“Aku
takut pelangiku kehilangan warnanya. Aku takut hujan akan meninggalkanku. Aku
takut hujan akan membawa pelangiku pergi dan tak pernah kembali. Aku takut
kehilangan waktu bersamamu.” Mita menangis dalam pelukku saat itu. Aku tahu
seberapa besar ketakutannya akan hal itu. Aku tidak bisa memungkirinya, karena
aku juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, aku memilih diam dan membiarkan
Mita berbicara banyak. Bukan. Bukan karena aku takut menjawabnya. Semua
tertahan di tenggorokan. Terlalu sulit, bahkan hanya untuk sepatah kata pun.
Tanpa sadar, kerapuhan Mita adalah kerapuhanku juga. Separuh hatinya telah
menjadi separuh hatiku. Begitu juga sebaliknya. Sampai kami sangat takut
menghadapi kenyataan yang ada. Bukan hanya Mita yang menangis kala itu. Aku
yang mendekap tubuhnya yang kuyup juga ikut menangis. Saat itu, aku mulai
bertanya dalam hati yang paling dalam, kenapa aku dan Mita harus dipertemukan
dengan jalan seperti ini. Dan di saat kami saling menaruh hati, badai datang
secara tiba-tiba. Aku hanya takut ia mengeluarkan terlalu banyak air mata.
Kota
ini selalu memberiku cerita yang baru, juga hari yang baru. Kota tempat dimana
aku seharusnya pulang. Kota yang merekam kenangan-kenangan indah. Kota yang
selalu dilingkupi kabut. Kota saat untuk pertama kalinya aku bertemu dengan
Mita. Aku menghela napas. Terasa sesak saat detik-detik pertemuanku dengan Mita
di bukit dulu terputar dalam otakku. Ketika aku menemukannya terjerembab di
semak dengan lebam di tubuhnya. Semua getaran itu tidak pernah lebih dari
faktor kembar.
Pagi
yang masih berembun membatasi jarak pandang. Kini kebun teh di depanku nyaris
tertutup tebalnya kabut. Aku duduk di teras, menikmati pagi yang baru. Tentu saja
aku tidak sedang duduk di teras villa-ku. Di sini, di rumah ini seharusnya
menjadi tempat aku menghabiskan masa kecilku dengan keluarga yang lengkap.
Tetapi, ternyata aku bisa berada di rumah ini setelah sekian lama hidup hanya
berdua dengan Ayah.
“Wahyu!
Wahyu!!”
Aku
melompat dari dudukku, seketika tersadar dari lamunanku saat Bunda berteriak
memanggilku.
“Ada
apa, Bun?” tanyaku ikut panik.
“Mita
nggak ada di kamarnya. Semalam dia nggak mau makan. Ini pagi-pagi malah udah
kabur entah kemana. Mana lagi demam!” Bunda melapor dengan kalap. Demam? Aku
langsung berpamitan, tidak salah lagi, aku akan mencarinya ke bukit.
***
“Huh,
curang nih! Ke sini nggak ngajak-ngajak!” Aku duduk di sebelahnya. Ia tidak
mengindahkan kedatanganku. Menoleh saja tidak.
“Dicari
Bunda tuh. Suruh pulang,” kataku.
“Paling
juga disuruh makan. Terus minum obat!” Mita tetap saja tidak menatapku. Aku
tidak tahu apa yang sedang ia pandangi di depan sana. Sementara sejauh mata
memandang hanya ada kabut.
“Kamu
masih pusing?” tanyaku cemas.
“Lepas!”
bentaknya saat aku meletakkan punggung tanganku di keningnya. Aku segera
menarik tanganku.
“Kamu
kecewa sama aku? Oke, aku terima. Tapi jangan sekali-sekali bawa orangtua
kita,” kataku, yang berhasil membuat Mita menoleh. Ini hal yang sangat
sensitive, tentu saja aku tahu. Aku merebahkan punggungku di rumput yang basah.
Awan mulai berarak di atasku.
“Kamu
belum bisa mengikhlaskannya, Mit?” tanyaku saat Mita tak kunjung bicara.
“Menurut
kamu, aku harus jawab apa?” Mita ikut berebah di sampingku.
“Aku
ingin melihat Mita yang tegar. Bukan yang hobinya nangis melulu,” ucapku,
berhasil memancing tangan Mita untuk menyikut perutku.
“Terus
hubungan kamu sama Dara gimana?”
“Hah?”
“Iya,
hubungan kamu sama Dara. Masa’ nggak peka sih?” Mita sedikit sebal. Aku tertawa
samar. Karena memang perasaanku terhadap Dara hanya semacam.. hanya semacam..
hanya.. bahkan aku tidak tahu. Selama ini aku tidak pernah menghiraukan Dara.
Karena saat itu semua hidupku ada hanya untuk Mita. Sehingga aku tak sempat
‘melihat’ Dara.
“Buat
apa ke sini, kalau cuma buat bengong!” Mita sengaja menyindir. Aku kembali
tersadar.
“Aku
nggak ada feeling sama dia. Cuma aku menghargai dia sebagai perempuan.” Aku
bangkit, kemudian duduk.
“Nikah
aja sama dia, siapa tahu bisa cinta,” katanya dengan ketus.
“Akan
aku coba,” kataku.
“APA?”
Mita terlihat memicingkan matanya. Aku menyeringai.
“Kenapa?
Bukannya itu malah bagus? Kita bisa saling melupakan. Iya kan?” Aku berdiri.
Mita masih tertegun dalam duduknya. Entah karena kalimatku, atau kalimatnya
sendiri tadi.
“Kalau
kamu nikah, aku sama siapa?” Mita memelukku dari belakang. Dari nada suaranya
terdengar rajukan seorang adik kepada kakaknya, bukan seperti yang kalian
pikirkan. Kalimat itu terdengar sangat lugu.
“Kan
ada Ikmal?” jawabku, terkekeh. Mita diam saja, tetap memelukku. Aku tidak
mengerti apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Kalau aku bertanya, besar
kemungkinan ia akan berkilah.
“Pulang
yuk. Bunda khawatir banget sama kamu. Kita sarapan sama-sama. Kalau perlu aku
juga minum obatnya deh,” bujukku. Mita tidak merespon sama sekali. Aku menoleh.
Ia masih memelukku. Namun aku tidak sadar jika pelukannya mengendur. Ia nyaris
jatuh kalau aku tidak cepat-cepat menahannya. Mita pingsan tanpa
sepengetahuanku.
***
“Apa
kata dokter?” Ayah yang baru datang bertanya cemas kepadaku. Aku menggeleng.
Sedangkan Bunda terus saja mondar-mandir di depan pintu.
“Wahyu?”
Pintu terbuka, dokter memanggilku. Aku terkesiap, lantas cepat mendekat. Bunda
juga ikut mendekat, ingin ikut masuk melihat kondisi Mita. Namun dokter segera
mencegah, “mohon bersabar, Bu.”
“Hei…
masih pusing?” Pertanyaan yang sama ketika di bukit tadi pagi. Wajahnya pucat,
bibirnya sedikit pecah-pecah. Aku hanya bisa berdoa, semoga tidak akan ada yang
bisa menghilangkan senyumnya.
“Kenapa
bengong? Hobi banget,” katanya dengan suara serak. Aku terkesiap.
“Mita?”
“Iya?”
“…….”
Aku
termenung. Kurasa bukan sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya kepada
Mita. Takutnya malah membuat kondisinya memburuk. Mita memandangiku dengan
heran, namun ia memilih diam dan tidak bertanya apa pun. Kami larut dengan
pikiran masing-masing. Saling mengunci mulut.
***
“Dara?
Kapan datang?” tanyaku agak terkejut begitu keluar dari ruangan Mita. Dara
persis berdiri di depan pintu.
“Baru
aja kok,” ia tersenyum. Ia cantik hari ini, mengenakan serba kuning.
“Ngobrol
di taman aja, yuk.” Ajakku. Sementara kulihat Bunda masuk menemui Mita.
“Mita
sakit apa?” tanyanya saat kami sudah duduk di bangku panjang. Aku mengangkat
bahu.
“Oh
ya, aku bawa makanan buat kamu..” Dara mengambil sesuatu dari tasnya. Lalu
menyodorkan kotak makanan kepadaku. Aku ragu menerimanya. Tapi ia memaksaku
lewat tatapan matanya. Aku tertegun. Ia selalu baik. Dan tentu saja aku mulai
peka. Tetapi.. rasanya berat untuk mencintai gadis di sampingku ini.
“Thanks,”
ucapku. Ia hanya tersenyum. Aku membuka kotak makanan itu. Sedikit terkejut
saat aku melihat nasi goreng dengan bentuk wajah. Ada dua irisan tomat sebagai
mata, irisan cabai sebagai hidung, dan saos sebagai bibir yang membentuk
senyum. Sejak saat itu mulai timbul rasa yang aku sendiri belum mengetahuinya.
Tidak pernah mudah untuk mengganti posisi Mita begitu saja.
“Enak
banget!” komentarku setelah melahap sendokan pertama. Wajah Dara bersemu
kemerahan.
***
Mita
pulang hari ini. Alasannya sepele saja, karena Mita tidak doyan dengan bubur
rumah sakit. Aku sudah mencegah. Bunda juga tidak berdaya. Apalagi Ayah, ia
memilih untuk diam. Namun setelah dipikir lebih baik menuruti permintaannya, daripada
ia terus-terusan tidak mau makan.
“Akhirnya
aku bisa lihat hujan lagi.” Mita bergumam ke arah jendela mobil. Aku yang duduk
di sebelahnya ikut menoleh. Ini musim kemarau. Aku jadi teringat dengan
kalimat-kalimat itu. Mita selalu bilang, “setiap kali kamu ada, hujan akan
turun di musim kemarau.” Dulu aku terlalu serius menanggapi. Dan sekarang aku
mulai berpikir bukan karena aku. Tentu saja ini siklus alam. Tidak ada
kaitannya dengan kehadiranku.
“Tuh
kan!” katanya kepadaku, ia menjentikkan telunjuknya. Aku mengangkat sebelah
alisku. “Hujan turun di musim kemarau saat kamu ada. Dulu waktu kamu nggak ada
di sini, nyaris nggak turun hujan.”
Bunda
yang duduk di depan menoleh, tertawa. Lantas berkata, “jangan ngelantur, Mit.
Kamu aneh-aneh aja. Memangnya Wahyu penari hujan? Atau pawang hujan?” Mita
memasang wajah sebal. Aku terpingkal. Ayah diam, tetap fokus dengan jalan di
depan. Tidak tertarik untuk menimpali. Namun sejak tadi kulihat ia mengusap
wajah beberapa kali. Seperti sedang gelisah.
Tanpa
disuruh aku langsung membopong Mita keluar dari mobil. Ia sempat protes keras.
Namun aku tak mengindahkan. Ia langsung merangkulkan tangannya ke leherku.
Mungkin karena takut jatuh.
“Eh,
ada Dara?” Bunda kaget mendapati Dara sudah duduk manis di sofa ruang depan.
Aku juga sedikit terkesiap. Dara terpaku menatapku yang menggendong Mita. Bukan
apa-apa. Aku hanya tidak ingin ia berpikir yang macam-macam. Sementara Bunda
mengobrol dengan Dara, aku langsung membawa Mita ke kamar.
“Kamu
masih marah sama Dara?” tanyaku. Mita menggeleng kuat-kuat. Mulutnya terkunci
rapat. Ia meraih selimut tebal, lalu meringkuk di dalamnya, memunggungiku.
Tidak ada kalimat yang terlontar. Aku membungkukkan badan, mengecup pelipisnya.
Ya Tuhan, getaran ini tidak pernah hilang. Malah setiap hari semakin terasa
amat sangat nyata. Meski aku berusaha sekuat tenaga untuk mengingkari hatiku,
berdusta pada hatiku, nyatanya tetap sia-sia. Aku selalu gagal untuk berhenti
mencintaimu, Mita—
“Mita
langsung tidur. Maaf ya,” ucapku.
“Oh,
nggak apa-apa.” Dara mengangguk maklum. Ia lalu berpamitan pulang. Padahal
Bunda baru saja muncul membawa minum.
***
Kami
berempat duduk di ruang keluarga. Keempatnya saling diam. Bunda membolak-balik
majalahnya. Mita memencet-mencet remote tv dengan bosan. Ayah sendiri sibuk
dengan laptop di depannya. Aku mendehem, dan membuat Mita melirikku.
“Aku
ingin bicara..” Aku dengan cepat membuat mereka bertiga menoleh serempak.
“Bicara
apa, Nak?” kata Bunda yang sudah menaruh majalahnya. Ayah menyingkirkan
laptopnya. Seketika suasana menjadi tegang dan serius. Mita kemudian meletakkan
remote di atas meja.
“Aku
ingin serius dengan Dara,” ucapku, meski dengan suara yang bimbang, nyatanya
tetap memancing reaksi dari Mita.
“Nggak!
Nggak boleh!” teriaknya.
“Bunda
setuju kok. Dia anak yang sopan, baik lagi.” Bunda sepenuhnya berada di
pihakku.
“Nggak!
Mita nggak setuju!” desisnya lagi, kali ini lebih tajam.
“Ayah
juga setuju kalau kamu mau berhubungan serius dengan Dara. Nggak usah pacaran,
langsung aja lamar dia.” Sempurna, aku mendapat dukungan penuh.
“Nggak
boleh! Pokoknya nggak boleh.” Mita meledak. Ia lebih memilih untuk menyingkir,
untuk menutupi air matanya. Aku berlari menyusulnya. Mita berhenti di balkon
atas. Tangisannya terdengar lirih. Aku tidak sanggup mendekat. Itu sama saja
membunuhku secara perlahan. Karena aku tidak ingin merasakan getaran itu
sekarang, hanya akan menambah berat langkahku untuk mengambil keputusan.
Maafkan aku yang membiarkanmu menangis seorang diri.
“Sudahlah,
Yu. Mita biar jadi urusan Bunda. Kamu lebih baik mulai fokus dengan rencanamu
itu.” Aku terhenyak ketika Bunda muncul di belakangku. Bunda menatap dengan
prihatin.
***
“Apa?
Kamu pasti lagi bercanda. Iya kan? Udah deh, aku tahu kok!” Dara menganggap apa
yang aku katakan hanya sebuah lelucon.
“Jadi,
kamu mau nikah sama aku?” ia masih tertawa. Aku menunggu sampai tawanya
berhenti.
“Aku
ingin menemukan aku yang baru. Dan aku percaya kamu bisa membuat hari-hariku
berbeda.” Aku menggenggam satu tangannya. Ia mengalihkan matanya dari
pandanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang dingin sekali. Padahal cuaca
sedang cerah. Kabut juga sudah tidak menutupi perkebunan teh ini. Wajahnya
bersemu merah.
“Jujur,
aku kaget banget kamu ngomong gini. Padahal semalam aku nggak mimpi apa-apa.”
Dara balas meremas tanganku.
“Jadi?”
tanyaku meminta kepastian. Ia menjawabnya dengan anggukan dan senyum malu-malu.
Seharusnya aku lega karena Dara menerimaku. Seharusnya aku bahagia sekarang,
karena semua berjalan mulus. Tetapi ada rasa yang jauh lebih hebat berkecamuk
di hatiku. Sehingga menutupi rasa bahagia itu.
“Mita
pulang-pulang nangis. Tadi dia pamit mau nyusul kamu. Pas ditanya malah diam
aja,” kata Bunda seraya menata sarapan di meja. Aku mengusap wajahku dengan
getir. Mita menyusulku? Apa dia sudah mendengar semuanya? Aku yakin dia
mendengarnya. Ya Tuhan—
Aku
memutar gagang pintu kamarnya, karena memang tidak terkunci. Kulihat ia
tengkurap di kasur. Aku mendekat, lalu duduk di tepi kasur.
“Beri
aku alasan kenapa kamu nangis..” Aku mengacak rambutnya. Dia sama sekali tidak
merespon. Aku mengoyak pundaknya. Mita tetap saja diam. Panik mulai menderaku.
Aku membalik tubuhnya dan mendapati ia yang tak sadarkan diri. Wajahnya pucat
sekali.
***
Aku
seperti tidak mengenal Mita semenjak kami tahu jika kami saudara kembar. Ia
berubah perlahan, dulu aku terlalu sibuk untuk menyadarinya. Rasanya seperti
ada tembok raksasa yang membelenggu kami. Aku merasa ada yang hilang. Aku bisa
merasakan jika pelangi itu mulai memudarkan warnanya. Tidak seperti dulu yang
selalu bersinar. Tanpa sadar aku mulai kehilangan sosok Mita. Aku mulai
mencari-cari kemana hilangnya warna-warna pelangi di wajahnya.
“Aku
sedih melihat Mita seperti ini, Yah.” Aku duduk bersama Ayah di kafetaria rumah
sakit. Menyeduh kopi bersama. Ayah diam, raganya memang di sini, tetapi
nyawanya mungkin berada di tempat lain.
“Mita
sakit, Yu. Itu yang membuat akhir-akhir ini wajahnya selalu pucat. Ditambah
lagi dia nggak mau minum obat-obatnya.” Ayah menatapku serius dari balik
kacamatanya. Aku menangkup wajahku dengan kedua tanganku.
“Sakit?
Selain sakit demam?” selidikku. Ayah menggeleng.
“Ayah
jangan membuatku bingung,” desakku. Ayah menarik napas, lalu menghelanya.
“Ayah
tidak tahu sampai kapan Mita bisa bertahan,” ungkapnya. Mataku membelalak
kaget. Sakit itu tidak pernah main-main jika sudah menyangkut bisa bertahan
atau tidak. Aku mendongakkan kepalaku, kutahan air mataku supaya tidak jatuh.
Aku takut bertanya lebih jauh. Mendengar kalimat tadi sudah menjadi mimpi
burukku. Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? Memisahkan kami? Apa belum
cukup dengan kenyataan kalau kami saudara kembar? Kenapa harus bertubi-tubi
seperti ini?
Kulihat
Dara baru saja keluar dari ruangan Mita saat aku kembali dari kafetaria.
Matanya sembab kemerahan. Aku menahan lengannya saat ia berlalu begitu saja
dari hadapanku. Ia berusaha melepas tanganku. Namun peganganku lebih kuat.
“Ada
apa?” tanyaku khawatir. Dara menggeleng. Aku mengajaknya duduk.
“Kamu
kenapa?” tanyaku dengan tenang. Ia masih sesenggukkan.
“Aku
nggak mau hidup dalam kebohongan,” katanya, menatapku getir.
“Maksudnya?”
tanyaku, belum paham.
“Kamu
itu cuma mimpi buat aku, ngerti?!” katanya tajam. Aku mengendurkan tangannya.
Ia beranjak dari duduknya.
“Mita
bilang apa sama kamu?” tanyaku, entah mengapa kalimat tuduhan itu keluar dari
mulutku.
“Mita
nggak bilang apa-apa. Tapi aku cukup sadar, Yu. Mita lebih butuh kamu, daripada
aku. Begitu juga sebaliknya. Kamu butuh Mita, bukan aku, atau siapa pun.” Dara
berbalik, berlari pergi dari hadapanku. Aku hanya bisa menatap rambut
panjangnya yang bergerak saat ia berlari menjauh. Bahkan aku belum sempat untuk
meyakinkannya lagi.
***
“Kak
Wahyu?” ia akhirnya bersuara setelah kami selesai berkeliling rumah sakit. Aku
berhenti mendorong kursi rodanya. Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari
kalau ia memanggilku ‘kakak’.
“Iya?”
jawabku, sedikit berjongkok di hadapannya.
“Mita
udah ikhlas, Kak. Mita mau melihat kak Wahyu menikah dan…’’ katanya meraih
kedua tanganku, “bahagia.” Lanjutnya.
“Ta..
tapi..” sergahku.
“Kebahagiaan
kak Wahyu adalah kebahagiaanku juga,” ia memutus kalimatku.
“Aku
takut jika aku tidak sempat melihat kak Wahyu menikah,’’ lanjutnya lagi. Kali
ini ada sorot mata yang berbeda di bola matanya. Ingatanku tersedot pada
perkataan Ayah sewaktu di kafetaria tempo hari.
“Aku
rela kehilangan pelangi-ku. Aku juga tidak keberatan kehilangan hujan-ku.
Asal.. asal.. ia bisa menemukan tempat untuk pulang, tempat untuk bermuara.”
Mita menangis. Air matanya yang menetes di tanganku membuatku terkesiap dari
lamunanku. Aku bangkit dan mencium ubun-ubunnya. Aku belum tahu penyakit apa
yang tengah mendera Mita akhir-akhir ini. Tuhan, biar aku saja yang merasakan
sakit. Jangan Mita—
***
Satu
minggu setelah Mita keluar dari rumah sakit…
Aku
akhirnya menuruti permintaan Mita waktu itu. Demi membuat hati Mita lega, aku
akan menikah dengan Dara hari ini. Tidak ada pesta-pesta mewah. Hanya satu
tenda biru yang terpasang di depan rumah, dengan janur kuning yang melengkung
di pagar. Aku seharusnya bahagia. Harusnya aku bisa tersenyum lepas. Tapi aku
sulit melakukannya.
Aku
duduk tenang di depan penghulu. Ayah dan Bunda duduk di belakangku. Aku menoleh
sekilas, dan mendapati Mita tidak ada di sana.
“Mau
kemana, Yu?” cegah Bunda, melihat aku yang hendak berdiri.
“Mita
dimana, Bun?” tanyaku sedikit panik.
“Mita
masih di kamarnya. Kamu kan tahu, dia dandannya lama banget.” Bunda berhasil
membuatku tenang.
“Bunda
paksa dia pakai kebaya?” tanyaku. Bunda menggeleng. Ayah menahan senyum di
sampingnya.
“Atau…
Bunda paksa dia pakai high heels?” desakku. Bunda menggeleng lagi.
“Siapa
sih yang bisa maksa dia? Kamu aja nggak bisa kan?” Bunda tertawa pelan. Aku
menyeringai.
“Aku
cari Mita sebentar ya, Bun. Sebentar aja deh,” rajukku. Bunda melolot, tatapan
matanya seperti bilang, ‘jangan sekali-sekali bergerak!’
“Dara
sebentar lagi keluar. Jadi kamu jangan pergi kemana-mana,” tegas Ayah. Aku
menghela napas. Sama sekali belum tenang sebelum melihat Mita duduk di
belakangku. Entah dari mana datangnya perasaan itu. Firasatku benar-benar tidak
enak. Saat aku sibuk dengan pikiranku, semua perhatian para tamu sudah teralih.
Aku ikut menoleh. Dara turun dari tangga dengan anggun sekali, tangan kanannya
menggenggam erat tangan ibunya. Gaun putih yang membalutnya berkilau terkena
sinar matahari yang menembus celah-celah jendela. Aku membeku seketika. Darahku
berhenti mengalir. Duniaku hilang sejenak. Aku seperti lupa berpijak pada
lantai. Ia hampir dekat. Aku langsung terhenyak saat duniaku kembali. Seperti
diingatkan kalau Mita belum muncul juga. Kembali ingat kalau aku tidak bisa
menikah jika tidak ada Mita di sini. Secantik apa pun Dara saat ini, aku tidak
peduli.
“Mita
mana? Kamu lihat dia?” Pertanyaan bodoh. Dara terperangah mendengarnya.
“Sudah
siap calon mempelai?” Pak penghulu menyela. Dara samar mengangguk.
“Tunggu,
pak. Saya ingin mencari saudara kembar saya terlebih dahulu,” tegasku, tidak
peduli Bunda yang mencegah, atau tatapan tajam dari Ayah. Aku tidak
menghiraukannya. Aku berlari melewati Dara, tangannya sempat menarikku, lalu
dengan sendirinya ia melepas tanganku.
Baru
satu langkah berpijak pada anak tangga pertama, aku mendengar suara benda
jatuh. Cukup keras. Sehingga membuat para tamu, Ayah dan Bunda, juga Dara
terkejut. Aku tak kalah terkejutnya. Aku berlari melewati anak tangga ke lantai
atas.
“Mit,
kamu kenapa?” teriakku menggedor pintu kamarnya yang terkunci.
“Mit,
kamu di dalam?” teriakku lagi. Aku mengambil ancang-ancang untuk mendobrak
pintunya. Dalam hentakan bahu lima kali pintu baru bisa terbuka. Kamarnya dalam
keadaan kosong. Mataku menyapu ke sudut-sudut kamar. Aku beralih menggedor
pintu kamar mandi. Sial! Terkunci. Aku berniat mendobraknya lagi, tapi Ayah
yang baru menyusul sudah mencegahku.
“Kendalikan
emosimu, Yu!” Ayah menahanku. Aku mendengar sirine ambulans di halaman depan.
“Mita
di mana, Yah?” aku mengoyak lengan Ayah.
“Di
kamar Bundamu,” katanya dengan tenang. Aku berlari menuruni tangga secepat yang
aku bisa.
“Mita…”
“Mita…”
Dengan
sigap aku menyibak kerumunan tamu di depan kamar itu. Juga menyibak petugas
medis yang hendak mengangkat tubuh Mita. Bunda menangis histeris di dekat
pintu, tidak berani mendekat.
“Mita…”
kataku pelan. Kuangkat kepalanya yang terkulai lemas. Di sekitarnya banyak
kepingan guci yang tadi pecah. Aku mengusap pipinya yang penuh dengan darah.
Darah terus keluar dari hidungnya. Aku membopongnya, dengan teratur tamu yang
tadi berjubel di depan pintu kini berangsur menepi, memberi jalan. Dara? Aku
tidak sempat melihat keberadaannya.
***
Dengan
hati yang penat aku menyandarkan kepalaku pada dinding koridor rumah sakit.
Bunda menangis dalam dekapan Ayah. Sejak tadi tangisannya belum mereda. Banyak
yang memenuhi otakku. Keadaan Mita bagaimana di dalam sana? Bagaimana dengan
Dara? Bagaimana dengan pernikahanku? Sudahlah, aku bahkan tidak peduli jika
kemejaku penuh dengan darah. Aku tidak akan bisa tenang selama kepastian
tentang keadaan Mita belum kudapat. Perlahan aku melirik Ayah. Tatapanku seolah
meminta penjelasan. Ayah menunduk dan tidak menatapku lagi.
“Keadaan
Mita gimana?” seseorang menepuk bahuku. Aku refleks mendongak. Ikmal?
“Sorry
baru bisa datang. Ada urusan keluarga di Jakarta.” Ia duduk di sampingku,
setelah tersenyum kepada Ayah dan Bunda.
“Eh,
Dara kok nggak kelihatan?” tanyanya kemudian. Aku mengusap wajahku.
“Ya
udah, nggak usah dijawab. Gue sangat paham, ini berat buat lo.” Ikmal
menepuk-nepuk pundakku.
“Gue
sayang mereka berdua, Mal. Gue nggak mau salah satu di antara mereka terluka.
Tapi lo lihat kan apa yang udah gue lakukan? Gue melukai salah satunya. Dara.”
Aku menatap lantai di bawahku, menautkan kesepuluh jariku dengan kuat.
“Lo
juga nggak akan menduga ini bakal terjadi kan? Jadi jangan terus-terusan
nyalahin diri lo.” Ikmal menghiburku lagi.
Ada banyak hal yang aku takutkan
saat kamu tidak ada dalam hidupku, Mita. Kamu tahu? Aku akan kehilangan pelangi
dalam hidupku. Aku akan kehilangan hujan dalam hidupku. Untuk apa ada hujan di
musim kemarau jika pelangi tidak akan muncul lagi? Melewati waktu bersamamu
sama berartinya dengan aku bernapas. Berada di dekatmu membuatku tenang
menghadapi apa pun, karena kamu adalah kekuatanku. Kamu yang memiliki separuh
raga ini. Sehingga ketika kamu pergi, sama halnya kamu membawa separuh duniaku
pergi bersamamu—
“Wahyu?”
“……..”
“WAHYU!”
Aku tidak tahu Ikmal memanggilku berapa kali. Aku terlelap sejak satu jam yang
lalu.
“Mita
sadar,” ujarnya. Aku mengucek mataku.
“Eittttss.
Tunggu!” sergahnya. Aku mengerutkan alis, “kenapa?”
“Ada
Dara di dalam. Lo udah siap ketemu sama dia?” katanya dengan hati-hati. Aku
sedikit gamang, namun aku tetap ingin masuk.
Benar
apa yang dikatakan Ikmal. Dara berdiri di samping Mita. Ia menatapku sejenak
lalu menunduk dalam-dalam.
“Aku
nggak mau sampai kamu kenapa-napa,” bisikku saat aku memeluknya. Mita mengelus
punggungku.
“Kak
Wahyu nggak bakal ninggalin aku kan?” katanya, dan hanya aku yang bisa
mendengarnya. Aku tahu kecemasan itu, karena aku juga merasakannya. Aku
mengangguk untuk menjawabnya.
“Kakak
pengen lihat kamu cepat sembuh. Biar kita bisa main ke bukit lagi,” kataku
dengan tersedu. Aku masih dalam posisi memeluk Mita yang terbaring di kasur.
Aku sedikit mengesampingkan urusan Dara.
“Kapan
ya ada pelangi di bukit lagi? Mita udah lama nggak lihat pelangi, kak. Mita
keseringan tidur ya? Jadi nggak tahu deh,” ia tersenyum sendiri. Aku melihat
Bunda menyeka sudut matanya. Dara? Ia berlari keluar seraya menahan tangis.
“Eh,
ada Ikmal?” Mita sudah kembali ceria. Aku melepas pelukanku. Ikmal mendekat.
“Kangen
nih sama Mita yang dulu,” ucap Ikmal, berusaha menciptakan suasana baru. Sayang
sekali, rasanya tidak tepat untuk saat ini.
“Semua
orang berhak berubah. Tuh rambutmu aja udah nggak jabrik lagi,” timpal Mita,
tertawa. Ikmal hanya tersenyum.
Sore
itu kami menyangka keadaan Mita menujukkan tanda-tanda akan membaik. Mita sudah
tertawa lepas seperti dulu. Seperti Mita yang masih mempunyai pelangi di bola
matanya. Mita yang selalu terlihat apa adanya. Mita yang selalu menganggapku
selalu membawa hujan pada musim kemarau. Tetapi kami harus menelan ludah penuh
kegetiran. Menjelang malam hari ia pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata pun.
Tanpa berpamitan. Malam itu langit menggelegar. Satu per satu air jatuh ke
bumi, seperti sengaja mengiringi kepergian Mita.
Kakiku
terasa lemas sehingga aku terduduk di depan kamar jenazah. Bunda pingsan
beberapa menit yang lalu. Ikmal dan Dara mematung di dekatku. Mereka sama
sekali tidak berani menggangguku. Mulut kukunci rapat-rapat, bahkan aku tidak
membiarkan air mataku jatuh. Biarkan aku menangisinya di dalam hatiku, tempat
di mana aku meletakkan seluruh kenanganku bersama Mita. Tempat yang akan, masih
dan terus ditempati oleh Mita.
Maafkan
aku Mita, aku tidak bisa menepati janjiku kepadamu. Begitu banyak hal yang aku
takutkan ternyata terjadi terlalu cepat. Senyummu. Pelangimu. Hujan di musim
kemarau. Semua seperti hilang begitu saja dari hidupku, tanpa kata permisi.
Tanpa
aku sadari, di luar sana, di langit yang sedang tumpah. Warna-warna yang tercetak
dengan sendirinya menghias langit malam. Langit yang kelam tanpa bulan dan
bintang, nyatanya tersemat sebuah pelangi yang melengkung teramat indah.
Sayang, Mita sudah tidur.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar