Senin, 25 Februari 2013

“Biarkan Aku Mencintaimu” (bagian 10)



Kau Tak Perlu Pergi


“Ada yang mencari Anda,” kata resepsionis itu begitu aku sampai di kantor.

“Siapa? Ciri-cirinya?” tanyaku sambil merapikan dasi.

“Emm, wanita, eh, wanita bukan ya? Anu.. Rambutnya pendek. Namanya, aduh, siapa ya?” Resepsionis itu menepak jidat, menggaruk rambutnya. Mencoba mengingat-ingat lagi.

“Sekarang dia di mana?” tanyaku cepat. Percuma juga menunggu ia yang lambat sekali dalam urusan mengingat.

“Di sana.” Ia menunjuk arah di belakangku. Aku menoleh. Tidak ada.

“Eh, sungguh tadi ia menunggu di sana. Saya juga tidak tahu kapan ia menghilang,” kata resepsionis itu. Aku mengangguk, biar aku yang mencarinya sendiri.


Aku menyusuri setiap lantai, tapi apa? yang aku cari tidak terlihat sama sekali. Tetapi, setelah kupikir lagi, kenapa ia mencariku? Bukankah semua sudah selesai? Bukankah sudah jelas apa yang ia katakan malam itu?


“Tolong! Tolong!!” Suara itu berasal dari ruangan Papa. Lantas kenapa ada suara perempuan? Hei, aku tidak asing lagi dengan suara itu. Sedetik berlalu. Aku memutar arah, berlari menuju ruangan Papa. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Aku membuka pintu sembarangan, hampir mendobraknya. Begitu pintu terbuka, lihatlah siapa yang ada di sana. Dia yang sejak tadi kucari-cari dari lantai ke lantai. Dan aku mendapatinya di ruangan Papa. Berteriak. Tangan kanannya mencengkeram sebilah pisau yang berlumuran darah. Astaga! Apa yang sudah ia lakukan? Aku mengalihkan pandangan darinya. Aku bergetar hebat, tas kerja terlepas begitu saja dari tanganku.

“Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini tidak seperti yang kau lihat,” katanya menjatuhkan pisau di tangannya. Terpatah-patah meyakinkanku. Aku mendekap erat tubuh Papa yang tergeletak tak jauh darinya. Tanganku bergetar menghubungi ambulan. Ia berdiri dengan gugup. Sekarang, untuk menghiraukannya saja, aku tidak sempat. Aku terlalu mencemaskan keadaan Papa saat ini.

“Bertahanlah, Pa. Kumohon bertahan.” Aku berbisik lemah.

“Pergilah. Sebelum orang-orang berasumsi yang tidak-tidak.” Aku menoleh ke arahnya. Mita terdiam mematung di belakangku.


***

Aku menyandarkan punggungku pada dinding. Menanti dengan perasaan cemas. Jemariku terasa dingin, peluh membasahi tengkukku. Waktu terasa berjalan mundur. Ketika aku berlarian dari lantai ke lantai untuk mencarinya. Mendengarnya berteriak minta tolong. Hingga aku mendapatinya sedang memegang sebilah pisau penuh darah. Aku terduduk di lantai, sesak saat detik demi detik itu kembali terputar di otakku. Tidak hanya sekali, berulang kali wajah Mita juga memenuhi tiap jengkal otakku. Aku tidak tahu siapa yang tega melakukannya. Yang aku tahu, aku percaya bukan Mita yang melakukannya.


Samar-samar aku mendengar derap langkah kaki yang mendekat. Aku yang masih tertunduk, sedikit bergeming mengangkat kepalaku. Kulihat wajah kusut-masai sedang berdiri di hadapanku. Tidak ada ekspresi yang tergambar jelas di wajahnya. Aku berdiri untuk menatapnya lebih dekat.

“Aku seharusnya tidak pantas menerima kalung ini.” Mita melepas kalung pemberianku dari lehernya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Mita meraih tangan kananku, menaruh kalung itu di telapak tanganku.

“Maaf untuk selama ini. Selama kau mengenalku, aku selalu merepotkanmu.” Mita membuang muka, memutus pandangan mata kami.

“Aku bahagia bisa mengenalmu,” ucapku, ikut menatap ke arah lain, meremas kalung yang ada di genggamanku. Kata bahagia sebenarnya tidak bisa mendefinisikan apapun. Hati kecilku yang tahu definisi selama aku mengenal Mita, sampai akhirnya aku mencintainya.

“Aku berjanji ini terakhir kali kita bertemu. Kau akan jauh lebih bahagia jika tidak mengenalku lagi.” Air mata meleleh dari sudut matanya. Sungguh, kau tak perlu mengatakan itu Mita! Aku bahkan sama sekali tidak keberatan jika saat ini kau marah-marah, asal jangan menangis di depanku.


Aku melangkah mendekat, perlahan memeluknya. Mita menangis di bahuku, ia terisak di sana. Aku benar-benar tidak tahu Mita menangis untuk apa. Apakah ia yang telah mencoba membunuh Papa? Mulutku tidak berani melontarkan pertanyaan itu. Aku masih memeluk Mita begitu erat hingga selang beberapa detik seseorang datang.

Aku tidak sempat melihat ke belakang ketika orang itu menarik keras sebelah bahuku. Siapa pun juga tidak bisa melawan terkaman kuat itu. Mita juga tak kalah terkesiap melepas pelukannya. Ketika tahu siapa yang telah menarik bahuku, aku bersiap melindungi Mita. Lihat siapa yang datang dengan mata memerah, sisa-sisa air mata yang masih menggenang. Entah kali ini Mama akan berbuat apa terhadap Mita.

“Jadi kau yang mencoba membunuh suami saya!” Mama menuding Mita, aku menghadang Mama yang hampir menyerang Mita.

“Terkutuk!” Mama berteriak kesetanan, aku nyaris kewalahan menahan Mama yang terus merangsek maju. Dan aku tidak bisa mencegah Mama bicara yang tidak-tidak.

“Perempuan pembawa sial!!” Mama terduduk lemas di lantai. Teriakan Mama membuat para suster dan orang yang berlalu-lalang menelan ludah, menatap tidak mengerti dengan apa yang mereka lihat.

“Bukan salah Mita, Ma. Sungguh bukan dia.” Aku merangkul Mama yang terpekur di lantai. Entahlah, bagaimana Mama bisa tahu jika Mita satu-satunya orang yang ada saat Papa tergeletak di ruangannya tadi pagi. Aku menoleh dan mendapati Mita sudah melangkah pergi. Punggungnya hilang dari balik pintu kaca. Kudengar Mama masih menggerutu, menyumpah-nyumpah Mita sebagai tersangka utama. Sejak awal Mama memang tidak suka dengan Mita, kesan pertama memang sudah tidak menyenangkan. Dan sekarang ditambah dengan masalah ini. Maka perasaan benci itu semakin menggumpal. Aku tidak tahu, apakah Mama juga tahu tentang masa lalu itu.


Suasana sedikit mereda, Mama sudah agak tenang. Aku membimbingnya duduk di kursi depan ruang UGD. Mama selalu menoleh ke arah pintu, berharap pintunya cepat terbuka.

“Kali ini percaya dengan Mama, Ikmal. Sudah jelas sekali, gadis itu ada di sana. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan itu,” kata Mama, berharap aku mencamkan baik-baik. Juga mempertimbangkan ulang untuk membela Mita lagi.

“Tetapi aku tahu Mita. Dia tidak mungkin melakukan itu, Ma. Sekalipun dengan alasan—” kalimatku terhenti, aku sadar hampir saja aku mengatakannya. Mama beralih menatapku.

“Alasan apa Mal? Tentang masa lalu itu? Iya?” Mama mengoyak lenganku. Aku diam, menyesal telah kelepasan. Tidak sangka jika Mama mudah saja menangkap maksudku.

“Jangan kau kira Mama tidak tahu semuanya, Ikmal! Seharusnya kau sekarang sadar, inilah alasan Mama menyuruhmu untuk menjauhinya!” Suara Mama meninggi, tepat ketika pintu terbuka. Dokter keluar bersama dua orang perawat. Mama buncah, sementara lupa dengan perseteruan kecil di antara kami. Mama sudah berdiri dan bertanya tidak sabaran.

“Masih menunggu perkembangan, Bu. Mohon bersabar. Memang ada pendarahan, dan itu membutuhkan waktu yang lama untuk pemulihan.” Dokter berusaha tenang menahan desakan Mama. Aku mengusap wajah kebas. Butuh waktu yang lama? Itu berarti semakin lama juga untuk mengetahui siapa pelaku sebenarnya. Aku hanya takut Mama akan bertindak lebih jauh. Seperti halnya melaporkan Mita—






Bersambung—


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini