Rabu, 16 November 2011

Aku dan Rinai, part 4 (ending)



Aku menelan ludah, lidahku terasa kaku untuk menyalahkannya lagi. Aku jadi merasa tidak enak hati melihat Wahyu yang jadi muram. Aku malah memberanikan diri untuk menyentuh tangannya.

“Maafkan saya... Saya mengerti, Rinai jauh lebih membutuhkan Anda. Saya tidak akan melarang Anda untuk membawa Rinai pergi. Karena itu bukan hak saya.” Aku menghela napas. Biarkan malam ini semua masalah terasa jelas. Dan keputusan terakhirku: membiarkan Rinai tinggal bersama Ayahnya.

“Terimakasih...” Wahyu balas menggenggam jemariku. Grogi melandaku hebat.

“Terimakasih untuk apa?” Dahiku berkernyit, menatapnya dengan skeptis.

“Untuk semuanya... Boneka-boneka, membacakan buku dongeng, dan petikan gitar itu. Semua yang kamu lakukan untuk Rinai...” Wahyu tersenyum takzim, melepas genggaman tangannya. Bagaimana dia tahu itu semua?

“Saya sangat ikhlas, Rinai sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri. Anda sangat beruntung mempunyai anak seperti Rinai,” aku menyunggingkan bibir. Wahyu tersenyum tipis. Aku sempat heran, mungkin malam ini dia sedang tidak pelit untuk membagi senyum indahnya. Dan malam ini, aku merasakan aroma perdamaian yang tercipta antara aku dan dia. Mungkin ini adalah awal yang menyenangkan. Tetapi tetap saja tidak bisa mengusir rasa sedihku karena harus berpisah dengan gadis kecil itu. Suasana dalam mobil hening, hanya suara riak hujan yang terdengar samar-samar.

“Jam berapa berangkat ke London?” Aku bertanya, memastikan.

“Semuanya tergantung sama kamu.” Wahyu mengangkat bahu. Aku tidak mengerti maksudnya.

“Kamu bingung? Oke, akan saya perjelas kalimat tadi. Saya dan Rinai tidak akan pergi ke London asalkan Rinai mendapatkan ‘Bunda’ yang baru. Kamu ngerti kan maksud saya?” Wahyu mendehem. Hujan agak mereda. Oke, aku sangat paham dengan maksud perkataannya.

“Saya harus pulang!” Seketika itu aku memutuskan untuk mengakhiri perbincangan yang semakin lama terasa aneh. Aku segera membuka pintu mobil. Sungguh, aku tidak bisa mendengar kalimat yang akan dia lontarkan selanjutnya. Lebih baik aku mencari aman dengan cara pergi dari hadapannya.

***

Malam itu, aku berhasil ‘melarikan diri’. Tidak bisa terbayangkan jika aku berlama-lama di dalam mobilnya.

Pagi-pagi buta, aku memaksakan mataku untuk terbuka. Mama juga sudah siap menggedor-gedor pintu kamarku. Peduli apa dengan pintu yang akan roboh karena mendapatkan hantaman bertubi-tubi setiap pagi? Tetapi pagi ini Mama tidak perlu mengeluarkan tenaganya untuk membangunkanku. Aku sudah bangun sendiri.

“Tumben bangun pagi Mit? Mau langsung ke Panti ya? Sarapan dulu yuk. Sekalian ada yang ingin Mama tanyakan ke kamu.” Mama menegur, menawariku untuk duduk. Sudah ada satu piring nasi goreng di hadapanku. Aromanya membuat perut keroncongan. Tetapi, aku sedang tidak berselera untuk memakannya. Mama berdehem.

“Sayang, kok cuma di pantengin terus sih? Di makan dong, paling nggak satu suapan saja.” Mama menatapku khawatir. Aku ingin berkata ‘Tapi Ma, aku nggak lapar!’ tetapi mana aku tega melihat Mama kecewa karena aku tidak menghargai masakannya. Aku menyendok nasi goreng, memaksa mulutku untuk menelan. Rasanya hambar di lidahku. Begini nih kalau orang lagi merana di paksa makan.

“Mit, kamu punya calon suami kok nggak pernah bilang sama Mama sih? Pakai main rahasia-rahasiaan segala.” Mama tertawa riang.

Apa?

Seketika nasi goreng gagal tercerna dengan baik. Tersedak-sedak. Tanganku sigap meraih gelas berisi teh. Tapi, ah panas!! Teh panas ternyata isinya. Kebat-kebit aku mengipas-ngipas mulutku. Apa yang di tanyakan Mama tadi? Calon suami? Punya pacar aja belum. Ini malah calon suami.

“Aduh, maaf Mit. Kamu sih, Mama kan cuma tanya soal itu kok sampai salting sendiri?” Mama menutup mulutnya, menahan gelak tawa yang akan lepas.

“Mama... Mita aja nggak punya pacar. Apalagi calon suami?” Aku menggelengkan kepala. Tak habis pikir, ini kenyataan atau mimpi. Atau hanya gurauan Mama saja? Ah, benar-benar konyol.

“Orang yang semalam datang kesini nggak mungkin salah alamat! Jelas-jelas dia bilang ketemu kamu di Panti beberapa hari yang lalu.” Mama ngotot habis-habisan, mempertahankan pendapatnya itu. Aku mendengus sebal.

“Kamu pinter juga cari calon suami. Orangnya ramah, sopan, ganteng, dan mapan pula.” Mama mulai bercerita, terlena sendiri.

“Namanya?” tanyaku dengan sebal. Mama tertawa. Bahagia? Tentu saja saat ini Mama sedang bahagia.

“Wahyu!!” Mama berseru lantang. Aku jadi kepikiran, kira-kira ayam tetangga sebelah mati nggak ya? Mengingat suara Mama naik delapan oktaf.

“Tapi aku tuh nggak cinta sama dia, Ma. Ketemu juga baru dua hari yang lalu,” aku mencoba memberi sanggahan tidak terima.

“Ayolah Mit, cinta kan juga bisa tumbuh setelah kamu menikah dengan Wahyu? Apa kamu nggak kepengin lihat Rinai bahagia?” Mama tetap bersikukuh pada pendiriannya. Memaksa. Membujuk. Menyebalkan.

“Hloh, Rinai kok di bawa-bawa sih Ma?” aku mengaduh, menepuk jidat. Ini adalah salah satu kelemahanku. Semua yang berhubungan dengan Rinai terasa berat untuk aku tolak.

“Asal kamu tahu. Rinai-lah yang meminta Wahyu untuk melamar kamu.” Mama berdiri, merengkuh bahuku. Sepertinya Mama akan mengeluarkan jurus pamungkas-nya.

“Semua keputusan ada di tangan kamu. Mama hanya bisa menyarankan yang terbaik buat kamu. Dan kamu yang akan menentukan sendiri, kamu mau menerima lamaran itu atau menolaknya.” Menepuk-nepuk pundakku, menghela napas panjang, Mama sudah hampir putus asa membujukku.


Aku mengaduk-ngaduk nasi didepanku dengan sendok. Aku bingung. Kenapa harus seperti ini? Apa tidak ada alternatif lain? Apa aku harus menerima lamaran itu dan menikah dengan Wahyu? Tapi, aku belum siap menikah. Penampilanku saja masih seperti ini. Dan Rinai? Bahkan ia sangat berharap aku jadi Bunda-nya. Pikiranku benar-benar kalang kabut. Keputusan ini tidak main-main. Baiklah, mungkin aku bisa sharing masalah ini dengan Ibu Rose. Paling tidak, harus ada jalan lain untuk meredam masalah ini. Kalau bisa, aku ingin Rinai tetap tinggal di Jakarta tanpa aku perlu menikah dengan Wahyu. Itu adalah jalan terbaik.


Aku mengetuk pintu ruangan Ibu Rose. Selang beberapa detik, Ibu Rose membukakan pintu.
“Bu, ada yang perlu saya bicarakan.” Tanpa basa-basi aku mengutarakan tujuanku.
Ibu Rose berjalan mendekati jendela, aku mengekor di belakangnya. Ibu Rose menatap keluar, aku juga ikut-ikutan menatap taman Panti dari kaca jendela.

“Saya sudah mengerti tujuan kamu datang kemari.” Ibu Rose menatapku, tatapannya nanar.
“Kamu lihat gadis kecil itu? Sejak tadi pagi Rinai ngambek. Rinai tidak mau berbicara dengan siapapun kecuali dengan kamu.” Beliau menatapku dengan gelisah.

“Kok bisa Bu? Memangnya ada apa dengan Rinai?” Aku bertanya dengan cemas.

“Ibu juga tidak tahu Mit,” beliau mendesah kecewa.

“Apa tadi ayahnya sudah datang?” Demi melihat Rinai yang murung aku sedikit melupakan tujuan awalku menemui Ibu Rose.

“Rinai sangat susah untuk di bujuk. Wahyu saja kewalahan. Tolong Mit, kamu bujuk Rinai ya.” Ibu Rose menggenggam kedua pergelangan tanganku. Memohon. Aku mengangguk.

Dengan langkah berat aku mendekati Rinai. Gadis kecil itu duduk di sebuah ayunan. Tangan mungilnya mendekap boneka SpongeBob pemberianku dua hari yang lalu. Rinai menangis, aku bisa melihat dari tetesan air matanya yang jatuh di tanah. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan Rinai?


“Aduh, anak manis kok nangis sih? Kasian SpongeBob-nya nanti basah kuyup gara-gara kamu nangis.” Aku sedikit bergurau. Merundukkan badanku, berjongkok, mensejajari posisi Rinai di ayunan itu. Aku menyeka pipinya yang basah. Tangannya terjulur, mencoba meraih tanganku. Rinai menghambur dalam pelukku, hampir saja membuat aku jatuh terjengkang. Untung dengan segera aku bisa menjaga keseimbanganku.

“Rinai nggak boleh nangis dong! Kamu ingin membuat ayah bahagia kan? Kalau begitu Rinai harus menuruti semua perkataan ayah ya,” aku mengelus punggungnya. Rinai terpekur di pundakku.

“Tapi kak, Rinai nggak akan pergi kemana-mana tanpa kak Mita!!’ Rinai berseru jengkel, sesenggukkan menahan tangis.

“Rinai... Kamu percaya kan sama kakak? Walaupun kita jauh, Rinai tetap ada dihati kakak, begitu pula sebaliknya.” Aku melepas pelukannya. Sejurus Rinai mendorong tubuhku, aku jatuh terjengkang ke belakang. Gadis kecil itu berteriak-teriak, “Rinai benci kak Mita!!!!”

Kulihat Ibu Rose beringsut mendekat, mendekap tubuh Rinai. Tanpa banyak bicara beliau membawa Rinai menjauh dariku. Ya, mungkin saat ini Rinai sangat membenciku. Aku memang tidak bisa mengambil keputusan ini dengan bijak.

“Mama? Ngapain kesini?” aku tercengang melihat Mama sudah berdiri dihadapanku.

“Mama cuma nggak habis pikir, Mit.” Mama mendesah kecewa, ada gurat sesal di raut wajahnya.

“Maksud Mama?” aku spontan berdiri, dahiku saling bertaut.

“Tadi sebelum Wahyu pergi, dia sempat menelepon Mama,” ujarnya bersuara serak.

“Wahyu pergi tanpa Rinai?” aku menelan ludah. Jadi ini alasan Rinai marah padaku?

“Karena Wahyu yakin bahwa kamu bisa menjaga Rinai dengan baik. Dia percaya sama kamu, Mit.” Mama menyeka sudut matanya. Aku menatap Mama dengan bingung.

“Jika kamu ingin merubah semuanya, masih ada kesempatan untuk kamu! Pesawat Wahyu berangkat lima belas menit lagi.” Mama mengoyak lenganku. Baiklah, aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Semua ini semata-mata hanya untuk Rinai.




Tanpa menunggu perintah dua kali, aku segera bergegas menuju bandara. Aku tidak boleh terlambat. Wahyu tidak boleh pergi.

Aku memaksa kakiku untuk berlari, menyusuri setiap sudut bandara. Beberapa kali aku melihat sosok Wahyu, begitu aku mendekatinya, ternyata salah orang, bukan Wahyu. Aku berhenti sejenak, menyapu pandanganku lagi. Apa memang Wahyu benar-benar sudah pergi? Aku memutar otak, tidak akan menyerah begitu saja. Sekejap, mataku terpicing, aku melihat Wahyu di pintu masuk keberangkatan. Kali ini aku tidak mungkin salah orang lagi.

“Wahyu!!” teriakku lantas berlari ke arahnya. Tetapi, dengan tangkas petugas menghadangku, memaksaku untuk menjauh. Petugas itu tidak hanya satu, dua orang sekaligus mencengkram lenganku, melarang memasuki area itu tanpa tiket. Aku berontak, tapi percuma saja.

“Tolong lepasin pak, dia teman saya!” Wahyu datang menengahi. Dua petugas itu langsung melepas cengkramannya. Sejurus Wahyu menyeret lenganku, mengajakku duduk di kursi tunggu. Wahyu meletakkan koper besarnya di lantai. Dia diam membisu.

Aku memberanikan diri untuk mengelus punggungnya. Tetapi aku tidak berani menatap matanya. Bisa-bisa aku mati kutu kalau bertatapan dengan dia.


“Aku... Aku akan belajar untuk mencintaimu. Berusaha untuk membahagiakan Rinai dengan caraku sendiri.” Aku menarik napas lega, akhirnya kalimat itu bisa terucap.

Wahyu menoleh, eksperesi ‘kaget’ tersirat dari matanya. Dia tersenyum lebar. Membalas menggenggam tanganku.

“Terimakasih... Rinai pasti bahagia mendengarnya. Karena Rinai-lah yang memintaku untuk melamarmu, jujur saja sebelumnya aku tidak mempunyai keberanian untuk itu.”

“Kamu sangat beruntung mempunyai peri kecil seperti Rinai. Jadi, aku mohon urungkan niatmu untuk pergi.” Aku menyentuh bahunya, menggeleng-gelengkan kepalaku (jangan pergi!).

“Mana mungkin aku pergi tanpa Rinai dan calon istriku?” Wahyu mencubit pelan pipiku. Aku tersipu malu di buatnya. Baiklah. Aku merasa sudah mengambil keputusan yang paling tepat. Ah, inikah yang orang bilang tentang cinta? Cinta yang tidak pernah kumengerti sebelumnya. Tentu saja semua ini karena Rinai. Gadis kecil itu. Peri kecil yang menyimpan sejuta kebahagiaan. Lihatlah, semua memang terasa sempurna bila kita mau sedikit saja mengesampingkan rasa ego itu.


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini