Selasa, 13 Maret 2012

Cinta Terakhir : part 9


Apa yang dia katakan barusan? Aku menatapnya jengah. Penantianku selama ini sia-sia, aku yang telah memberikan dia banyak waktu, tidak pernah membuahkan hasil yang baik. Kupikir, dengan memberinya waktu untuk sendiri akan membuat dia menghargai posisiku. Tetapi nyatanya apa? Aku salah, salah berharap berlebihan seperti ini. Aku masih menahan emosi, sekaligus air mata. Wahyu tiba-tiba bersimpuh, aku terperangah, aku tidak mengerti. Untuk pertama kalinya, aku melihat Wahyu menangis. Yang pada akhirnya membuatku menangis juga.

“Berdiri, ‘Yu. Aku nggak suka lihat kamu seperti ini. Aku tidak akan meminta kamu untuk mempertahankanku lagi.” Suaraku bergetar memohon agar dia bangkit. Aku meraih kedua lengannya, membujuk agar ia mau berdiri. Tetapi ia tetap keukeuh, aku tidak bisa berbuat lebih. Aku membiarkan saat dia memeluk kakiku. Satu per satu air mata menetes dari sudut mataku. Mulai sekarang, aku harus belajar untuk merelakan. Tuhan, bila ini yang terbaik, aku akan melapangkan hati untuk menjalaninya.


Dua jam kemudian, aku hanya mengurung diri di dalam kamar, menangis tanpa suara. Aku butuh waktu untuk sendiri. Tidak peduli di luar sana, meski Ibu Rose dan Dara bergiliran mengetuk pintu berkali-kali, membujuk agar aku mau minum vitamin dan susu seperti biasanya. Aku sedang tidak mau diganggu siapapun.

***

Hari-hariku bertambah kelam. Semuanya memang sudah berubah. Tidak ada lagi mawar putih setiap paginya. Wahyu juga menghilang, entah kemana. Kini aku hanya secuil karang ditengah hempasan ombak bertubi-tubi. Terpuruk sendiri menatap bulir-bulir air hujan dari jendela ini. Tanganku erat merengkuh teralis jendela, menyandarkan keletihan hatiku disana. Aku lelah dengan keadaan ini.

“Mita.” Ibu Rose menegur dari balik pintu. Aku tidak tertarik untuk membuka pintu.

“Mita baik-baik aja, Bu.” Jawabku, supaya Ibu Rose tidak cemas lagi, aku juga sudah bosan, setiap jam beliau selalu mengetuk pintu kamarku.

“Keluar yuk, kita sarapan bareng, semuanya sudah menunggu di meja makan.” Ibu Rose membujuk, dengan suara yang lembut.

Aku menolaknya, Ibu Rose menyerah, menghilang dari depan pintu kamarku. Aku kembali menatap keluar, tidak mereda, hujan malah bertambah deras, angin kencang juga menyertainya. Dari jendela ini, aku bisa melihat ayunan itu bergerak diterpa angin, tiba-tiba teringat dengan Rinai. Aku beranjak, melangkah menuju pintu, aku memutar kuncinya. Aku ingin menemui Rinai, barangkali ia ada disini. Aku berjalan tertatih menuju ruang tengah, aku termenung, tidak ada Rinai disana, hanya ada Dara dengan kucing-kucingnya yang sedang, entahlah, barangkali menyisir bulu kucingnya. Aku hanya menyeringai, memutuskan untuk kembali ke kamar saja. Namun, baru dua-tiga langkah saja, tiba-tiba Ibu Rose datang menutup jalanku. Ibu Rose berkacak pinggang, firasatku sudah tidak enak, pasti dipaksa untuk sarapan. Aku menurut saja saat beliau menyeret tanganku ke arah meja makan. Aku duduk, beliau ribut menyiapkan makananku, bersikukuh menunggu sampai aku menghabiskannya. Aku menyeringai, akhirnya hanya memainkan sendok diatas piring, tidak bernafsu untuk menyendok walaupun hanya satu suapan. Ibu Rose berdehem, sepertinya kesal menghadapiku. Aku hanya meliriknya dengan ekor mataku.

“Ayolah, Mit. Bayi kamu butuh semua makanan ini. Jangan egois.” Ibu Rose masih sabar untuk membujukku lagi. Aku kira beliau akan meledak-ledak.

“Mita udah nggak kuat, Bu. Rasanya pengen lari dari semua ini.” Aku meletakkan sendok, menyibak poni di dahiku.

“Mita yang Ibu kenal bukanlah seorang pengecut.” Ibu Rose berkata pelan, meraih tanganku, menguatkan.

“Ini bukan soal pengecut atau tidak. Mita juga manusia biasa, yang bisa padam dengan satu sulutan emosi.” Aku hampir menangis, masih kutahan.

“Kamu boleh kecewa dengan Wahyu. Tetapi, calon anakmu jangan kamu terlantarkan. Sekarang, makan ya.” Beliau sekali lagi membujuk lirih. Aku meraih sendok itu kembali, namun hanya sampai lima suapan saja. Ibu Rose lega melihatku, memaksa lagi untuk menghabiskan segelas susu, tak lupa dengan vitaminnya. Aku menyeka dahi. Setelah selesai, aku kembali ke kamar, meratap disana.

***

Dua minggu berlalu dengan cepat. Aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Ada Ibu Rose yang senantiasa mendukungku, memberi semangat saat aku terjatuh. Aku mulai menjalani hari-hariku seperti biasanya. Meskipun, aku belum bisa melupakan Wahyu. Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah membuang setiap kenangan bersama Wahyu. Biarkan hati menjadi tempat yang paling rahasia untuk menyimpannya.



“Kita ke rumah sakit sekarang!” Ibu Rose berseru dengan suara bergetar. Matanya merah, menangis? Entahlah. Beliau bergegas, buru-buru menarik lenganku. Aku melihat sudah ada satu taksi didepan Panti. Setiap kali aku bertanya, “Siapa yang sakit?” Ibu Rose langsung terdiam. Tidak berani menatapku. Aku dibiarkan—dengan rasa ingin tahuku—bertanya-tanya dalam hati.


Tiba di rumah sakit. Aku mematung, Ibu Rose melangkah lebih cepat, berhenti ketika mendapati aku tidak berjalan di sampingnya. Ibu Rose menoleh ke belakang, menghampiri, menggandeng tanganku. Sepanjang melewati koridor rumah sakit, aku hanya melipat dahi, sementara rasa penasaran tumbuh liar di hatiku. Ibu Rose menyuruhku untuk menunggu di luar, sedangkan beliau masuk ke sebuah ruangan, dan aku tidak boleh ikut. Sepuluh menit berselang, Ibu Rose sudah keluar dari ruangan itu. Aku melihat beliau menyeka pipinya dengan punggung tangan, ada secarik kertas di tangannya. Aku ingin bertanya, tidak sempat, aku memeluknya. Beliau tersedu-sedu di pundakku.

“Ada apa, Bu? Apa yang terjadi?” Akhirnya aku bertanya. Aku melepas pelukanku. Bahunya masih naik-turun, menangis.

“Ibu ingin menunjukkan sesuatu ke kamu.” Ibu Rose mengusap pipinya, bersiap meraih tanganku. Aku berjalan mengekor di belakangnya menuju pelataran rumah sakit, masuk ke dalam taksi. Ibu Rose menyerahkan secarik kertas tadi ke sopir taksi, sopir itu membaca sekilas, lantas mengangguk. Lagi-lagi aku dibuat penasaran, menelan ludah, menoleh ke Ibu Rose, melihatnya yang masih sibuk mengusap air mata. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?


“Eh, kok kesini, Bu?” Aku bertanya spontan, kaget bukan main. Ibu Rose menatapku dengan matanya yang berair.




Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini