Rabu, 16 November 2011

Aku dan Rinai, part 2


“Tapi Bu, saya bisa kok membiayai keperluan Rinai!” Aku berseru, mengikuti langkah Ibu Rose yang mondar-mandir.
“Bukan itu masalahnya Mita!! Semua ada persyaratannya. Tidak bisa segampang itu untuk melanggarnya. Apalagi sudah ada hitam diatas putih,” Ibu Rose menarik napas panjang, dahinya yang keriput semakin mengerenyit.
“Kenapa Ibu tidak merundingkan ini kepada saya terlebih dahulu? Kenapa harus secara sepihak seperti ini?” Aku berjalan cepat, mencoba mensejajari derap langkahnya yang memburu.


“Ibu sudah mencoba menelepon kamu berulang kali. Tetapi kamu susah untuk dihubungi. Sedangkan keputusan itu harus segera diambil. Tidak bisa menunggu berlama-lama.” Ibu Rose memperbaiki posisi kacamatanya yang melorot.

Aku tertegun sekian lamanya. Pasrah. Percuma. Ibu Rose, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, seperti komando yang pantang untuk dibantah. Ibu Rose menyentuh pundakku.
“Maaf Mita, Ibu tidak bisa membantu kamu. Tetapi kamu masih punya dua hari bersama Rinai. Lusa, orangtua Rinai yang baru akan datang menjemput—” Ibu Rose berlalu meninggalkanku di lorong Panti.

Aku terduduk di lantai, meremas rambut dengan mengkal. Mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangan. Aku tidak mau Rinai mendengar kalau aku menangis. Suara tongkat milik Rinai semakin dekat. Aku membatin, apa Rinai tahu kalau sebenarnya aku belum pulang? Ah, lebih baik aku yang datang menghampiri Rinai. Jangan sampai ia curiga kepadaku.

“Ada apa Rinai?” Aku menyentuh tangannya, membuat langkahnya terhenti.

“Kak Mita kemana aja sih? Rinai cari kemana-mana tapi nggak ketemu. Eh, tahunya kak Mita ada disini. Habis ngobrol sama Ibu Rose ya? Soalnya tadi Rinai sempat dengar suaranya.”

“Iya, tadi ngobrol sama Ibu Rose, tapi nggak penting kok. Maaf ya, udah bikin kamu bingung. Ya udah, kita lanjutin cerita yang tadi yuk.” Aku menuntunnya, ia tersenyum lebar. Aku menghela napas lega, untung Rinai tidak mendengar obrolan tadi. Dan sebaiknya Rinai tidak perlu tahu. Aku hanya bisa berharap orangtua asuh Rinai yang baru bisa menyayanginya dengan tulus.


Aku dan Rinai kembali duduk di kursi panjang yang berada di taman belakang Panti.
“Kak, Rinai nggak mau dibacain cerita lagi. Aku udah bosen,” keluhnya, memasang wajah manja.
“Lalu? Kamu pengen apa sekarang?” Aku membereskan tumpukan buku-buku dongeng miliknya.

“Rinai ngantuk kak, pengen tidur aja.” Menguap lebar. Aku melipat dahi, tidak biasanya Rinai tidur siang.

Setelah memastikan mata Rinai terpejam, aku pun memutuskan untuk pulang. Hari ini beban pikiranku sudah cukup membuatku gundah. Baiklah, mungkin ini yang terbaik untuk Rinai. Begitu aku keluar dari pelataran Panti, tidak sengaja aku berpapasan dengan seseorang. Aku tak mengenalnya. Dia memakai kemeja hitam, celana jeans, berkacamata hitam. Hei, siapa dia? Selama aku berkunjung di Panti ini, aku tidak pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya. Apa jangan-jangan... Aku membalik badan, urung pulang, lebih memilih mengikuti orang itu. Siapa tahu dia adalah calon orangtua Rinai.
 

Aku membuntutinya, mengendap-endap. Dia masuk ke ruangan Ibu Rose. Aku mengintip dari celah pintu. Obrolan mereka hanya samar-samar terdengar, tidak begitu jelas. Hal itu menambah rasa penasaran tumbuh liar dibenakku.
Pintu terbuka, aku gelagapan; malu karena tertangkap basah kalau sedang menguping pembicaraan mereka. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sementara Ibu Rose dan orang itu menatapku dengan tatapan aneh.

“Mita?” Ibu Rose berseru kaget. “Kebetulan kamu belum pulang. Ibu mau mengenalkan kamu dengan calon orangtua Rinai yang baru.” Lanjutnya, mengarahkan ekor matanya ke orang yang berdiri disebelahnya.

Dia mengulurkan tangannya, “Wahyu...”

Sedikit segan aku menjabat tangannya, “Mita—”

Sejurus, aku malah sibuk sendiri memandanginya dari ujung kaki sampai kepala. Sepertinya cukup meyakinkan. Tetapi orang ini terlihat dingin dan arogan. Apa dia dan istrinya bisa menjaga Rinai dengan baik? Ah, aku mendengus sebal. Orang itu menyeringai tipis. Mungkin dia merasa menang karena sebentar lagi bisa membawa Rinai pergi dari Panti. Sementara aku, dua hari lagi aku akan kehilangan Rinai.

“Hei! Tunggu!!” Aku berteriak, melambaikan tangan.

“Ada apa?” Wahyu membuka kacamata hitamnya, keluar lagi dari mobilnya.

“Saya mohon, tolong batalkan rencana Anda untuk mengadopsi Rinai!” Aku agak memelas, mengoyak lengannya, agak memaksa.

“Memangnya Anda punya hak apa untuk mengatur-ngatur saya? Anda bukan ibunya kan?” Wahyu menepis tanganku.

Ibunya? Aku memang bukan ibu kandung Rinai. Tetapi, aku sudah terlanjur menyayanginya. Jadi, bagaimana aku bisa rela melihat Rinai tinggal bersama orang aneh ini.

“Arrggh, pokoknya saya minta Anda membatalkan rencana itu. Karena Rinai tidak akan pergi kemana-mana tanpa saya!!” Aku menudingnya. Wahyu mengerenyit heran.

“Sudah selesai? Oke, waktu Anda habis. Saya tidak punya waktu lebih untuk berbasa-basi!” Wahyu menyeringai palsu, beringsut masuk mobilnya. Sial! Aku benar-benar dianggap patung. Berbasa-basi? Hei, aku ini sedang memperjuangkan kebahagiaan Rinai.


***


“Kenapa kok lesu gitu sih? Biasanya kamu pulang dari Panti pasti seneng. Ada masalah apa memangnya?” Mama duduk di sofa, tepat disampingku.

“Rinai Ma...”

“Memangnya Rinai kenapa Mit? Dia sakit? Atau apa?”

“Bukan itu... Jauh lebih buruk lagi!”

“Lantas kenapa dengan Rinai? Kamu nggak cerita sih, makanya Mama nggak tahu.” Mama membelai kepalaku.

“Lusa, Rinai akan di adopsi. Mita nggak rela, Ma.” Aku merebahkan kepalaku dipundaknya.

“Seharusnya kamu bahagia dong, Mit. Apa kamu tidak ingin melihat Rinai bahagia? Jangan egois Mita.”

“Tapi Ma, aku nggak yakin kalau Rinai akan bahagia. Mita juga udah mohon-mohon supaya Ibu Rose mengizinkan Mita mengadopsi Rinai. Tetapi...”

“Tetapi kamu belum bersuami kan?” Mama tergelak, memotong cepat.

“Mita lagi serius, Ma. Jangan diledekin terus dong!” Aku bangun dari pundaknya.

“Aduh, aduh, jangan ngambek dong. Mama kan cuma bercanda. Lagian ya, seusia kamu harusnya sudah berkeluarga dan bahkan sudah mempunyai anak. Nah, lihat kamu, umur sudah seperempat abad belum nikah-nikah juga.” Mama mengibaskan tangan, tawanya makin terpingkal-pingkal.
“Tahu ah, Mita bete!!”




Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini