Kau Tak Perlu Pergi
“Ada
yang mencari Anda,” kata resepsionis itu begitu aku sampai di kantor.
“Siapa?
Ciri-cirinya?” tanyaku sambil merapikan dasi.
“Emm,
wanita, eh, wanita bukan ya? Anu.. Rambutnya pendek. Namanya, aduh, siapa ya?”
Resepsionis itu menepak jidat, menggaruk rambutnya. Mencoba mengingat-ingat
lagi.
“Sekarang
dia di mana?” tanyaku cepat. Percuma juga menunggu ia yang lambat sekali dalam
urusan mengingat.
“Di
sana.” Ia menunjuk arah di belakangku. Aku menoleh. Tidak ada.
“Eh,
sungguh tadi ia menunggu di sana. Saya juga tidak tahu kapan ia menghilang,”
kata resepsionis itu. Aku mengangguk, biar aku yang mencarinya sendiri.
Aku
menyusuri setiap lantai, tapi apa? yang aku cari tidak terlihat sama sekali.
Tetapi, setelah kupikir lagi, kenapa ia mencariku? Bukankah semua sudah
selesai? Bukankah sudah jelas apa yang ia katakan malam itu?
“Tolong!
Tolong!!” Suara itu berasal dari ruangan Papa. Lantas kenapa ada suara perempuan? Hei, aku tidak asing lagi dengan
suara itu. Sedetik berlalu. Aku memutar arah, berlari menuju ruangan Papa.
Pasti ada sesuatu yang terjadi. Aku membuka pintu sembarangan, hampir
mendobraknya. Begitu pintu terbuka, lihatlah siapa yang ada di sana. Dia yang
sejak tadi kucari-cari dari lantai ke lantai. Dan aku mendapatinya di ruangan
Papa. Berteriak. Tangan kanannya mencengkeram sebilah pisau yang berlumuran
darah. Astaga! Apa yang sudah ia lakukan? Aku mengalihkan pandangan darinya.
Aku bergetar hebat, tas kerja terlepas begitu saja dari tanganku.
“Aku
bisa menjelaskan semuanya. Ini tidak seperti yang kau lihat,” katanya
menjatuhkan pisau di tangannya. Terpatah-patah meyakinkanku. Aku mendekap erat
tubuh Papa yang tergeletak tak jauh darinya. Tanganku bergetar menghubungi
ambulan. Ia berdiri dengan gugup. Sekarang, untuk menghiraukannya saja, aku
tidak sempat. Aku terlalu mencemaskan keadaan Papa saat ini.
“Bertahanlah,
Pa. Kumohon bertahan.” Aku berbisik lemah.
“Pergilah.
Sebelum orang-orang berasumsi yang tidak-tidak.” Aku menoleh ke arahnya. Mita
terdiam mematung di belakangku.
***
Aku
menyandarkan punggungku pada dinding. Menanti dengan perasaan cemas. Jemariku
terasa dingin, peluh membasahi tengkukku. Waktu terasa berjalan mundur. Ketika
aku berlarian dari lantai ke lantai untuk mencarinya. Mendengarnya berteriak
minta tolong. Hingga aku mendapatinya sedang memegang sebilah pisau penuh
darah. Aku terduduk di lantai, sesak saat detik demi detik itu kembali terputar
di otakku. Tidak hanya sekali, berulang kali wajah Mita juga memenuhi tiap
jengkal otakku. Aku tidak tahu siapa yang tega melakukannya. Yang aku tahu, aku
percaya bukan Mita yang melakukannya.
Samar-samar
aku mendengar derap langkah kaki yang mendekat. Aku yang masih tertunduk,
sedikit bergeming mengangkat kepalaku. Kulihat wajah kusut-masai sedang berdiri
di hadapanku. Tidak ada ekspresi yang tergambar jelas di wajahnya. Aku berdiri
untuk menatapnya lebih dekat.
“Aku
seharusnya tidak pantas menerima kalung ini.” Mita melepas kalung pemberianku
dari lehernya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Mita meraih tangan kananku,
menaruh kalung itu di telapak tanganku.
“Maaf
untuk selama ini. Selama kau mengenalku, aku selalu merepotkanmu.” Mita
membuang muka, memutus pandangan mata kami.
“Aku
bahagia bisa mengenalmu,” ucapku, ikut menatap ke arah lain, meremas kalung
yang ada di genggamanku. Kata bahagia sebenarnya tidak bisa mendefinisikan
apapun. Hati kecilku yang tahu definisi selama aku mengenal Mita, sampai
akhirnya aku mencintainya.
“Aku
berjanji ini terakhir kali kita bertemu. Kau akan jauh lebih bahagia jika tidak
mengenalku lagi.” Air mata meleleh dari sudut matanya. Sungguh, kau tak perlu
mengatakan itu Mita! Aku bahkan sama sekali tidak keberatan jika saat ini kau
marah-marah, asal jangan menangis di depanku.
Aku
melangkah mendekat, perlahan memeluknya. Mita menangis di bahuku, ia terisak di
sana. Aku benar-benar tidak tahu Mita menangis untuk apa. Apakah ia yang telah mencoba membunuh Papa? Mulutku tidak berani
melontarkan pertanyaan itu. Aku masih memeluk Mita begitu erat hingga selang
beberapa detik seseorang datang.
Aku
tidak sempat melihat ke belakang ketika orang itu menarik keras sebelah bahuku.
Siapa pun juga tidak bisa melawan terkaman kuat itu. Mita juga tak kalah
terkesiap melepas pelukannya. Ketika tahu siapa yang telah menarik bahuku, aku
bersiap melindungi Mita. Lihat siapa yang datang dengan mata memerah, sisa-sisa
air mata yang masih menggenang. Entah kali ini Mama akan berbuat apa terhadap
Mita.
“Jadi
kau yang mencoba membunuh suami saya!” Mama menuding Mita, aku menghadang Mama
yang hampir menyerang Mita.
“Terkutuk!”
Mama berteriak kesetanan, aku nyaris kewalahan menahan Mama yang terus
merangsek maju. Dan aku tidak bisa mencegah Mama bicara yang tidak-tidak.
“Perempuan
pembawa sial!!” Mama terduduk lemas di lantai. Teriakan Mama membuat para
suster dan orang yang berlalu-lalang menelan ludah, menatap tidak mengerti
dengan apa yang mereka lihat.
“Bukan
salah Mita, Ma. Sungguh bukan dia.” Aku merangkul Mama yang terpekur di lantai.
Entahlah, bagaimana Mama bisa tahu jika Mita satu-satunya orang yang ada saat
Papa tergeletak di ruangannya tadi pagi. Aku menoleh dan mendapati Mita sudah
melangkah pergi. Punggungnya hilang dari balik pintu kaca. Kudengar Mama masih
menggerutu, menyumpah-nyumpah Mita sebagai tersangka utama. Sejak awal Mama
memang tidak suka dengan Mita, kesan pertama memang sudah tidak menyenangkan.
Dan sekarang ditambah dengan masalah ini. Maka perasaan benci itu semakin
menggumpal. Aku tidak tahu, apakah Mama juga tahu tentang masa lalu itu.
Suasana
sedikit mereda, Mama sudah agak tenang. Aku membimbingnya duduk di kursi depan
ruang UGD. Mama selalu menoleh ke arah pintu, berharap pintunya cepat terbuka.
“Kali
ini percaya dengan Mama, Ikmal. Sudah jelas sekali, gadis itu ada di sana.
Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan itu,” kata Mama, berharap aku
mencamkan baik-baik. Juga mempertimbangkan ulang untuk membela Mita lagi.
“Tetapi
aku tahu Mita. Dia tidak mungkin melakukan itu, Ma. Sekalipun dengan alasan—”
kalimatku terhenti, aku sadar hampir saja aku mengatakannya. Mama beralih
menatapku.
“Alasan
apa Mal? Tentang masa lalu itu? Iya?” Mama mengoyak lenganku. Aku diam,
menyesal telah kelepasan. Tidak sangka jika Mama mudah saja menangkap maksudku.
“Jangan
kau kira Mama tidak tahu semuanya, Ikmal! Seharusnya kau sekarang sadar, inilah
alasan Mama menyuruhmu untuk menjauhinya!” Suara Mama meninggi, tepat ketika
pintu terbuka. Dokter keluar bersama dua orang perawat. Mama buncah, sementara
lupa dengan perseteruan kecil di antara kami. Mama sudah berdiri dan bertanya
tidak sabaran.
“Masih
menunggu perkembangan, Bu. Mohon bersabar. Memang ada pendarahan, dan itu
membutuhkan waktu yang lama untuk pemulihan.” Dokter berusaha tenang menahan
desakan Mama. Aku mengusap wajah kebas. Butuh waktu yang lama? Itu berarti
semakin lama juga untuk mengetahui siapa pelaku sebenarnya. Aku hanya takut
Mama akan bertindak lebih jauh. Seperti halnya melaporkan Mita—
Bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar