Minggu, 26 Februari 2012

Detik Bersamanya, Part 1



 Ayunan tua di taman itu kembali berderit, maju dan mundur. Rantai besi tua yang sudah mengarat, warnanya telah luntur di makan waktu. Benar saja, usia ayunan itu sama dengan umurku. Dua puluh tahun. Disini-lah aku menghabiskan masa-masa kecilku. Masa yang amat sangat tidak beruntung, tidak seperti mereka-mereka yang kebanyakan hidup bahagia.

Tetapi sekarang, lihatlah, aku masih saja setia duduk di ayunan itu setiap pulang dari kantor. Tidak peduli meski senja telah hilang, nyatanya bulan tetap menggantung di punggung langit, menerangi malam sepi. Bagiku tidak ada hal yang menyenangkan selain bermain ayunan itu.


“Kebiasaan deh!” tegur seseorang berkacak pinggang di dekat tiang ayunan. Aku nyengir. Dia selalu tahu apa saja yang menjadi rutinitasku setiap malam menjelang.

“Kan cuma beberapa menit doang kak. Masa nggak boleh sih?” aku meringis, memperlihatkan gigi gingsulku.

“Boleh sih boleh, tapi jangan keseringan pulang larut malam. Kamu itu cewek, kalau ada apa-apa sama kamu gimana?” dia mengomel-omel. Aku menahan tawa, bibirku menirukan setiap gerakan mulutnya kalau sedang marah. Alhasil, aku di timpuk dengan stopmap. Aku tidak pernah merasa keberatan saat dia memarahiku. Bagiku itu adalah salah satu cara dia menunjukkan perhatiannya. Aku sangat bahagia mempunyai kakak seperti dia.


“Kakak kan juga cewek?” aku menunjuk hidungnya, menggoyangkan telunjukku ke kanan dan kiri. Kak Mita menampik tanganku.

“Iya... Tapi aku kan bisa jaga diri. Kamu? Lihat setan aja nangis!” dia mengucek matanya, menirukan gaya anak kecil yang sedang menangis, meledekku. Aku balas menyeringai, menginjak kakinya dengan sepatuku yang ber-hak lancip. Kak Mita mengaduh. Aku tertawa terpingkal-pingkal.

“Aduh kak, kaki yang sebelah kanan belum aku injek. Sini, biar nggak ngiri.” Aku bergurau. Sejurus, buku besar yang berhasil mendarat di kepalaku dengan mulus.

“Ayo pulang!!” dia menarik lenganku. Aku mengekor di belakangnya. Ah, bagaimanalah dia jauh lebih tahu tentang segalanya. Dia adalah mercu suar terindah. Lentera yang paling bercahaya.

Kak Mita adalah orang pertama yang mengubah hidupku. Dia memberiku sebuah janji masa depan yang begitu cerah. Dia membiayai sekolahku hingga lulus. Dia juga yang menanggung segala biaya hidupku. Umurnya lima tahun lebih tua dari usiaku. Sejak sepuluh tahun yang lalu aku tinggal bersama kak Mita, di sebuah rumah yang amat besar. Dia hanya tinggal sendirian di rumah yang sangat megah itu. Kadang aku pusing, kira-kira bagaimana ya membersihkan rumah sebesar itu. Orang satu kampung pun tidak akan menjamin rumah itu bersih dalam satu hari. Kak Mita hanya tersenyum saat menunjukkan kamar baruku. Maka tanpa banyak bicara, aku menaiki ranjang besar yang empuk itu. Dengan kegirangan aku loncat-loncat di atas kasur. Tidak peduli meski kaki kotorku membuat bercak noda di seprai yang putih bersih. Kak Mita malah tertawa geli melihat tingkah konyolku. Dia tidak pernah melarang ini-itu (kecuali soal pergi ke taman setiap malam). Kak Mita selalu berkata, “Anggap saja sebagai rumah kamu sendiri. Jangan sungkan-sungkan.”


Lihatlah, bagaimana dia amat menyayangiku. Meskipun aku hanya sebatas ‘adik angkat’nya. Aku juga memegang jabatan yang cukup penting di perusahaan milik kak Mita. Menjadi asisten pribadi kak Mita (sebenarnya dia memberiku pilihan lain). Selalu membuntuti kemana pun dia pergi. Senang-senang saja aku melakukannya. Kak Mita juga tidak protes ketika aku rusuh bertanya banyak tentang ini-itu.



“Dar, nanti malem jangan ke taman itu lagi ya. Langsung pulang aja! Aku takut terjadi sesuatu sama kamu.” Dia berpesan, sudah dua kali mengatakan hal yang sama.

“Oke bos!” aku hormat ala upacara bendera. Kak Mita tersenyum, menepuk pundak, dan mencium keningku. Pagi ini dia pergi ke luar kota (lagi). Dalam rangka mengekspansi potensi yang ada. Dengan sedikit berat hati aku melambai-lambaikan tangan, melepas kepergian kak Mita. Ah, aku ingin ikut tetapi kak Mita melarang. Menyebalkan. Sepanjang pulang aku hanya memanyunkan bibir, tangan terlipat di dada, dan ujung-ujungnya aku menangis. Benar kata kak Mita, aku memang cengeng.

Malam sepulang dari kantor aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, tidak ada acara duduk-duduk di ayunan itu. Aku lebih memilih menuruti nasehat kak Mita. Baiklah. Mungkin nanti kalau dia sudah pulang, aku akan duduk di ayunan itu lagi setiap malamnya. Tidak peduli meski harus kena timpuk stopmap atau buku besar lagi. Yang terpenting, aku akan balas menginjak kakinya.

Aku menghempaskan tubuhku begitu saja di atas kasur. Rasa bosan berkecamuk lirih di hati. Rumah sebesar ini terasa berbeda tanpa kak Mita. Tidak ada teman ngobrol. Tidak ada yang memetik gitar di beranda rumah. Aku merindukannya. Ah, padahal baru juga di tinggal satu hari. Karena jenuh, aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan malas. Aku duduk di salah satu anak tangga itu, berpangku tangan, melamun. Mataku memantulkan cahaya bulan purnama yang terlihat sempurna dari kaca jendela besar yang terletak di sampingku. Kalau kalian bertanya seberapa cantik bulan itu, maka aku akan berkata “Bulan itu secantik kak Mita! Bahkan, dia lebih dari sekadar bulan untukku.”
















Setelah bosan duduk, aku beranjak berdiri, menaiki anak tangga. Aku memutar gagang pintu dengan ragu. Kak Mita marah nggak ya jika aku masuk kamarnya tanpa izin? Ah, biasanya juga begitu. Jemariku menyentuh buku-buku tebal yang tersusun di rak buku satu per satu. Tanganku terhenti pada sebuah album foto bersampul merah hati. Album itu menarik hatiku untuk membukanya. Maka dengan cekatan aku meraihnya, sedikit berjinjit kaki, album itu terletak di rak paling atas. Dengan segera aku membukanya, halaman demi halaman, beberapa foto yang telah kusam tertempel disana. Begitu aku membuka halaman berikutnya, tertawa lepas ketika melihat foto anak balita memakai popok yang kedodoran. Aku bisa menjamin jika foto itu adalah kak Mita. Begitu sampai di halaman terakhir, aku melihat foto dua anak kecil sedang tertawa riang, muka yang berlepotan kue-kue, meniup lilin berangka tujuh. Tapi tunggu, siapa yang berdiri di samping kak Mita? Kenapa wajahnya mirip sekali denganku?







Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini