Minggu, 26 Februari 2012

Diantara Persimpangan Hati

‘Kreekk’

Terdengar engsel pintu diputar. Aku membuka pintu itu saat aku mulai penasaran dengan orang yang berada diteras depan sejak tadi.

“Masuk mas? Diluar dingin,” tawarku melempar senyum. Diluar memang tengah hujan deras disertai angin kencang. Orang itu ragu menerima tawaranku.

“Nggak apa-apa kok mas. Jangan sungkan,” bujukku dengan senyum ramah. Aku lega, akhirnya orang itu mau juga. Aku mengajaknya duduk dibangku dekat jendela. Aku juga membuatkan dia secangkir kopi.

“Aduh maaf saya jadi ngeropotin,” ucapnya sungkan.

“Cuma secangkir kopi doang kok,” aku mengibaskan tangan. Kami duduk saling berhadapan.

“Oh ya, toko buku ini milikmu?” tanyanya seraya melihat sekeliling.

“Iya, sebenarnya punya Mama tapi yang ngurus aku,” jawabku.

“Hebat dong!” komentarnya kemudian.

“Masih biasa aja mas,” sergahku.

“Jangan panggil ‘mas’, panggil Wahyu aja ya,” sarannya. Aku mengangguk pendek. Barangkali dia tidak suka dengan sebutan ‘mas’. Kami mengobrol banyak hal. Saling bertukar pengalaman. Tertawa kecil. Terasa menyenangkan sekali orang ini. Meskipun baru saja mengenalnya.


“Temannya kak Mita ya?” tanya Dara yang tiba-tiba sudah berdiri disampingku. Karena keasyikan mengobrol sampai-sampai aku tidak menyadari kehadiran Dara. Aku langsung membimbing Dara untuk duduk. Dara mengulurkan tangan, berniat mengajak Wahyu berkenalan. Namun naas, tangan Dara menyambar cangkir itu. Cangkir yang masih ada isinya separuh itu pun jatuh. Pecah berkeping-keping. Aku segera memberesi pecahan beling itu. Dara nampak gentar, ikut merunduk, tangannya meraba-raba lantai. Aku segera menepisnya. Takut-takut tangan Dara malah terluka.


“Kak Wahyu pacarnya kak Mita ya?” ceplos Dara kemudian. Aku sangat kaget. Dan buru-buru mengelak, “Bukan Dar, baru kenal satu jam yang lalu.”

Wahyu hanya tersenyum tipis. Jadinya, kami bertiga terlibat dalam obrolan ringan. Dara malah terlihat sangat antusias. Aku jarang melihat Dara tertawa lepas seperti sekarang ini. Dara memang buta, tapi nalurinya cukup kuat untuk membedakan mana orang baik dan mana yang bukan.

Setelah hujan cukup reda, Wahyu pun berpamitan. Dara sedikit kecewa.
“Besok main-main kesini lagi ya kak,” rajuk Dara yang ikut mengantar Wahyu sampai depan pintu. Wahyu memegang bahu Dara seraya berucap, “Pasti!”

“Thanks buat kopinya Mit,” ucap Wahyu lagi. Dara melambaikan tangan. Aku jadi heran. Jangan-jangan Dara.. Ah, mana mungkin?

“Cowok tadi pasti cakep deh kak!” celetuk Dara cengar-cengir.

“Kamu suka yaa?” godaku, menyenggol pelan lengannya. Pipinya langsung merah padam.
***

“Kak Mita..”

“Apa neng?” jawabku tanpa menoleh. Aku sedang sibuk membuat laporan keuangan bulanan.

“Orang yang kemarin itu belum datang lagi?” tanyanya mengerutkan kening.

“Hmm orang yang mana?” Aku pura-pura tidak tahu. Padahal aku tahu yang dimaksud Dara adalah Wahyu. Siapa lagi kalau bukan dia?

“Tunggu aja, nanti pasti datang,” jawabku memberinya sedikit harapan untuk tetap menunggu. Lalu Dara, tanpa disuruh, duduk manis disampingku. Dia asyik memainkan kuku-kukunya diatas meja layaknya ora yang sedang gelisah.
Aku meliriknya diam-diam. Sudah hampir dua jam Dara duduk disampingku, dan sedikitpun tidak mau berpindah posisi. Aku sudah membujuknya, namun gagal. Dia terlalu keras kepala untuk menunggu kedatangan Wahyu. Baiklah. Nanti kalau Dara sudah bosan pasti sangat mudah untuk dibujuk.

“Uhh, kok nggak datang sih?” keluhnya. Aku hanya memandangnya heran.

“Lihat besok aja ya, siapa tahu dia bakal mampir kesini.” Aku menepuk-nepuk pundaknya. Dara mengangguk tertahan. Tidak seperti biasanya Dara bertingkah seperti ini. Aku membuang nafas. Benar-benar tidak mengerti.

***

“Eh, mau kemana neng?” tanyaku menarik lengannya.

“Aku cuma mau duduk dikursi depan,” jawabnya, lalu berjalan lagi. Aku membiarkan. Namun aku tetap memantaunya lewat pintu kaca. Aku menyeringai, pasti dia sedang menunggu Wahyu lagi!

 
Tiba-tiba..


“Kak Mita!! Lihat siapa yang datang!” Dara berseru heboh. Aku menengok dari balik tirai bambu. Wahyu? Pantas saja Dara sampai heboh begitu. Wahyu tersenyum takzim kepadaku. Bahkan, senyum itu mampu membuatku meleleh dalam sekejap.

Aku melamun sejenak, terpesona sendiri oleh senyum itu. Dara mengajak Wahyu masuk kedalam, dan Wahyu pun dengan senang hati menuntun Dara. Wahyu tertarik untuk melihat-lihat buku. Aku menemaninya untuk memilih buku. Dara lebih memilih untuk duduk saja. Enggan ikut mencarikan Wahyu buku.

“Sejak kapan Dara mengalaminya?” tanya Wahyu hati-hati. Takut membuatku tersinggung.

“Sejak kecil Dara sudah buta,” jawabku.

“Aku bangga sama Dara. Dia bisa punya semangat sebesar ini.” Wahyu terlihat kagum. Matanya beralih menatap Dara. Aku membatin, ‘Ya, sejak bertemu kamu hidup Dara berubah drastis.’

***

Hari berikutnya. Wahyu tidak datang sendirian. Kali ini ada perempuan cantik yang menggelayut di lengannya. Wanita itu siapa? Pacarnya? Barangkali.

“Itu kak Wahyu ya?” sapa Dara berjalan cepat dengan tongkat ditangannya. Tanpa ba-bi-bu, Dara langsung menarik lengan Wahyu. Barangkali ingin mengajak Wahyu duduk bersama. Tapi aku menarik tangan Dara. Dia tidak tahu kalau Wahyu tidak datang sendirian.

“Kak Mita.. Kenapa kak Wahyu nggak ditawarin duduk sih?” protes Dara. Aku menatap Wahyu dan perempuan itu bergantian. Aku menggigit bibir bawahku. Takut kalau ini akan menyakitkan untuk Dara.

“Nggak apa-apa kok Dar, aku kesini cuma mampir sebentar. Mau ngasih ini, jangan lupa datang ya?” ucap Wahyu seraya menyerahkan undangan berwarna gold dengan aksen pita diatasnya. Tanganku terpatah-patah menerimanya. Wanita disamping Wahyu pun tersenyum kepadaku. Tapi sayang, aku sama sekali tidak berminat untuk membalas senyumnya. Wahyu lantas berpamitan. Aku diam memaku. 


  Dara dengan sengaja membanting tongkatnya. Aku sedikit terkejut. Mungkin itu reaksi dari apa yang barusan dia dengar. Marah? Barangkali itu yang sedang Dara lakukan. Aku melihat Dara menyeka kedua pipinya, bahunya naik-turun. Airmata dengan cepat berlinang. Aku mendekapnya, mengelus-elus kepalanya. Bisa dibayangkan betapa hancur mimpinya kini. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa kupungkiri, aku juga memang sedikit menaruh hati pada Wahyu. Tapi itu sebelum aku tahu semuanya.












Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini