Aku adalah salah satu orang di
antara milyaran orang di bumi yang menjadi korban ‘broken home’. Mempunyai jiwa
pemberontak, tentu saja. Kehidupanku sangat berbeda jauh dengan mereka yang
mempunyai keluarga yang utuh. Aku anak tunggal yang selalu menjadi piala bergilir
untuk Mama dan Papa. Mereka akan berlomba-lomba memaksaku tinggal dengan salah
satu di antara mereka. Lantas, setelah aku menuruti apa mau mereka, kalian tahu
apa yang mereka lakukan? Sama saja. Mereka lebih memilih sibuk dengan bisnis
mereka. Aku hanya dijadikan pajangan di rumah besar mereka.
Hingga aku memutuskan untuk
kabur. Terlalu nekad untuk ukuran seorang perempuan. Status itu tidak masalah
bagiku—selama aku bisa menjaga diri. Aku melambaikan tangan saat sebuah bis
muncul dari seberang jalan.
Aku duduk persis di dekat
jendela, kebetulan hujan turun dan membuat hatiku tenang. Hujan selalu
membuatku lega, ada perasaan tenang saat melihat air turun dari langit. Seperti
ada yang menemani tangisku—meski di depan semua orang aku tidak pernah
menangis. Ternyata hujan turun lebih cepat di awal bulan September.
Hujan masih deras saat aku
turun dari bis. Aku berlari kecil, langsung ke arah danau. Tidak banyak yang
tahu dengan keberadaan danau ini, karena letaknya yang kurang strategis—jauh
dari pusat kota. Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke danau dari tempatku
turun dari bis tadi.
“Maaf…” Ia menoleh begitu aku
datang. Aku mengerutkan dahi, lantas berpikir sejenak. Mungkin orang ini
menyadari keterkejutanku atau memang ia meminta maaf karena telah mengambil ‘tempat’ku.
Aku menggeleng. Ia juga basah kuyup sepertiku. Heran saja melihat ada orang di
sini. Padahal selama bertahun-tahun aku ke sini, aku tidak pernah melihat orang
menyambangi danau ini.
“Sekali lagi maaf ya, Mas?”
katanya ragu.
“Mas?” aku melongo,
terkaget-kaget.
“Saya udah pantas dipanggil
‘mas’ ya?” tanyaku balik. Ia memiringkan kepala, memandangiku dari ujung sepatu
sampai ke rambut. Dan bodohnya, aku ikutan memandangi penampilanku sendiri.
“Terus saya harus panggil apa?”
tanyanya berbasa-basi. Entah mengapa, aku tidak sesebal seperti biasanya.
Mungkin karena ia mempunyai tatapan yang ramah.
“Panggil Septi aja,” kataku
mengulurkan tangan. Tunggu.. kenapa aku se-extrovert ini? padahal bisa saja
orang ini orang jahat. Ia menyambut uluran tanganku.
“Fajar… Fajar Septa.” Ia mantap
menyebutkan namanya. Aku tertegun.
“Lahir bulan September juga?”
tanyaku, spontan. Ia mengangguk. Aku menatapnya cukup lama. Lelaki ini seperti
mempunyai apa yang aku cari selama ini. Saking lamanya aku menatapnya, sampai
aku tidak sadar jika dari tadi kami kehujanan. Kulihat ia mulai menggigil.
“Berteduh di bawah pohon, yuk!” aku
menarik tangannya ke sebuah pohon rindang yang besar. Ia menurut.
“Baru pertama kali ke sini?” tanyaku
kemudian, setelah kami duduk di akar pohon yang besar. Ia mengangguk.
“Ini kan udah sore. Mama kamu nggak
bakal khawatir?” entah mengapa tiba-tiba ia bertanya demikian. Aku terhenyak.
“Nggak. Mamaku nggak bakal khawatir,”
jawabku, memaksakan bibirku tersenyum.
“Kamu sendiri?” tanyaku saat melihat
ia terdiam.
“Saya nggak seberuntung kamu, atau
orang-orang pada umumnya. Saya nggak punya orangtua. Sewaktu saya masih kecil
saya hidup di panti.” Ia bercerita seraya menatapku.
“Dan sekarang, meski saya mempunyai
hidup yang layak. Saya tidak pernah merasa bahagia, karena tidak ada orangtua
di samping saya.” Lanjutnya. Aku memutus pandangan kami. Hujan sudah reda
beberapa menit yang lalu.
“Maaf, saya jadi cerewet gini,” ia
tersenyum. Aku menggeleng, tidak masalah.
“Ini hampir petang. Dan saya harus
pulang. Saya harap kamu juga pulang. Orangtua kamu pasti cemas sekali.” Ia
berdiri dan mengulurkan satu tangannya kepadaku. Aku menggeleng. Ia berkerut
dahi.
“Saya masih pengen di sini,” kataku,
menjawab kebingungannya.
“Baiklah, saya akan temani kamu di
sini sampai kamu mau pulang,” katanya, sangat tulus. Lalu ia kembali duduk di
sampingku.
“Percuma,” kataku. Ia sedikit
mencodongkan tubuhnya untuk menatap wajahku. “Saya nggak akan pulang,”
lanjutku.
“Kamu mau ikut saya ke panti? Nggak
jauh kok dari sini. Kebetulan saya kangen pengen mampir sana. Kamu bahaya kalau
di sini sendirian,” ucapnya, penuh perhatian.
“Nggak. Saya nggak mau merepotkan
siapa pun. Nggak masalah kalau saya sendiri di sini, sudah terbiasa.” Aku
menoleh, dan mendapati ia yang menghela napas. Mungkin sudah bingung membujukku
dengan cara apa lagi.
Ia tersenyum sekali lagi, “baiklah,
saya akan temani kamu di sini, sampai pagi.” Ia lalu berjalan ke tepi danau,
duduk menghadap danau. Aku menatap punggungnya, lantas menyusulnya.
“Kenapa kamu baik banget sama saya?
Kita kan baru kenal?” tanyaku sangat penasaran.
Tanpa menoleh ia pun menjawab, “saya
yakin kamu sedang menghadapi masalah besar. Meski saya tidak tahu masalah apa
itu.”
“Kamu lihat bulan itu?” tanyanya,
mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk, meski ia tidak menoleh kepadaku.
“Cahayanya selalu menenangkan. Bagi
saya apa pun bentuk bulan, tetap saja indah dipandang.” Ceritanya dengan
antusias, sementara aku menatap pantulan bulan di permukaan danau yang tenang.
“Fajar?” gumamku.
“Iya?” sahutnya cepat.
“Tanpa saya melihat bulan di langit.
Saya sudah merasa ada bulan di samping saya, tanpa saya melihatnya, cahayanya
bisa saya rasakan.” Ia tertawa setelah mendengar kalimatku ini.
“Saya digombalin nih,” ia masih
tertawa. Aku menyikut lengannya.
Tuhan, terimakasih untuk pertemuan
tidak sengaja ini. Setelah sekian lama aku menganggap semua orang egois, kini
aku menemukan seseorang yang mampu mematahkan semua prasangka burukku. Selama
ini aku terlalu sulit menemukan orang yang benar-benar tulus. Tetapi kali ini,
aku mulai percaya jika di antara milyaran orang di bumi, ada di antara mereka
yang hadir untuk menemani kesedihanku.
Aku tergeragap mendengar dering
ponsel. Saat menoleh aku mendapati Fajar sedang mengangkat ponselnya.
“Halo? Iya? Aku lagi di danau. Iya
iya, besok aku pulang.” Ia langsung menutup teleponnya, obrolan yang singkat.
“Dari siapa?” tanyaku dengan
lancang.
“Hmm.. calon istri,” jawabnya
serius. Aku tersenyum sebisa mungkin.
“Dia pasti sangat bahagia sekali.”
Aku kembali menatap tenangnya air danau.
“Aku tidak tahu apakah dia bahagia
atau tidak,” katanya.
“Kenapa? Aku kalau jadi dia pasti
akan selalu bersyukur karena punya kamu.” Aku samar tertawa. Sampai butuh
beberapa detik untuk menyadari apa yang sudah aku katakan. Ia diam, hanya
menatapku sekilas.
***
“Om Septa!!!” Semua anak-anak kecil
berlari dari teras tanpa diberi aba-aba. Aku yang berdiri di sampingnya sampai
tersingkirkan.
Anak-anak itu menggiring tangan
Septa ke dalam panti. Aku hanya mengekor di belakang mereka. Septa sepenuhnya
menguasai hati anak-anak kecil itu. Aku tersenyum melihat Fajar yang mulai
kewalahan.
“Septa? Kapan datang?” Wanita
paruhbaya muncul dari dapur. Fajar mencium tangan wanita itu.
“Ini teman saya, Bun.” Fajar
mengenalkanku. Wanita itu tersenyum dan menjabat uluran tanganku.
“Septi,” kataku. Ia mematung begitu
mendengar namaku.
“Astaga.. nama kalian sangat mirip!”
Ia berseru, membuat anak-anak berdecak.
“Cuma kebetulan, Bunda.” Fajar
menyela. Aku tersenyum kikuk.
“Bau gosong, Bunda!!” anak-anak
kompak berseru. Bunda kalap, lantas berlari ke dapur. Fajar tersenyum maklum.
Aku berkeliling panti yang
mempunyai halaman belakang cukup luas. Fajar menemaniku. Suasana yang masih
pagi membuat udara masih terasa sejuk. Embun masih menempel di pucuk dedaunan,
juga di rumput yang terpotong rapi.
“Di sini damai banget!” komentarku.
Kami berhenti sejenak. Aku duduk di salah satu ayunan kayu. Fajar menyandarkan
tubuhnya di tiang ayunan.
“Kalau mau kamu bisa tinggal di
sini,” katanya.
“Memang boleh?” tanyaku, belum
yakin.
“Boleh banget,” ia mengacak rambut
pendekku dengan gemas.
“Septi! Septa! Ayo sarapan dulu!”
Bunda berteriak dari ambang pintu belakang. Kami menoleh dengan kompak. Bisa
dibayangkan bagaimana aku cukup terkejut dengan panggilan dua nama itu.
Seolah-olah aku dan Fajar ini saudara kembar. Aku juga baru sadar jika semua
penghuni panti selalu memanggilnya ‘Septa’.
“Ayo jangan sungkan-sungkan,” Bunda
tersenyum dengan ramahnya kepadaku. Fajar malah berinisiatif menyendokkan nasi
goreng ke piringku, aku menahan tangannya. Dan aku terjebak dalam tatapan
matanya yang teduh. Suara gaduh dari anak-anak yang berebut krupuk pun
membuyarkan tatapan mata kami. Untung saja tidak ada yang menyadarinya.
Setelah selesai sarapan aku ikut
bergabung dengan anak-anak di halaman belakang. Aku ikut bermain bola dengan
mereka. Dengan cepat aku melipat jeans panjangku sampai ke lutut. Fajar menjadi
wasitnya. Permainan semakin sengit saat aku berhasil mencetak gol. Anak-anak
yang tidak se-team denganku memprotes kepada Septa. Mereka tidak terima.
Jadilah Septa mau tidak mau ikut bermain di team lawan.
Keadaan berimbang, kedua team saling
susul menyusul skor. Kami melakukan celebration—yang menurutku cukup aneh—setiap
kali berhasil membuat gol. Tapi ini sangat mengasyikkan. Aku tidak pernah
se-gembira ini.
BRUKKK!
Aku terjatuh ketika ada anak yang
tidak sengaja menyingkat kaki kananku. Fajar berlari menghampiriku.
“Mana yang sakit?” tanyanya dengan
panik. Aku menggigit bibir saat pergelangan kakiku terasa nyeri. Fajar memijat
kakiku, aku mengaduh kesakitan saat ia menyentuh bagian yang sakit.
“Anak-anak, udahan ya mainnya.
Sekarang waktunya mandi,” katanya memberi perintah untuk bubar. Aku masih
meringis kesakitan.
“Bisa berdiri?” tanyanya kemudian
setelah anak-anak membubarkan diri. Aku mencoba berdiri sendiri, dan.. HAP! Aku
yang nyaris terjatuh ke tanah tertahan oleh kedua tangannya.
“Biar saya gendong ya?” ia
menawarkan diri, lalu berjongkok di depanku. Aku langsung naik ke punggungnya.
Ia membawaku ke kamar Bunda.
“Hloh, Septi kenapa?” Bunda bertanya
dengan heran.
“Tadi jatuh pas main bola sama
anak-anak. Kakinya keseleo.” Fajar menjelaskan saat aku hendak membuka mulut.
Bunda duduk di tepi kasur, menyentuh
kakiku yang kini mulai kebiruan. Lalu tanpa aba-aba ia memijat kakiku. Aku
refleks mencari pegangan yang ada di dekatku. Terpaksa, satu tangan Fajar
kuremas dengan kencang. Kulihat Fajar tidak keberatan, meski aku tahu ia pasti
kesakitan. Aku sampai ingin menangis karena terasa sakit sekali.
“Sudah.. besok pasti akan sembuh,”
kata Bunda, selesai mengurut kakiku. Aku lega sekali. Tangan Fajar yang sejak
tadi aku pegang sudah berkeringat.
“Maaf ya..” Aku melepas tangannya.
“Nggak apa-apa,” lagi-lagi ia
menatapku dengan ramah.
“Saya jadi merepotkan,” kataku.
Bunda menggeleng.
“Kamu ini, apanya yang merepotkan.”
Bunda berkata tegas.
“Oh ya, tadi Rani telepon. Dia khawatir
sama kamu, katanya kamu disuruh pulang.” Bunda berbalik setelah sampai di
ambang pintu. Fajar hanya mengangguk.
“Jangan bikin dia tambah khawatir,”
kataku. Fajar hanya diam.
“Saya nggak punya pilihan lain.” Ia
menatapku sekilas, lantas melangkah keluar kamar.
***
Danau ini seperti biasanya,
selalu sepi, bahkan siang sekali pun. Hanya derap angin yang samar terdengar,
membawa dedaunan kering terbang. Air danau itu tetap tenang dan bening seperti
biasanya. Masih sama seperti kemarin. Hanya saja bedanya tidak ada Fajar di
sini. Jelas sekali perbedaannya. Aku mengais satu kerikil dari tanah, lalu
mengambil ancang-ancang untuk melemparkannya ke tengah danau. Aku ingin
melampiaskan semuanya. Perasaan sendiri, kesepian, semua sesak di dada. Aku
ingin melemparnya bersama dengan kerikil itu. Namun yang terjadi malah
sebaliknya, aku merasa duniaku semakin sepi.
“Kakak lagi ngapain?” Aku terkejut
karena tiba-tiba anak kecil itu sudah berdiri di sampingku.
“Eh, kamu.. Maaf ya, kakak nggak
bisa ikut main bola lagi.” Aku menepuk-nepuk bahunya.
“Dimas minta maaf ya kak. Kemarin
pagi aku bikin kakak jatuh, sampai kakak harus kesakitan waktu dipijat Bunda.”
Anak yang bernama Dimas itu tertunduk, merasa sangat bersalah. Aku rasa kemarin
ia tidak berani meminta maaf karena takut Bunda marah.
“Nggak apa-apa. Nggak sakit kok,”
kataku berdusta.
“Kakak udah kenal lama sama kak
Septa?” tanyanya, memutar balik topik pembicaraan.
“Baru beberapa hari yang lalu. Di
danau ini,” jawabku. Ia kemudian tampak berpikir.
“Sayang ya, sebentar lagi kak Septa
bakal nikah!” katanya dengan nada yang kecewa.
“Terus kalau nggak nikah emangnya
kenapa?” tanyaku sembarangan.
“Ya biar nikah sama kakak aja,”
katanya dengan lugu. Aku membelalakkan mata. Anak sekecil ini berbicara demikian?
“Dimas mau lihat kak Septa bahagia
kan?” tanyaku. Ia mangangguk cepat.
“Tapi aku nggak suka sama kak Rani!”
serunya, membuatku terheran lagi.
“Tetapi kamu harus menghargai apa
yang sudah menjadi keputusan kak Septa. Nanti kalau kamu sudah dewasa pasti
akan mengerti,” aku tersenyum. Dimas tidak mengotot lagi, ia akhirnya diam.
***
Mendung sudah berarak di atas sana,
membentuk segumpalan awan hitam. Hujan pasti akan turun sebentar lagi. Aku sama
sekali belum mau beranjak dari tepi danau. Tanpa terasa, sudah satu minggu aku
tinggal di panti. Hidup di tengah anak-anak yang masih lugu, ikut bermain
dengan mereka. Dengan di sini aku seperti bisa mengganti waktu bersama
keluargaku. Berada di antara mereka aku bisa merasakan rasanya mempunyai
keluarga yang lengkap. Meski aku tahu, setiap anak panti selalu mempunyai kisah
masing-masing. Tapi mereka selalu ceria, tidak pernah mengeluh. Sangat berbeda
jauh denganku.
“Septi…”
“Iya?” aku menoleh secara teratur.
Mataku berhenti sejenak pada sosoknya yang berdiri di belakangku.
“Ah, kapan datang?” aku tanpa sadar
langsung memeluknya.
“Baru aja.. sama Rani,” jawabnya.
Secepat mungkin aku melepas pelukanku saat mendengar nama itu disebut.
“Di mana dia sekarang?” tanyaku,
melongokkan kepala ke sekitar.
“Lagi di panti,” ia beringsut duduk
di tepi danau. Aku masih berdiri.
“Kapan kalian menikah?” tanyaku,
tanpa bergeming.
“Lusa. Kamu jangan lupa datang ya.”
Ia menoleh dan tersenyum kepadaku.
“Saya pasti akan datang,” jawabku
tanpa ragu.
“Sayang.. kamu di sini ternyata. Aku
cari kemana-mana nggak ketemu!” aku membalikkan badan, dan mendapati wanita
cantik dengan rambut tergerai berdiri di belakang persis dari tempatku berdiri.
Itu pasti Rani. Aku menoleh ke samping tepat saat Fajar berjalan ke arah Rani berdiri.
Dibanding dengan Rani aku tidak ada apa-apanya.
“Rani,” katanya, mengulurkan
tangannya yang putih mulus. Aku menjabat tangannya, “Septi.”
Pertemuan itu seperti menyadarkanku,
kalau aku ini bukan siapa-siapa di mata Fajar. Seperti diingatkan kalau
sebentar lagi mereka akan menikah. Seperti yang aku katakan waktu itu. Alangkah
bahagianya menjadi wanita ini, sebentar lagi ia akan bersanding dengan Fajar.
Sementara aku, pungguk merindukan bulan.
***
Aku
merindukan saat-saat dimana kamu ada untukku, dan hanya untukku. Kamu pernah
bilang jika kamu tidak memiliki pilihan lain. Kenapa? Sementara ada aku yang
ingin menjadi pilihanmu yang entah ke berapa. Tetapi besok kamu akan menjadi
miliknya. Apakah kita bisa duduk bersama di tepi danau seperti biasanya?
Kenapa
setiap aku merasa hidupku telah lengkap, takdir harus mengambilnya kembali? Apa
aku tidak berhak untuk bahagia?
“Saya akan pulang nanti.” Aku
menatap dua burung yang terbang rendah di atas danau.
“Akhirnya..” katanya sangat
lega.
“Saya sangat bahagia karena
sempat mengenal orang sepertimu. Tapi, apakah suatu hari nanti kita akan
bertemu kembali?” ujarku masygul.
Ia tertawa, “besok jadi
datang kan? Berarti kita masih bisa bertemu.”
“Maksud saya.. apakah kita
bisa duduk bersama di tepi danau seperti sekarang?” tandasku. Fajar mengatupkan
bibirnya.
“Saya tidak tahu,” gumamnya
lirih.
Saat itu aku mengerti
bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi.
***
Hari yang aku takutkan sudah
tiba di depan mataku. Tinggal menunggu beberapa jam saja maka harapanku akan
padam. Aku duduk termenung di bingkai jendela kamarku. Aku tidak tahu, apakah
aku harus datang atau tidak ke pernikahan itu. Yang jelas Mama menyerahkan
semua keputusan kepadaku. Tentu saja ia memilih memikirkan proyek-proyeknya
daripada ikut campur dalam masalahku.
Hujan turun pagi itu, hanya
rintik kecil, namun sedikit membuatku tenang. Aku sudah yakin dengan
keputusanku. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan datang ke pernikahan itu.
Pengecut? Iya, aku memang pengecut. Aku terlalu lemah untuk urusan semacam ini.
Fajar..
aku selalu berharap jika suatu hari nanti Tuhan masih mengijinkan kita untuk
bertemu.
***
Tahun-tahun berlalu sebagaimana
mestinya—
Tidak
ada Septi yang dulu. Septi yang pemberontak sudah tidak ada. Juga tidak ada
Septi yang maskulin. Yang ada sekarang adalah Septi yang baru. Penurut dan bisa
menerima keadaan sesakit apa pun itu. Aku akhirnya bisa menerima segala hal
yang memang seharusnya aku hadapi, bukan malah aku hindari. Aku belajar banyak
tentang arti kehidupan dari anak-anak panti, dan tentu saja dari Fajar. Lelaki
itu mengajariku banyak hal. Termasuk cara ia tersenyum. Tanpa sengaja aku mulai
terbiasa meniru cara ia tersenyum. Papa dan Mama sampai tidak percaya dengan
perubahanku yang drastis. Meskipun sampai detik ini aku belum bertemu dengan
Fajar. Padahal aku sudah mencoba mencarinya berulang kali ke panti, juga ke
danau. Tapi tidak ada, Bunda juga tidak tahu keberadaan Fajar. Katanya, terakhir
kali Fajar ke panti sudah setahun yang lalu.
Ia seperti sengaja menghilang tanpa
jejak. Selalu membuat tidurku tidak pernah nyenyak setiap malamnya. Atau memang
ia sengaja menghindar dariku? Alasannya apa? Apa ia takut aku akan membuat
rumah tangganya dengan Rani berantakan? Aku sangat yakin bukan itu alasannya.
Walau—bisa dibilang—aku baru mengenalnya, aku sangat tahu ia tidak mungkin sejahat
itu.
Aku mengisi hari-hariku dengan
hunting novel ke semua toko buku yang ada di kota ini. Papa dan Mama sebenarnya
sudah berpuluh kali menyuruhku bekerja di kantor mereka, tetapi aku selalu
menolaknya. Bagiku, aku belum siap untuk fokus bekerja selama… aku belum
menemukan Fajar.
“Semua jadinya dua ratus lima puluh
ribu, Mbak.” Kasir itu mengeja angka yang tertera di layar komputernya, selesai
menghitung novel-novel yang kubeli.
“Sebentar ya, Mas.” Aku segera
merogoh dompet yang ada di dalam tas tanganku. Tanganku sulit sekali untuk mencarinya.
Karena cukup kesal, aku menarik sembarangan note kecil yang menghalangi
tanganku. Tanpa kuduga, ponselku ikut tertarik keluar dan terpelanting ke
lantai. Aku menaruh tasku di meja kasir. Aku berniat berjongkok untuk mengambil
ponselku. Tetapi seseorang sudah terlebih dahulu mengambilnya dari lantai.
“Lain kali hati-hati ya, Mbak.
Untung nggak rusak,” katanya, menyodorkan ponselku.
“Iya, terimakas..” aku mendongakkan
wajah untuk melihat siapa orang yang telah berbaik hati mengambilkan ponselku.
“Saya.. saya nggak mimpi kan?” Aku
menepuk pipiku dua kali. Tidak mudah untuk menyadarinya. Aku menutup mulutku
saking shocknya. Orang yang selama beberapa tahun aku cari kini berdiri tegak
di hadapanku. Senyumannya masih sama seperti yang dulu. Tidak pernah berubah
sedikit pun.
Aku berlinangan air mata. Ini untuk
pertama kalinya aku menangis. Tuhan mengabulkan semua doa-doaku selama ini. Aku
cepat menghapus air mata yang terlanjur menetes di pipi. Fajar tak kalah
terkejutnya denganku. Ia diam mematung.
Aku langsung membayar novel-novelku
begitu dompet sudah kutemukan. Saat aku menoleh, Fajar sudah menghilang. Aku
berlari keluar. Kulihat ia melangkah cepat di trotoar. Aku berlari menyusulnya,
tidak peduli meski aku memakai high heels.
“Fajar! Fajar!!!” teriakku. Namun ia
tidak mau berhenti, menoleh saja tidak. Aku sampai tidak menyadari ada batu di
depanku.
“Arrrrghhh!” pekikku. Tubuhku
terjatuh di kerasnya trotoar. Semua novelku berhamburan dari plastiknya. Aku
tidak sanggup berdiri.
“Mana yang sakit?”
Ternyata ia masih peduli kepadaku.
Ia kembali saat mendengar jeritanku tadi. Fajar membantuku berdiri, ia yang
mengais novel-novelku yang jatuh berserakan. Ia mengajakku duduk di taman yang
tak jauh dari sana.
“Kenapa kamu menghindari saya?”
tanyaku heran. Ia belum mengeluarkan suara.
“Saya salah apa? Soal pernikahan
itu? Saya minta maaf, waktu itu saya tidak datang karena.. karena.. karena..”
Aku terbata-bata, bingung mencari alasan yang tepat.
“Saya tidak jadi menikah,” gumamnya.
Aku cukup terkejut, “kenapa tidak jadi?” desakku.
“Rani hamil tanpa sepengetahuan
saya, dan dia lebih memilih lelaki itu. Padahal saya ikhlas menerima ia apa
adanya, termasuk bayi yang dikandungnya,” katanya seraya mengusap wajahnya. Aku
membulatkan mata, tidak percaya.
“Bukan hamil sama saya, tapi sama
mantannya.” Fajar kali ini menatapku, takut aku salah sangka.
“Alasan selama ini kamu menghilang karena
ini?” tanyaku refleks.
“Saya terlalu mencintai dia. Hingga
butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat hati saya ikhlas..” Fajar melanjutkan
ceritanya. Aku, untuk kedua kalinya meneteskan air mata.
“Kok malah kamu yang nangis?” ia
tersenyum, menyeka pipiku. Aku bergetar saat jemarinya menyentuh pipiku.
Getaran apa ini? apa ini yang orang sebut dengan cinta? Apa aku yang terlalu
bodoh untuk menyadari perasaanku sendiri? Hei, untuk apa selama bertahun-tahun
aku selalu resah menantinya? Bukankah ini yang dibilang cinta? Kenapa aku tidak
peka?
“Kok malah bengong?” ia melambaikan
tangan di depan wajahku.
“Eh.. ini jujur hlo, saya menangis
dua kali waktu bertemu kamu. Padahal saya selama ini selalu berpura-pura tegar
di depan semua orang. Tapi tadi di luar kemampuan saya,” aku terkekeh. Fajar
juga tertawa mendengar penjelasanku.
“Kamu sekarang berubah banyak ya?
Dulu waktu aku bertemu kamu pertama kali di danau, wajah kamu murung, walau
kamu memang berhasil menutupinya.” Fajar berhasil membawaku memutar kembali
memori pertemuan kami di danau beberapa tahun silam.
“Kamu itu baiknya persis malaikat.
Tapi masih aja ada wanita yang menyia-nyiakan kamu,” aku mencoba mengungkapkan
kebencianku pada Rani.
“Mungkin memang takdir saya belum
bertemu dengan jodoh saya,” ia berkata dengan tenang.
“Saya selalu berharap kamu
mendapatkan jodoh terbaik.. wanita yang berperangai sempurna.” Aku tersenyum,
persis dengan cara ia tersenyum.
“Mungkin hanya kamu yang bisa
menirukan cara saya tersenyum.. dengan persis.” Fajar terkekeh. Aku mati kutu
seketika karena ketahuan menjiplak senyumnya.
“Terima kasih untuk semua pelajaran
hidup yang kamu berikan kepada saya. Saya selalu beruntung setiap kali bertemu
dengan kamu. Saya seperti menemukan kembali bulan saya. Ya, saya tahu, tapi
bagi saya bulan di langit tidak indah tanpa ada kamu,” ucapku, ia hanya
tersenyum tidak mengerti.
“Wah, saya digombalin lagi!” ia tertawa
lebar.
“Saya serius..” Aku sedikit kesal.
“Saya juga serius mau nikah sama
kamu!” tandasnya, tidak mau kalah. Tunggu…
“Iya, saya juga se… apa? Apa yang
kamu bilang barusan?” aku sampai lupa bernapas. Ya Tuhan—
Ia berdiri, lalu secara perlahan
berlutut di depanku. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya.
Semua orang yang ada di taman mulai tertarik untuk melihat lebih dekat. Bahkan
para pengguna jalan ikutan penasaran dengan apa yang tengah terjadi. Wajahku
bersemu merah padam. Seluruh tubuhku bergetar hebat.
“Saya mau kamu menjadi tempat saya
meletakkan hati saya,” ia mulai merangkai kata. Satu tanganku ia genggam dengan
lembut. Semua orang bersiul, ada yang bertepuk tangan.
“Saya ingin kamu menjadi tempat saya
pulang. Menjadi tempat saya bermuara,” lanjutnya, bersiap memakaikan cincin ke
jari tengahku. Aku hampir meleleh. Tepuk tangan semakin riuh terdengar.
“Yang terakhir. Saya ingin… saya-lah
yang menjadi bulan untukmu. Selamanya—” Tepuk tangan membahana.
Fajar menunggu jawaban dariku. Ia
menatapku dengan mata yang teduh. Tepuk tangan sudah mereda. Puluhan pasang
mata yang menyaksikan menahan napas mereka. Situasi berganti tegang dan
mendebarkan. Aku mengangguk pelan, diiringi dengan banjir tepuk tangan. Ia
perlahan memakaikan cincin ke jari tengahku. Aku memeluknya yang masih berlutut
di depanku. Tuhan— apa ini kebahagiaan yang sudah lama menantiku? Aku mengerti
arti kata ‘bahagia’ sekarang.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar