Jumat, 04 November 2011

“Rahasia Kecil, Season 2”




Pemakaman itu sudah jauh tertinggal. Pusara itu menjadi tonggak awal kehidupan baru yang absurd. Menyisakan kepedihan yang tak terperikan. Seminggu berlalu bak anak panah yang melesat dari busurnya. Ketika janji kehidupan telah punah, sirna sudah atas ketidakberdayaan ini. Ternyata langit telah menentukan takdirnya sendiri.

Dalam sejuknya embun pagi, rintik-rintik kecil turun dari langit. Mengembun di kaca jendela ruangan itu. Ruangan yang sama, dinding yang sama, tirai yang sama pula. Ruangan itu milik Dara dulu.
Pelan jemarinya menyentuh dinding kaca. Dingin dengan segera menelusup pori-pori kulitnya. Pagi ini, hujan turun lebih lama. Bosan. Memutuskan untuk tiduran saja. Memejamkan mata? Tidak bisa. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Dia sedang merindukan dua orang sekaligus.

Pintu ruangan terbuka, Mita terkesiap, bangun dari posisi tidurnya. Dan lihatlah siapa yang datang dengan setangkai mawar putih ditangannya. Ah ya, itu pasti Rio, salah satu orang yang sedang Mita rindukan sekarang. Rio tersenyum lebar, mendekati. Matanya berbinar-binar menatap penuh takzim. Mita membuang muka, mencoba tidak mempedulikan. Hei, bukannya tadi dia sangat merindukan kehadiran Rio? Hatinya merasa bersalah, tidak berani menatap Rio. Sungguh, Mita tidak pernah meragukan cinta Rio. Namun, kali ini cinta memang tidak ditakdirkan untuk saling memiliki. Sebenarnya, sudah jauh-jauh hari terencana mereka akan menikah hari ini. Tetapi pada kenyataannya, semua memang tak sesempurna apa yang telah terencana.

“Dengar Rio! Sampai kapanpun Mama tidak akan pernah mengijinkan kamu menikahi wanita gila itu! Mama tidak sudi mempunyai menantu gila! Memangnya tidak ada wanita yang lebih waras lagi?”

 Kalimat itu seakan menjadi jurang pemisah. Bahkan menghancurkan mimpi-mimpi yang mulai terajut dengan indahnya. Sudahlah. Tetapi Rio, hatinya tetap bersikukuh mempertahankan cintanya terhadap Mita. Cinta itu tidak akan luntur, tidak juga berkurang walau badai meluluh lantakkan raganya. Rio meletakkan setangkai mawar itu tepat dihadapan Mita.

Ini kali ketujuh Rio membawa setangkai mawar putih, dengan senang hati dia mengunjungi Mita setiap harinya. Rio selalu datang tepat waktu. Tidak bosan-bosannya mengumbar senyum meski balasannya hanya seringai dingin dari Mita. Tidak peduli meski Mita akan mengusirnya. Sudah terbiasa dengan hal itu.
         “Kamu sudah sarapan?”

             “Belum!”

      “Aku suapi ya, kamu harus makan.”

          ‘Nggak perlu!”

    "Tapi Mit... Ayolah, satu suap saja!"

         “Cukup Yo! Jangan pernah paksa aku lagi. Aku nggak butuh kamu, lebih baik sekarang kamu pulang!”

Rio beringsut keluar, membiarkan Mita tercenung sendiri. Kenapa Mita berubah secepat itu? Dia sungguh tidak mengerti tentang rahasia kecil itu.
***

Mita duduk bersandar di sebuah pohon besar, dibawah rindangnya dedaunan yang ditempa angin sore. Sore ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia akan setia menunggui senja hingga tenggelam. Menikmati semburat jingga di kaki langit. Menyimak eloknya cakrawala sore hari. Burung-burung yang melenguh dari kejauhan. Pemandangan ini sedikit membantu menghilangkan sesak didadanya.

       “Sangat indah, bukan?”

Mita tidak bergeming, sudah tahu siapa yang datang. “Ngapain kamu kesini lagi?”

     “Aku ingin menemani kamu menatap senja sore, apa itu salah?”

     “Tapi aku sudah terbiasa sendiri!”

 
“Tolong Mit, jangan bersikap seperti ini. Apa rasa cinta telah berganti dengan rasa benci? Secepat itu kamu membuang setiap kenangan kita bersama?” Rio menelan ludah, bingung harus merangkai kata apa lagi. Kata-katanya selalu saja tidak ada gunanya. Toh Mita tetap pada pendiriannya.

“Aku cuma ingin mengenang setiap detik yang Dara lewatkan ditempat ini. Jadi, tolong jangan pernah kamu mempermasalahkannya. Sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi.” Mita tetap tergugu, menangis dalam hati demi mengatakan ujung kalimatnya. Bagaimanalah, terpaksa ia mengatakannya agar Rio mau menjauh sekaligus melupakannya.

“Aku sangat mengerti posisi kamu yang baru saja kehilangan Dara. Tetapi bukan seperti ini caranya, Mit. Apa kamu pikir Dara akan bahagia melihat kamu larut dalam keadaan ini? Tentu saja tidak!”

“Aku rindu Dara, Yo. Dia adalah belahan nyawaku. Helaan disetiap napasku. Dia sangat berharga dalam hidupku! Jadi, mana bisa aku hidup normal tanpa dirinya?” Mita mengusap sudut-sudut matanya yang basah.

“Percayalah Mit, Dara pasti mendapatkan tempat yang jauh lebih indah. Dia pasti bahagia diatas sana. Mulai dari sekarang kamu harus belajar untuk ikhlas.” Rio mendongak, menunjuk langit yang bersemu kemerahan. Mita mengangguk pendek mengiyakan. Senja kali ini terasa amat berbeda. Mita mulai paham akan arti sebuah keikhlasan bukan hanya sekadar keegoisan semata.
 
 
***


Napasnya tersengal-sengal, langkahnya tergopoh-gopoh. Sekitar satu jam yang lalu, suster penjaga menelepon, terpatah-patah mengabari hal buruk terjadi. Memangnya ada apa dengan Mita? Entahlah. Dia juga tidak tahu.

Rio sudah tahu tempat yang harus ia tuju. Lantai tertinggi rumah sakit itu. Hatinya resah, pikirannya kalap seketika. Bagaimanalah, darahnya berhenti mengalir demi melihat Mita. Hei, lihatlah Mita yang berdiri persis di tubir gedung, disalah satu palang besi yang menjuntai. Kedua tangannya merentang, membiarkan deru angin menyibak rambut pendeknya. Apa yang akan dia lakukan? Bunuh diri? Ah, entahlah.

“Aku mohon, turun Mit!! Jangan bertindak bodoh. Semua ini tidak akan menyelesaikan masalah. Hei, mana Mita yang dulu? Mita yang selalu tegar! Bukan Mita yang cengeng dan rapuh seperti ini.” Rio berjalan mendekat, menelan ludah.

    “Biarkan aku sendiri—”
“Aku sayang kamu, Mit. Dan aku nggak akan membiarkan kamu bertindak bodoh! Aku mohon, kamu turun sekarang ya.” Rio tercekat, mengulurkan tangannya. Mita membalik badan, pipinya kebas oleh air mata. Rio mengangguk, sementara Mita masih saja mematung, tidak mengerti.

Beberapa menit berlalu dengan percuma. Lihatlah, Mita masih terpaku, berdiri seperti mayat hidup. Kosong. Jiwanya terombang-ambing dibatas keraguan hatinya. Ingin sekali ia menyambut uluran tangan itu, namun kenapa terasa berat sekali untuk meraih tangan Rio. Mita pun memupus, membujuk hatinya untuk mengalah. Sampai kapanpun cintanya tidak akan termiliki.


Mita menoleh, mendengar suara ribut-ribut di pelataran gedung. Ada beberapa polisi dibawah sana, berteriak-teriak dengan toa. Tidak ketinggalan dokter, suster-suster, dan penjaga pun melambaikan tangan. Berseru heboh, membujuk agar segera turun. Rio saja tidak berhasil membujuk, apalagi orang lain?

Rio semakin khawatir melihat yang Mita tak kunjung merespon. Bagaimanalah, ia takut jika akan terlambat mencegah. Hatinya mulai berdesir, meremas jari-jemarinya.

“Mit, aku mohon!! Kamu pegang tangan aku!” Rio berseru, suaranya tegas mengendalikan.


Mita mengangguk pendek. Rio menghela napas lega, usahanya tidak sia-sia. Susah-payah ia meluluhkan hati Mita. Dan sekarang, semua kesabarannya telah terjawab. Rio berhasil meraih tangan Mita, mengeratkan pegangan itu.

Tetapi, sekali lagi langit telah menentukan takdirnya sendiri. Saat Mita pelan-pelan menuruni palang besi itu, hujan turun sangat deras, membuat palang besi itu licin. Kakinya terpeleset, hampir saja tubuhnya terjatuh dari gedung empat lantai itu. Namun, untung saja, dengan sigap Rio menarik tubuh Mita. Entah, keberaniannya mencuat seketika, mana bisa ia membiarkan Mita celaka, sekalipun harus mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Dibawah guyuran hujan, Mita tertunduk lemah. Lihatlah, apa yang sudah ia perbuat kepada Rio akhir-akhir ini. Dia telah menyakiti hati malaikatnya. Semua perlakuan-perlakuan itu. Ia sangat menyesalinya.

“Kamu nggak apa-apa kan Mit?” Rio mengusap pipi Mita yang basah oleh air hujan dan air mata.

Mita mengangguk, “Aku sangat menyesal Yo. Aku memang bodoh!! Keegoisanku membuat kamu tersakiti.” Mita menangis tertahan. Sendu menikam ulu hatinya.

 
“Sudahlah. Aku menerima kamu apa adanya, Mit. Aku hanya ingin melihat kamu seperti Mita yang dulu. Mita yang selalu tersenyum. Aku berjanji Mit, demi apapun di dunia ini, ketahuilah bahwa takdir kita tidak akan terpisahkan.” Rio mengecup kening Mita dengan takzim.

Ah, langit memang mempunyai takdirnya sendiri. Lihatlah, air mata akan segera berganti dengan tawa bahagia.


Tamat

2 komentar:

Cari Blog Ini