti.


Layar handphone-ku berkedip. Satu sms masuk. Aku membuka. Membaca sekilas. Isinya? Wahyu pulang malam ini! Bahkan, dia sudah menunggu dirumah. Cemas saat tidak mendapati aku dan Rinai tidak ada dirumah. Aku sengaja tidak memberitahu Rinai. Biar jadi surprise untuknya.


Setibanya aku dirumah, aku melihat Wahyu sudah berdiri dipelataran rumah, tangannya masih menenteng koper. Wahyu mendekat, aku menaruh telunjukku dibibir, mengisyaratkan Wahyu agar diam. Hampir saja Wahyu kelepasan, saat melihat aku berjalan tertatih. Aku berniat menuntun Rinai keluar dari dalam mobil. Namun, Wahyu mencegah. Dia berbisik, “Biar aku saja ya.”


Hitungan detik, suara Rinai menggema. Menangis terharu dipelukan Wahyu. Rinai menangis histeris, saking kangennya. Wahyu menggendong Rinai masuk rumah. Aku menyeret koper miliknya.


Rinai sepertinya enggan melepas pelukan Wahyu. Rinai terlihat sangat manja, tidak seperti biasanya. Aku tersenyum melihat Wahyu yang tidak mengerti. Mengangkat bahu. Aku duduk disampingnya, mengerutkan dahi, sepertinya aku belum kuat menaiki anak tangga. Aku meluruskan kaki, Wahyu menatap kakiku dengan heran.

“Tadi cuma kepleset waktu main sama Rinai di Panti.” Jelasku sebelum dia sempat bertanya.

“Aduh, lain kali hati-hati dong, yank.” Wahyu mencoba menyentuh tumitku. Aku mengaduh.

“Kita ke rumah sakit saja ya?” sarannya menatapku cemas.

“Nggak usah. Paling besok juga sudah baikan.” Sergahku. Tetapi sakit di kakiku cukup membuatku tidur bersama Rinai malam ini, di lantai bawah.


Sarapan pagi ini cukup spesial. Tadi aku bangun pagi-pagi sekali. Memasak nasi goreng secara otodidak. Dan aku tak menyangka jika rasanya akan seenak ini. Dengan senang aku menuangkannya ke piring Wahyu dan Rinai. Wahyu tersenyum, menyendokkan ke mulutnya. Dia bilang ini nasi goreng terenak yang pernah dia makan. Aku senang dibuatnya. Semoga saja Wahyu tidak sedang berbohong demi membuatku senang. Wahyu mengacungkan dua jarinya, “Sumpah, enak banget. Iya kan, Rinai?” ucap Wahyu. Rinai mengangguk setuju. Aku tertawa kecil. Berdehem. Aku memegangi perutku. Segera aku menutup mulutku. Mual-mual. Aku berlari kecil menuju kamar mandi. Wahyu menyusulku, memijat tengkukku.

Rasanya semua isi diperutku ingin keluar. Tapi bagaimana bisa? Aku saja belum makan dari kemarin. Aku menyeka mulutku dengan air. Wahyu khawatir melihatku. Kepalaku terasa berat, aku menyandarkan tubuhku di dinding. Wahyu merengkuhku, membantuku duduk di sofa. Dia cekatan mengambil segelas air putih hangat. Aku meminumnya satu tegukan saja. Lalu dia memijat pelipisku. Aku menahan tangannya.

“Aku udah nggak apa-apa. Kamu cepetan antar Rinai, nanti keburu telat.” Wahyu menyelimutiku sebelum ia pergi mengantar Rinai.


Beberapa saat aku tertidur. Rasa pusing itu baru hilang. Aku lihat Wahyu sudah pulang. Dia hari ini tidak pergi ke kantor, memilih untuk menemaniku dirumah.
“Ayolah, ke dokter aja yuk.” Wahyu masih memaksa. Aku menggeleng cepat. Tidak mau ya tidak mau! Bisa gawat jika Wahyu tahu kalau aku hamil. Aku ingin ini menjadi kejutan di hari ulang tahun Wahyu yang tinggal dua bulan lagi. Masih cukup lama memang, namun aku sudah tidak sabaran menanti hari itu tiba. Senang-senang saja aku membulati tanggal-tanggal di kalender dengan spidol merah. Aku tidak ingin terlewat seharipun.

***

Satu bulan berlalu, perutku sudah agak membesar. Tapi tidak cukup untuk memancing orang berpendapat jika aku tengah hamil. Aku bernafas lega. Namun aku harus pintar-pintar menghindar, mengingat setiap tidur Wahyu sering memelukku dari belakang. Aku beralasan banyak hal.


Wahyu mengernyitkan dahi, “Kok pakai baju cowok lagi?”

“Ng.. Lagi nggak mood aja. Pakaian cewek bikin gerah.” Aku meringis. Aku tidak ingin Wahyu curiga jika perutku semakin membesar.

“Nggak mood juga pakai high heels?” Wahyu nyengir menunjuk kakiku. Aku garuk-garuk kepala.

“Takut kepleset lagi. Sumpah, itu sakit banget.” Aku memasang ekspresi hiperbolis. Wahyu tertawa geli. Aku mencembungkan pipi. Apanya yang lucu? Nggak tahu apa, susahnya orang hamil gimana?


“Eh, bentar deh. Ada yang berubah dari kamu. Tapi apa ya? Hmm.” Wahyu meletakkan telunjuk didagunya. Berfikir. Menatapku dengan serius. Aku menciut. Takut sekali Wahyu bisa menebak kehamilanku. Aku berdiri dari sofa. Wahyu menarik tanganku.

“Ah ya, pipi kamu tambah tembem.” Wahyu mencubit pipiku dengan gemas. Tertawa. Aku menepis tangannya. Kami berhenti tertawa saat mendengar suara pintu diketuk. Wahyu membukanya. Wanita itu lagi? Aku menelan ludah. Sempat-sempatnya dia mencium pipi Wahyu, sementara aku berdiri menyaksikan semuanya. Wahyu juga tidak menolak. Api cemburu segera menyulut dinding hatiku. Aku berjalan keluar melewati mereka berdua. Wahyu sempat menahanku, aku menampik kasar tangannya. Wahyu sangat tahu jika aku cemburu. Dia berusaha mengejarku, menahan pintu lift yang akan tertutup. Aku hanya menatapnya dengan airmata dipipi. Besok-besok aku tidak sudi menginjak kantornya. Sudah cukup dua kali aku melihat Wahyu bermesraan dengan wanita itu.

***

“Ada masalah apa?” Ibu Rose mendekat, merengkuh pundakku.

“Wahyu, dia berani bermesraan dengan wanita lain didepan mataku, Bu.” Aku menghela nafas.
“Jangan terlalu mencemaskan hal itu. Kasihan calon bayimu. Wahyu pasti tidak berniat untuk itu.” Ibu Rose mengelus punggungku. Aku menggeleng.

“Tidak, Bu. Semakin hari aku semakin merasa Wahyu belum bisa mencintaiku.” Aku terpekur dalam. Menangis didekapan Ibu Rose.

“Sudahlah, katanya kamu ingin merayakan ulang tahun Wahyu di Panti ini?” Beliau mencoba menghiburku. Membanting topik pembicaraan. Aku mengatupkan bibir, enggan membicarakan rencana perayaan itu.








Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini