Minggu, 26 Februari 2012

Detik Bersamanya, Part 3




“Aku ingin melihat kamu lebih lama lagi. Melihat kamu menjemput kebahagiaan masa depan yang begitu cerah. Saat aku benar-benar telah pergi.” Dia mengusap rambutku. Aku menatapnya lekat. Seketika itu, aku hanya diam, semua kalimat tertahan di kerongkongan. Aku lebih memilih terpekur dalam dekapannya. Malam ini, untuk pertama kalinya aku mengerti satu hal yang sangat penting. Arti sebuah kasih sayang. Aku berjanji akan membalas semua jasa-jasa kak Mita. Meski aku tahu, semua kebaikannya tidak akan terbalaskan. Dia yang selama ini memberiku janji kehidupan yang lebih baik.


“Kak Mita mau kemana?” seruku. Dengan panik aku menuruni tangga, mencoba menahan dia yang sudah membuka pintu depan.

“Keluar kota. Kamu baik-baik dirumah ya?” dia tersenyum tipis.

“Sepagi ini? Kak Mita nggak mau sarapan dulu sama aku?” tanyaku mencembungkan pipi, tanda kekecewaanku.

“Aduh, maaf Dar. Gimana lagi? Pesawatnya berangkat pagi. Kamu sarapan sendiri nggak apa-apa kan?” dia mengecup keningku, memelukku sebentar lantas buru-buru berjalan menuju mobilnya. Mungkin saja dia takut aku akan menghalang-halangi kepergiannya. Sudahlah, aku hanya mendadah dengan cemberut.


Pagi ini aku tidak masuk kantor. Untuk apa? Toh kak Mita juga ada di luar kota. Apalagi Bad mood-ku sedang kambuh.

***
Berhari-hari aku menunggu kepulangannya. Tapi sore ini aku menunggunya di lobby kedatangan. Duduk dengan hati gelisah. Entah, perasaanku tiba-tiba saja tidak enak. Membuang nafas. Melirik jam ditangan. Dan.. Itu dia kak Mita! Bukannya berlari menghampiri, aku malah terpaku, sibuk memperhatikan wajahnya yang pucat pasi.

“Kok aku nggak dipeluk sih? Nggak kangen?” tanyanya pelan, lalu tersenyum. Senyum itu seperti dipaksakan. Aku memeluknya kemudian, cukup lama. Dia balas mengelus punggungku. Badannya terasa dingin.

“Kak Mita..” ucapku sedikit panik. Bagaimana tidak? Aku bisa merasakan nafasnya yang memburu cepat. Aku segera melepas pelukanku. Kak Mita memegang dadanya. Tersengal. Dia ambruk, aku gagal menahan tubuhnya. Aku menangis, mendekap kak Mita. Orang-orang mulai berkerumun.



***

Dokter menggeleng pasrah setiap aku tanya tentang perkembangan kak Mita.

“Tinggal menunggu waktu saja,” dokter itu berkata pelan pada suster disampingnya. Berdehem. Seringkali dokter itu melirik jam arlojinya.

“Tolong dok, jangan biarkan ini terjadi!” aku mencekram baju dokter itu. Aku jatuh bersimpuh. Tidak! Aku tidak mau kehilangan kak Mita!

Aku bangkit, duduk disamping ranjang kak Mita. Selang-selang plastik menghujam disekujur tubuhnya. Dia terkulai tak berdaya. Aku meremas tangannya yang dingin. Dokter dan suster itu hanya menatap prihatin. Aku tersentak, dengan tiba-tiba mesin pengontrol jantung itu berdecit dengan cepat. Aku buru-buru mendekap kak Mita. Tuhan, jangan ambil kak Mita sekarang..


“Dok, detak jantungnya menghilang!” suster berseru panik. Suster itu menarik tubuhku, menjauh dari ranjang itu. Dokter mulai melepas selang-selang yang tadi menempel di tubuh kak Mita. Aku meronta, berteriak histeris. Suster tadi menahanku semakin erat. Tanganku terjulur, terpatah-patah meraihnya, tapi tak bisa. Tubuh yang sudah ditutup dengan kain putih. Aku terpekur di lantai. Semuanya sudah terlambat!

***

Tanganku menyusuri tanah yang masih basah itu. Hujan memang baru saja reda. Hujan yang tadi ikut mengiringi kepergian kak Mita.
“Kenapa kakak pergi nggak pamit sama aku? Bukannya setiap ke luar kota kakak selalu pamit, memelukku, lalu mencium keningku..”

“Kakak takut kalau aku akan menghalang-halangi?”

***

Sepulang dari pemakaman tadi, aku tidak langsung pulang. Langkah kakiku memaksa untuk menyambangi taman itu lagi. Sudah cukup lama aku tidak duduk di ayunan itu. Aku tertegun sejenak, menatap air yang perlahan menetes dari besi-besi tua, air sisa hujan tadi siang. Aku menatapnya miris. Banyak sekali kenangan tercipta di tempat ini. Saat-saat yang tidak mungkin terulang kembali. Sedikit ragu aku duduk di ayunan itu. Aku menoleh sebentar, melihat ayunan disebelahku. Bukankah seharusnya ada kak Mita disitu? Tapi sekarang.. Aku tak mampu untuk sekadar berharap ada kak Mita yang duduk disampingku saat ini.


Tanpa sengaja aku melihat sebuah amplop yang tergeletak di bawah ayunan. Aku mengambilnya. Amplop itu basah kuyup. Lusuh. Aku membukanya perlahan. Ada sepucuk surat didalamnya. Gemetar aku membuka lipatan kertas itu. Airmata sudah memenuhi sudut mataku. Lihatlah, tinta-tinta yang sudah memudar. Tulisan ini.. Kak Mita.


Dara..
Andaikan aku punya waktu lebih lama lagi..
Aku ingin setiap malam menemanimu duduk di taman ini..
Melihat bintang jatuh seperti malam itu..
Melihat kamu cemberut saat aku paksa untuk pulang..
Aku juga tidak keberatan meski harus kamu injak dengan high heels lagi..
Karena hanya detik-detik itu aku bisa merasakan hidup yang sesungguhnya..
Tugasku sudah selesai, Dar..
Aku sudah menemukanmu..
Adikku yang selama ini hilang, dan itu kamu..
Aku sangat bahagia saat berada disampingmu..
Menghabiskan sisa-sisa waktu yang tersisa..
Aku tidak akan melarangmu untuk pergi ke taman ini lagi..
Karena aku akan selalu berada disini untuk menamanimu dengan caraku sendiri..




Sebuah kunang-kunang dengan cahaya berpendar-pendar terbang mengelilingiku. Aku pun bergeming untuk melihatnya. Dan lihatlah siapa yang tersenyum manis di ayunan sebelahku. Aku mencoba menyentuh pipinya. Tapi dengan cepat dia menghilang. Kosong. Aku tidak bisa menyentuhnya! Bayangan itu memudar begitu saja—








Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini