Rabu, 16 November 2011

Aku dan Rinai, part 3


 Pagi ini aku melangkah dengan gontai, membawa gitar di tangan kananku dengan riang hati. Aku pikir Rinai akan merasa senang jika aku mengajaknya bernyanyi. Mataku menyapu ke setiap sudut Panti, mencari wajah polos itu. Tetapi tidak ada. Kemana Rinai?

“Kak Mita!!” seru seseorang mengagetkanku. Aku menengok, gadis kecil itu menyeringai dari balik pintu. Aku segera menghampirinya.

“Kakak hari ini bawa gitar nih. Kita nyanyi bareng yuk? Kamu mau kan?” Rinai mengangguk antusias. Aku membimbingnya menuju halaman belakang.

Kami duduk di kursi panjang berpelitur kayu. Jemariku pelan mulai memetik gitar akustik itu, dengan sedikit iringan lagu tentunya. Rinai menyimak dengan serius, malah suara kecilnya lamat-lamat terdengar, ikut bernyanyi bersamaku. Ah, bahagia sekali menghabiskan waktu bersamanya. Waktu-waktu yang tidak akan pernah terulang kembali dalam lembaran hidupku.

Setelah dirasa bosan bernyanyi, sesekali kami saling melempar canda. Tertawa. Saling menggelitiki. Terpingkal-pingkal.
“Kak Mita hebat!! Andaikan aku punya Bunda seperti kakak, mungkin aku adalah anak yang paling beruntung di dunia ini!” Rinai menyeringai lebar.

“Kamu kangen ya sama Bunda kamu?” Aku menyentuh tangannya, wajah itu berubah murung.

“Kata Ayah, Bunda udah bahagia di tempat lain. Bunda sekarang tinggal bersama malaikat-malaikat di surga.” Rinai mendongakkan kepala, tangannya menunjuk langit. Oke, aku mengerti maksudnya. Gadis sekecil ini tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu. Aku menyeka sudut mataku.

“Bunda kamu pasti bahagia diatas sana. Rinai jangan bersedih lagi ya.” Aku mengelus rambutnya yang di kepang dua. Air mata meleleh di pipinya.

***

“Anda lagi? Astaga, mimpi apa saya semalam sampai harus bertemu lagi dengan makhluk dingin seperti Anda.” Aku mengibaskan tangan, terkekeh.
“Terserah saya. Memangnya kamu itu siapa? Pemilik Panti ini? Enggak kan?” Wahyu balas menyeringai, berlalu begitu saja dari hadapanku. Untuk kedua kalinya aku merasa dianggap sebagai ‘patung hidup’. Tapi tunggu, kenapa dia masuk ke ruangan Ibu Rose? Aku mengikutinya lagi. Penasaran.


Apa salahnya menguping lagi?


Dengan segera, aku mengintip di celah-celah pintu. Mencari posisi yang strategis untuk mendengarkan pembicaraan mereka berdua.
“Saya sudah ambil keputusan. Besok saya akan membawa Rinai ke London untuk tinggal bersama saya disana. Jujur, disini saya selalu terbayangi dengan rasa bersalah itu.” Wahyu berkata parau, tertunduk dalam.
“Sudahlah, Wahyu. Ikhlaskan istrimu yang sudah pergi. Jangan pernah kamu menyesali apa yang sudah menjadi takdir.” Ibu Rose menyentuh pundak Wahyu, menatap iba.


“Tapi, bagaimana aku bisa tenang Bu? Istri saya meninggal karena kecerobohan saya. Dan Rinai harus kehilangan penglihatannya juga karena saya!” Wahyu semakin terpekur, meremas rambutnya.

Aku menggeleng. Tidak mungkin. Apa yang harus aku rangkai dari penjelasan ini? Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Kakiku gemetar, aku terduduk di ambang pintu. Meringkuk, memeluk kedua lututku. Semua ini sangat menyakitkan. Tanpa terasa basah membajiri kedua pipiku. Rinai? Oh Tuhan, gadis kecil itu...

Aku mendongakkan kepala, melihat siapa yang menyodorkan saputangan. Wahyu? Aku beranjak dari dudukku, menatap wajah Wahyu dengan geram.
“Saya butuh semua penjelasan itu! Tentang Rinai—” Aku mendesis. Wahyu menyeka hidungnya.
“Saya rasa kamu tidak perlu mengetahuinya. Ini urusan keluarga saya!” Wahyu berlalu, tetapi aku menahan lengannya.
“Rinai anak kandung Anda? Iya kan?” Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Kami saling berhadapan. Wahyu menggeleng, enggan menjelaskan.
“Tetapi, kenapa Anda dengan tega meninggalkan Rinai sendirian di Stasiun Kota dua bulan yang lalu?” Aku berseru, mencengkram kerah kemejanya, emosiku meluap tak tertahankan.
“Itu memang kesalahan saya!” Wahyu menepis tanganku, berjalan meninggalkanku, segan memberi tanggapan lagi. Ya Tuhan, kenapa masalah ini sangat rumit? Aku benar-benar tidak mengerti. Rinai akan di bawa ke London? Bagaimana mungkin aku bisa jauh dari gadis kecil yang amat polos itu. Apa aku bisa merelakan Rinai pergi jauh?

Malam harinya, entah aku tiba-tiba ingin pergi menemui Rinai. Karena aku sadar, besok aku harus membiasakan diri hidup tanpa Rinai. Aku datang membawa sepotong coklat kesukaannya. Aku berharap Rinai belum tidur.


Aku mengetuk pintu kamar Rinai tiga kali. Tidak ada respon. Aku melipat dahi, memanyunkan bibir tanda kekecewaanku. Mungkin saja Rinai sudah tidur. Ya sudahlah, mungkin besok pagi saja aku datang kemari lagi.

Tapi, ada sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Lamat-lamat aku melihat halaman Panti dari gorden jendela, ada Rinai disana. Tetapi dia tidak sendirian, lantas dengan siapa?
Setelah mendekat, aku baru tahu kalau Wahyu yang duduk bersama Rinai. Wahyu menoleh, mungkin merasakan kehadiranku.

“Siapa ayah?” Rinai bertanya, ikut-ikutan menoleh ke arahku.


“Bukan siapa-siapa kok.” Wahyu berkata datar, memberiku isyarat agar menjauh. Dan bodohnya, aku menuruti perintahnya.

Lebih sialnya, hujan turun dengan deras. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk pulang. Aku menelangkupkan kedua tanganku didada. Hujan membuat malam semakin dingin.


“Kamu belum pulang?” tegurnya, sok perhatian.


“Hujan! Mobil saya terparkir didepan gerbang.” Aku tak mengacuhkannya. Tadi saja dia mengusirku dengan seenaknya.


“Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan dengan kamu, tapi tidak disini.” Wahyu berdehem seraya melepas jaketnya.


“Kenapa harus di tempat lain? Disini juga bisa kan?” Mataku terpicing melihat gelagat anehnya. Tanpa basa-basi, Wahyu memayungi kepalaku dengan jaketnya. Oh Tuhan, kami saling bertatapan. Derai hujan seakan tertahan di udara. Lagu romantis seperti mengalun indah di sela-sela angin malam.


“Kita bicara di mobil saya!” Wahyu membuyarkan lamunanku. Aku mengiyakan.


“Memangnya apa sih yang akan kita bicarakan? Sok penting!!” Aku mulai berkomentar dengan sebal.


“Ini tentang Rinai. Oke, saya akan menceritakan semuanya. Kamu memang benar, Rinai adalah putri kandung saya. Dan tepat dua bulan yang lalu, Rinai menghilang dari rumah. Dan saya tidak tahu keberadaannya. Sampai Ibu Rose memberi tahu saya kalau Rinai berada di Panti ini—”




Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini