Minggu, 26 Februari 2012

Detik Bersamanya, Part 2



Aku menutup album itu. Tak mau ambil pusing soal siapa tadi yang ada di dalam foto bersama kak Mita. Aku meletakkannya ke tempat semula. Lantas bergegas menutup pintu dari luar. Malam semakin matang. Menguap lebar. Sudah saatnya aku tidur.

***
Berhari-hari dia belum pulang dari luar kota. Seminggu berlalu. Setiap kali aku mencoba menghubunginya, sia-sia. Hp-nya mati. Kenapa? Itu yang sedang sibuk kupikirkan. Biasanya dia pergi hanya dua hari. Aku sedikit marah. Itu berarti sudah tujuh hari aku tidak menyambangi ayunan itu. Apa aku harus menunggu sampai sepuluh hari? Ah, benar-benar menyebalkan.

Layar hp-ku berkedip. Satu sms masuk. Aku meraihnya. Membaca sekilas. Tertawa riang bin heboh. Isi sms itu adalah kabar baik untukku. Kak Mita pulang pagi ini!!



“Di luar kota ngapain aja sih kak? Kok lama banget? Biasanya cuma dua-tiga hari. Aku kan kangen sama kakak. Rumah jadi sepi,” aku sibuk memprotes, tanganku menyeret kopernya menuju mobil. Dia lebih banyak diam. Hanya tersenyum menanggapi celotehanku. Ah, barangkali dia kecapekan.


Aku diam-diam meliriknya. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aneh sekali, ada apa dengan dia? Aku menyentuh keningnya dengan punggung tanganku. “Kak Mita sakit? Kita langsung ke rumah sakit aja ya,” aku makin cemas.

“Nggak usah... Aku nggak kenapa-kenapa. Mungkin cuma kurang tidur,” dia mencoba tersenyum (semuanya baik-baik saja!). Meski sangat terlihat senyum itu di paksakan. Aku meremas erat punggung tangannya. Entahlah, tiba-tiba rasa takut itu muncul. Entah takut akan hal apa.

***

“Kak, istirahat aja deh. Jangan ke kantor dulu. Badan kakak aja masih panas gini,” aku sibuk mencegah. Meletakkan punggung tangan di keningnya (lagi). Panasnya masih sama seperti kemarin pagi. Dia menatapku sebal.

“Dar, kerjaan di kantor banyak! Apa cuma ongkang-ongkang kaki di rumah semua pekerjaan akan terselesaikan? Enggak kan!” dia berdiri, sedikit membentak. Aku tidak berani menatapnya. Lebih memilih diam, urung menjawab kalimat dia tadi. Ah, kenapa tadi aku harus merusak suasana sarapan pagi ini?

“Kak, aku minta maaf soal tadi pagi!” Ucapku setelah membuka pintu ruang kerjanya. Tapi tunggu dulu, kak Mita kemana? Aku celingukan mencari. Mungkin saja kak Mita sedang ada urusan di luar. Lebih baik aku duduk, menunggu sampai dia datang. Aku melihat pergelangan tangan, sudah hampir tiga puluh menitan aku menunggu. Sudahlah. Aku memutuskan untuk kembali ke ruanganku. Soal minta maaf? Nanti-nanti saja juga bisa.
 
Baru saja aku beranjak berdiri, tiba-tiba dalam sekejap, perhatianku teralihkan, mataku terpaku pada sebuah map berwarna hijau yang tergeletak begitu saja di atas meja. Aku pun penasaran dengan isinya. Dengan tampang tanpa bersalah, aku perlahan membukanya. Isinya? Kertas-kertas putih hasil pemeriksaan kesehatan. Memangnya dia sakit apa? Aku mendetail tiap tulisan-tulisan itu. Memahami kalimat medis yang susah di mengerti. Tidak perlu waktu lama untuk aku merangkai penjelasan itu. Tanpa menunggu, air mata dengan segera memenuhi sudut mata. Aku terhenyak saat tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Dan aku gelagapan demi melihat siapa yang datang. Tanpa sengaja kertas-kertas tadi terjatuh dari tanganku, berhamburan di lantai. Kak Mita berjalan mendekat, menatapku dengan bingung. Semakin dia menatapku, maka satu titik air mata jatuh menetes. Dia melipat dahi, melihat kertas berserakan di lantai.

“Kak Mita—” aku menghambur dalam peluknya. Tidak peduli meski kakiku menginjak kertas-kertas itu.

“Kamu sudah tahu semuanya?” suaranya terdengar sengau. Membelai rambut panjangku.

“Kenapa harus orang sebaik kak Mita yang merasakannya?” aku mempererat pelukanku. Aku benar-benar takut kehilangannya. Semua ketakutan itu bukan semu semata. Kenapa harus dia yang menderita penyakit jantung? Kenapa tidak aku saja? Aku menangis sekian lama dalam dekapannya. Dan lihatlah, seberapa tegar kak Mita saat ini. Tembok China di hatinya seakan runtuh saat itu juga. Bagaimana tidak? Aku bisa merasakan basah di pundakku. Dia ikut menangis. Maaf kak, aku membuat kak Mita jadi cengeng seperti ini! Seharusnya aku bisa menguatkan kakak.


Sore itu aku sengaja pulang lebih awal dari jam biasanya. Aku juga memaksa dia pulang bersamaku. Aku tidak akan membiarkan kak Mita lembur. Maka dengan muka masam dia terpaksa menuruti perintahku.

“Pak, kita mampir ke taman biasanya,” ucapnya pada Pak sopir. Aku menatap bingung.

“Ngapain ke taman itu?” tanyaku heran saat mobil berbelok ke arah taman.

“Jangan banyak tanya! Ayo turun,” perintahnya, tidak memberiku kesempatan untuk protes lagi.


Kak Mita malah terlihat antusias, ikut duduk di salah satu ayunan. Aku duduk di ayunan sebelahnya.

“Seharusnya kita kan langsung pulang aja!” aku merajuk kecewa. Padahal, tadi susah payah aku membujuknya pulang. Tetapi kalau pada akhirnya mampir ke taman, apa gunanya?

“Sudah seminggu kan kamu nggak kesini? Apa salahnya aku temenin kamu malam ini?” dia menoleh kepadaku, tersenyum tipis.

“Tetapi kesehatan kakak jauh lebih penting!!” aku beranjak dari ayunan itu. Dia memandangku takzim.

“Karena hanya malam ini aku bisa menemani kamu pergi ke taman ini.” Dia berkata pelan, menarik lenganku. Aku duduk kembali di ayunan. Apa maksud perkataan kak Mita? Aku mendengus kesal.

“Hei! Ada bintang jatuh!!” dia berseru, telunjuknya menunjuk cahaya bintang yang melesat entah kemana. Sayangnya, aku sedang tidak berselera melihat bintang jatuh itu.

“Ayo make a wish!” dia menyenggol lenganku. Matanya mulai memejam. Demi menghargainya, aku juga ikut menutup mata dan mulai membatin sebuah harapan indah.

“Tadi make a wish apa?” tanyanya. Aku menyeringai jahil.

“Kasih tahu nggak ya?” aku memutar bola mataku. Sejurus, dia menarik pipi kananku dengan kencang. Aku mengaduh.

“Kalau kak Mita apa?”






Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini