Rabu, 16 November 2011

Aku dan Rinai, part 1


Matahari pagi mulai beranjak dari peraduannya, merangkak naik perlahan hingga menampakkan siluetnya. Aku menggeliat, rasanya malas sekali untuk membuka mata. Terdengar seseorang mendorong pintu, dan lihat siapa yang muncul dibalik pintu. Ah, siapa lagi kalau bukan Mama?
“Ayo, bangun dong Mit! Anak perawan kok bangunnya siang melulu? Nggak malu apa sama ayam tetangga sebelah?” Mama menarik paksa selimutku.
“Lima menit lagi deh Ma, Mita masih ngantuk nih!” Aku merebut kembali selimut itu.

Mama menggeleng heran, mungkin sudah menyerah untuk membangunkanku. “Kamu pagi ini ada janji kan? Katanya mau ke Panti? Ketemu anak kecil itu. Siapa namanya? Ah iya, Rinai...”

Mataku terbelalak, sontak terbangun. Mana mungkin aku sampai melupakan janji itu? Aku sudah berjanji kepada Rinai dua hari yang lalu. Aku tidak boleh membuatnya menunggu lebih lama.
Begitu selesai mandi ala kadarnya, aku menyalakan mesin mobil, dengan segera mobil melaju membelah kepadatan yang merayap. Aku hanya berharap Rinai tidak kecewa karena aku datang terlambat. Aku tidak bisa melihat ia duduk berlama-lama di teras Panti hanya untuk menanti kedatanganku.
Dan benar apa yang menjadi dugaanku, begitu mobilku memasuki halaman Panti, aku melihat gadis kecil itu duduk sendirian di anak tangga yang tepat berada di teras. Aduh, aku menepuk jidat, tuh kan ini gara-gara aku bangun kesiangan. Dengan berjingkat-jingkat aku menghampirinya, lantas duduk disampingnya. Aku juga tidak bersuara, ingin sedikit membuat suprise untuknya.

“Kak Mita?” Rinai mengedarkan pandangannya, tangannya mencoba mencari pegangan.

“Kakak disebelah kamu sayang.” Aku meraih tangannya, ternyata suprise-ku gagal total.
Dengan mudah Rinai merasakan kehadiranku, apa dia sudah hapal dengan bau parfumku? Ah, tidak juga. Aku tadi tidak pakai parfum, mana sempat? Mandi saja buru-buru. Apa nalurinya jauh lebih tajam dari anak seumurannya? Mungkin saja.

Rinai riang menyambut tanganku. Aku tersenyum haru melihat gadis kecil itu tersenyum senang. Apa kehadiranku memang sangat berarti untuknya?

***

Biar aku ceritakan sedikit tentang Rinai. Aku bertemu dengan gadis kecil itu tanpa disengaja. Dua bulan yang lalu, ketika aku pulang dari luar kota. Perhatianku tersedot saat menuruni gerbong kereta, tertegun melihat anak kecil menangis seorang diri, gadis kecil berbilang delapan tahun itu, meringkuk ketakutan, menangis dipojokkan Stasiun Kota. Aku sangat iba melihatnya, bahkan mana ada diantara ribuan orang yang hilir mudik mau mempedulikannya? Gadis kecil yang malang dan kesepian. Hatiku terenyuh demi melihat wajah polosnya. Aku berjalan mendekatinya, menyentuh pundaknya lembut. Takut-takut nanti dia malah berteriak.

“Kamu kenapa menangis? Orangtua kamu dimana? Biar kakak bantu cari ya?” Aku menelan ludah, tidak tega melihat air mata yang berlinangan di lesung pipitnya. Mungkin saja anak kecil ini tidak sengaja terlepas dari gandengan tangan Ibunya. Dia hanya menggeleng sebagai jawabannya.
“Nama kamu siapa?” Aku membelai rambutnya yang dibiarkan tergerai dengan bando pita hijau diatasnya.

“Ri-na-i...” Terpatah-patah ia mengatakan, masih segan berbicara dengan orang yang baru dikenalnya.

Aku tergugu sejenak, mencoba merangkai penjelasan. Apa jangan-jangan orangtua Rinai memang sengaja meninggalkan ia sendirian? Membuangnya? Entahlah, tapi bisa dibilang begitu. Teramat tega memang, hanya karena cacat yang diderita oleh Rinai, maka dengan entengnya mereka lepas tangan dari tanggungjawab itu. Waktu itu sempat terbesit di kepalaku untuk menolongnya, barangkali Rinai lebih aman jika berada di Panti Asuhan.

“Jangan nangis dong! Nanti jelek hlo. Ya udah, kamu ikut sama kakak aja ya.” Aku sedikit menghibur, Rinai menyeka matanya dan mengangguk pendek. Aku tersenyum lega, kukira dia akan menolak.
Dan, hari itu juga Aku mengantar Rinai ke Panti Asuhan. Aku sangat berharap Rinai mendapatkan teman banyak di Panti. Aku tahu jika Rinai berbeda dengan anak sepantarannya. Dia sangat istimewa. Meskipun kekurangannya menjadi batas ruang gerak untuknya, akan tetapi aku masih bisa melihat semangat dipancaran bola matanya.

***

“Coba tebak apa yang kakak bawa buat kamu?!” Aku menyeringai jahil. Ini hal yang biasa aku lakukan saat jadwal rutin kunjunganku; selalu membawakan Rinai sesuatu.

“Apa kak? Rinai penasaran nih!” Matanya mengerjap lincah, tidak sabaran.

“Kamu tebak dong! Aku kasih cluenya deh. Badannya berbentuk kotak, ada lubang-lubangnya, warnanya kuning, terus...”

“Spongebob kan kak? Hahaha,” Rinai memotong, tertawa geli. Ah, ternyata dia pintar soal tebak-menebak.

“Iya deh, kali ini kamu yang menang. Oh ya, besok mau kakak bawain apa lagi?” Aku menaruh boneka itu di pangkuannya. Rinai tertunduk dalam. Kenapa? Aku juga tidak tahu.

“Rinai nggak butuh semua hadiah-hadiah itu, kak. Bukannya Rinai nggak menghargai pemberian kak Mita. Tetapi... Rinai cuma ingin kak Mita jangan pernah tinggalin Rinai ya...” Tangannya terulur, mencoba menyentuh pipiku. Sungguh, Rinai membuatku menjadi orang yang paling berharga didunia ini. Setidaknya, aku bisa menemani setiap lembaran hidupnya yang kosong. Membantunya melewati hari-hari penuh warna, meski hanya gelap yang bisa ia lihat. Ya, Rinai adalah gadis buta. Aku menyayangi Rinai seperti adikku sendiri. Dia seperti secerca cahaya yang hadir dalam hidupku.
“Iya, kakak berjanji akan selalu menjaga dan melindungi kamu. Tapi ingat, Rinai nggak boleh cengeng ya.” Air mataku menetes, aku menangis tanpa bersuara, takut Rinai akan mendengarnya. Tapi tangan mungil itu, sekali lagi membelai pipi, pelan mengusap air mata di kedua pipiku. Aku merengkuh bahunya, lihatlah walaupun mata itu tidak bisa melihat, tetapi Rinai selalu bisa membuatku bangga. Alhasil, hanya suara tangis membuncah yang menjadi ujung pertemuan pagi itu.
***

“Memangnya siapa sih Bu yang akan mengadopsi Rinai? Saya mohon, tolong biarkan Rinai tetap tinggal di Panti ini. Atau biarkan saya saja yang mengadopsinya, Bu.” Aku memohon, berteriak-teriak, menolak dengan lantang. Ibu Rose berdehem.

“Mit, Ibu tidak bisa mencegahnya. Karena semua persyaratan untuk mengadopsi sudah lengkap. Sedangkan kamu, kamu belum mempunyai suami—”



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini